36 : celoteh isi kepala

58 16 1
                                    


"Ih nggak mau kalau ntar di screenshot!" Nada suara Gempita meninggi, tidak suka melakukan video call grup. Ia merasa wajahnya begitu layu, tidak mau menunjukkan dirinya sekarang. Padahal yang sebenarnya mereka telah tahu keadaan Gempita seperti apa. Heeseung memaklumi saja, Jay juga. Kalau Jiyoon masih sibuk menahan tawa karena Gempita se-risau itu dengan keusilan yang akan Jiyoon buat. Jiyoon tidak akan setega itu, sungguh.



Mereka mengadakan agenda belajar, sejak rumah Gempita jauh dan rasanya akan membuang waktu di perjalanan bila mereka masing-masing ke rumah Gempita. Sunoo mau saja mengantar Gempita, alih-alih dia ke rumah Ni-ki. Namun ada banyak risiko yang harus diambil. Sunoo belum punya SIM, om Jungkook juga sporadis melarang Sunoo naik motor.



Kenaikan kelas sudah di depan mata. Hari demi hari, minggu ke minggu, bulan berakhir dan dipertemukan dengan bulan berikutnya. Waktu bergulir—mengalir bagai air, hampir tak terasa. Gempita tidak bisa menyebut waktu berjalan begitu cepat, ia juga tidak mau mengkategorikan waktu berjalan lambat. Semua itu terserah bagaimana harinya berproses sesuai tahapan rencana.



Orang-orang akan bosan bila rencana mereka tak berjalan seperti seharusnya, makanya waktu terasa lebih lambat dan berat. Gempita mencoba menikmati setiap detik waktu yang ia lalui, berharap semuanya menjadi momen berharga dalam hidup.



Hampir dua tahun, mungkin hanya kurang dua bulan lagi, pertemanan antara Gempita dan Jiyoon akan genap dan tetap lekat. Walau kadang memang mereka berselisih paham, serta Jiyoon yang selalu sibuk dengan tumpukan kertas rancangan novel yang akan ia terbitkan. Gempita berharap tahun depan ia masih bisa satu kelas bersama Heeseung, Jay dan Jiyoon.




"Aku turn off kamera ya. Heeseung jelasin lagi aja materinya, aku janji dengerin." 



Heeseung mengangguk, ia kembali membacakan rangkuman materi yang ia rampungkan beberapa bulan sebelum penilaian akhir dilaksanakan. Kedua manik matanya melirik kecil layar ponsel, Gempita benar-benar menutup kamera dengan selotip hitam. Entah pikiran apa yang mengacaukan Gempita sampai ia begitu waspada dengan orang-orang sekitar, bahkan orang terdekat. Heeseung harap Gempita baik-baik saja.



Lain halnya dengan Heeseung yang sibuk memaparkan materi pada ketiga temannya, Jay sibuk mencorat-coret buku miliknya. Membiarkan ponsel teranyar miliknya di atas meja, menganggur merekam dirinya yang tengah sibuk belajar—bila dipikiran temannya sekarang.


Jay sedang bingung dengan cara belajarnya, dua hari kebelakang otaknya terasa terbakar meski sudah belajar jauh-jauh hari. Setiap guru membagikan soal, Jay terus merapalkan banyak doa supaya materi yang ia pelajari keluar dan masih ada di ingatan Jay. Sayang sekali Jay terlalu panik pagi itu. Mungkin ia harus merelakan nilainya menurun dari semester kemarin.



Menghela napas, Jay menyentuh ponselnya. Ikut menonaktifkan kamera, ia tidak mau terlihat frustasi di depan teman-temannya. Ini masalah sepele, tapi Jay merasa tak punya daya apa-apa untuk mengontrol dirinya menjadi lebih disiplin seperti apa yang dipinta sang mamah.



Ketukan pintu dari luar mengalihkan seluruh atensi Jay pada suara Heeseung dipengeras suara ponselnya. Sebelum pergi membuka pintu, Jay membisukan mikrofon ponsel. Ada teh Fi yang mengantar makan malam untuk Jay, sudah dua puluh menit Jay belum keluar menampilkan wajahnya di ruang makan. Teh Fi inisiatif mengantar makanan dari pada nyonya pemilik rumah mengomeli Jay. Kasihan Jay.



"Mas Jay belajar terus nggak capek?" Tanya Teh Fi meletakkan nampan di atas nakas yang lumayan lebar.


Jay tersenyum di tambah gelengan ragu, entahlah apa yang Jay rasakan. Ia memang lelah, tapi ia juga merasa belum mencapai target belajar yang ia mau. Jay sangat keras pada dirinya akhir-akhir ini. Asisten rumah tangga Jay saja juga merasakan atmosfer yang berbeda dalam diri tuan muda di hadapannya.



Dekap ; JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang