hah : 03

299 59 0
                                    

Aku menopang dagu dengan senyum mengembang tiga detik, seperti biasa sore hari saat bel pulang sekolah berbunyi itu merupakan salah satu hal yang ku favoritkan. Aku tidak sabar untuk pulang ke rumah lalu memakan makanan yang ibu ku buat. Ibu tidak bekerja sekarang, sejak kami pindah ke sini, pindah ke rumah nenek. Hanya ayah yang mencari uang untuk mencukupi kebutuhan kami.



Jarang ada yang tahu kalau aku punya adik laki-laki, umurnya hanya beda satu tahun denganku. Sejak kecil adikku tinggal bersama nenek, kami sering bertengkar jika di satukan di rumah yang sama. Adik ku sebenarnya masuk SMA tahun ini juga, tapi kata ayah adik harus tunggu tahun depan dulu. Alasannya karena uang ayah hanya cukup untuk membayar biaya sekolahku.



Aku menggendong tas warna putih gading pemberian dari nenek, usai guru menutup pembelajaran kami semua pergi meninggalkan kelas satu persatu. Aku mengikuti Jiyoon yang melambaikan tangan ke arah Soeun, hari ini dia ada tugas piket.




"Pita," Panggil seseorang saat alas kaki berupa sepatu hitam dan putihku menginjak ambang batas daun pintu. Aku menoleh, ada Heeseung dan Jay di belakang punggungku. Ku yakini yang memanggilku itu Jay, laki-laki itu menatapku serius.




"Gue duluan deh," Tutur Heeseung menepuk pundak Jay pelan.


"Kenapa, Jay?" Tanyaku bingung. Meski bukan pertama kalinya Jay memanggil namaku, tapi ini berbeda. Kemarin kan hanya ada tugas kelompok, makanya dia berani berdialog denganku. Sembari menunggu jawabannya aku menyingkirkan diri dari pintu, takut menghalangi orang lain yang lewat.



"Boleh aku tau tentang kamu lebih jauh?"


"Hah?"


Ragaku dibuat beku sejemang oleh penuturan Jay sore ini, Jiyoon di sampingku tersenyum aneh sebelum akhirnya pamit pulang duluan. Ekspresi wajahku sudah pasti kikuk, tidak tahu harus memberi jawaban apa aku hanya bisa mengangguk. Kalimat Jay masih ambigu terdengar di kedua telinga, aneh, aku tidak menemukan makna paling inti dari kalimatnya. Jangan geer dulu.



Jay menyuruhku berjalan keluar kelas bersama, berjalan berdampingan di lorong kelas dan turun melewati satu persatu anak tangga. Awalnya hening, aku memfokuskan diri melangkahkan kaki supaya bisa terus sejajar dengan Jay. Maklum saja kakiku lebih pendek dari kakinya. Jay belum memulai obrolan lagi, mungkin menunggu waktu yang tepat.



"Kamu beneran suka hujan? Kaya sebagian namamu gitu?"


Di anak tangga terakhir, Jay membuka suaranya. Segera saja ku angguki, tapi aku tidak menyukai semua hujan. Hanya hujan yang tenang saja, hujan badai atau petir sama sekali tak pernah ku sukai. Aku tidak melakukan diskriminasi, tapi aku cukup takut akan suara guntur.


"Dari kamu, aku jadi inget temen lamaku."



Satu rentet kalimat itu menarik semua atensi, aku mendongakkan kepala melihat Jay yang tiba-tiba berhenti di tempat. Mata kami bersirobok, mata hitam kecokelatan itu menyampaikan rasanya. Aku tidak bisa membaca ekspresi apalagi membaca sorot mata orang-orang dengan jelas.




Saat Jay bilang seperti itu, aku juga berpikiran sama seperti Jay. Namun mana mungkin dia Jay kecil yang dulu memberi dua cokelat dan satu toples permen padaku sebelum aku pindah ke sini. Postur tubuhnya jauh berbeda, aku tidak mengenal Jay yang ada di depanku detik ini.



"Temen lama kamu? Mungkin namanya sama," Balasku mengakhiri pertemuan tatap mata kami. Jantungku bisa loncat ke tanah bila terus di tatap Jay seteduh itu.



"Hmm iya sih, makanya aku mau kenal kamu lebih jauh. Siapa tau kamu beneran temen lama ku. Dulu aku pernah tau nama lengkapnya, tapi sekarang udah lupa."



Aku mengangguk sembari menyunggingkan senyum, jadi itu alasan Jay ingin mengenalku lebih jauh. Ia ingat dengan teman nya dulu, mungkin dia begitu berarti bagi Jay sampai saat melihat orang lain saja ia masih teringat oleh orang yang sama di masa kecilnya. Ya jangan kepedean, tidak mungkin juga Jay menyukaiku.




"Habis pulang sekolah boleh ku telepon kamu? Nomormu udah aku simpen dari grup kelas, maaf ya enggak bilang dulu."




"Oh gak apa-apa, tapi kayaknya kalau habis pulang sekolah banget aku ga bisa. Aku harus beres-beres rumah sama adikku," Balasku seadanya. Di sisi lain aku juga menghindar bertelepon dengan Jay, aku tidak biasa menerima telepon. Semua telepon dari teman aku reject, dan bilang lebih baik mengobrol lewat pesan.




"Hah, oke deh kayaknya gak nyaman juga tiba-tiba telepon. Aku nanti kirim chat aja," Lanjut Jay yang ku angguki segera. Kalau ini aku setuju sih.



Kami berjalan melewati gerbang, sampai di trotoar aku melihat mobil ibuku terparkir rapi. Ku lihat ada Sunoo juga di sana, sedang menatap ke arahku serius. Ah mati aku, pasti Sunoo bisik-bisik dengan ibu di dalam sana.



"Jay, aku udah dijemput. Duluan ya, dadah!" Aku melambaikan tangan ke arah Jay. Lanjut berjalan memegangi sisi tas, merasa sedikit malu karena mungkin sekarang Jay melihatku berjalan ke sisi mobil.



"Hayolo ngapain?!" Sunoo memicingkan kedua manik matanya, baru membuka pintu mobil saja ia sudah menyebalkan. Sunoo keluar dari mobil, mempersilakanku masuk lebih dulu. Cowok yang lebih muda satu tahun dari ku ini menoleh ke belakang, dimana Jay masih berdiri.




"Ayo masuk, cepetan." Aku menyuruhnya segera masuk ke mobil.



Pemilik nama lengkap Sunoo Harsa Adikuasa itu cemberut, mungkin masih merasa sedikit iri padaku karena aku bersekolah sementara Sunoo di rumah, tidak punya kesibukan dan pekerjaan. Aku memangku tas, melirik Sunoo yang sekarang bersandar pada jok belakang. Wajahnya sama seperti anjing kecil yang belum makan seharian. Menggemaskan.



"Kita makan di luar ya."


"Hah kok gitu?" Kagetku. Tumben ibu mengajak kami makan di luar.


"Katanya kita menghemat," Komentar Sunoo di sebelahku.


"Sekalian ketemu temen ibu." Baiklah, tidak ada bantahan lagi jika ibu sudah berkata tegas seperti barusan.

Dekap ; JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang