09 : dialog

154 38 0
                                    



Surya kembali menyapa bumi, kehangatannya tak pernah lenyap justru semakin panas ketika sang surya beranjak menaiki langit. Pagi ini aku kembali di jemput Sunghoon, dengan posisi ayah yang masih ada di ruang makan. Aku menahan diri supaya tidak berkata macam-macam pada cowok itu, karena ayah hanya tahu kami cuma berteman.



Aku menarik sepasang sepatu dari rak berwarna kayu di pojok rumah, membawanya terbang ke udara selama beberapa detik sebelum ku jatuhkan di atas keset lantai berbahan serabut kelapa bertulis welcome. Sunghoon masih menunggu, bertengger santai di atas motor sekaligus memainkan ponselnya asal. Sunghoon bukan jenis orang yang akan menyibukkan diri bermain game saat pagi, aku tahu dia hanya mengecek pesan-pesan yang di kirim lewat grup, membacanya kemudian mengabaikan tanpa membalas.



"Ngab, cepetan ah kok malah ngelamun. Nanti kita kesiangan malah di marahin."



Hasilnya Sunghoon menerbangkan untaian protes ke udara lewat mulutnya. Tak bermaksud melamun pagi-pagi, itu kondisi natural saat aku mengaitkan tali sepatu.



"Iya bawel, bentar deh aku mau nyari jaket dulu."



"Udah gak usah, nih pake jaketku aja."


Sunghoon melemparkan jaket hitamnya pada ku, melemparnya tepat di wajahku. Pagi-pagi singa dalam diriku di usik oleh Sunghoon. Namun wangi khas parfum yang Sunghoon kenakan meleburkan emosiku, wanginya lembut, mungkin itu memang kepribadian Sunghoon yang selalu di tunjukkan ke orang-orang.



Percaya tidak percaya, Sunghoon punya dua kepribadian. Satunya normal, satu laginya aneh. Ia baik tapi kadang buruk, ia penyabar tapi kadang pemarah juga. Sikap baik Sunghoon memiliki antonim yang membuat dirinya semakin unik di mataku, selalu ada kebalikan dari sikap aslinya. Ah tetap saja aku kurang menyukai caranya memperlakukan pacar artifisialnya ini.



"Lembut dikit ke aku bisa gak sih? Aku doain kamu punya istri yang galak terus di kabul baru tau rasa. Biar tiap hari Sunghoon Temaram Bumi di jambak, di tendang keluar rumah kalau perlu."



"Ya kalau istrinya galak kaya gitu aku yakin pasti kamu orangnya
Hih! serem. Ogah banget punya istri gak berperasaan kaya gitu," Balas Sunghoon masih duduk di atas motornya. Aku meniup udara di sekitar secara kasar, harus sepanjang apa rasa sabarku ini? Mau membatasi tapi ayah bilang sabar itu tak ada batasnya.


"Kalian belum berangkat malah ribut, ayo sana berangkat kasian tetangga dengerin kalian ribut pagi-pagi."



Ayah muncul, kakinya melewati batas ambang pintu. Aku menutup mulutku terkejut karena presensi beliau. Ah mati. Aku segera pamit pergi ke sekolah dari pada ayah mengomel atau lebih parah menanyai Sunghoon lebih jauh. Sunghoon ikut mencium punggung tangan ayahku, untuk pertama kalinya dan begitu menggelikan perutku. Pemandangan yang aneh untuk mataku.



Ada euforia tersembunyi dalam hati, sekalipun aku senang aku tidak akan membawanya jauh lebih dalam ke perasaan. Hati kecilku tak boleh tergores, terluka untuk seseorang yang bersikap hipokrit modelan Sunghoon.


"Jadi gini ya rasanya pamitan sama calon mertua, deg-degan. Ini pertama kalinya aku pacaran, terus langsung kenal sama orang tua pacarku."


Segaris senyum hampir terlukis di bidang wajahku ketika mendengar kalimat tersebut, aku menahannya. Tidak jangan terpengaruh. Kalimat itu hanya akan membuatku jatuh semakin dalam pada pesona Sunghoon, entah dia sadar atau tidak, sikap manisnya kadang memaksaku untuk lebih memberi cinta lebih banyak setiap harinya.



"Aku juga baru pertama kali pacaran, tapi pura-pura," Ujarku insinuasi. Sunghoon bergeming di tempat, bisa jadi sindiranku tepat sasaran.


















Masih ku ingat bagaimana cara Jay kecil tersenyum untuk terakhir kalinya di iringi tangis kecil, bulir air mata menuruni pipi tanpa suara. Senyum penuh arti itu tiba-tiba terlukis pada diri Jay yang sekarang ku kenal. Selama berteman dengannya, persentase kemiripan Jay kecil mulai meningkat dan mendobrak keraguanku. Namun, rasa ragu tetap bersemayam damai dan hasilnya aku tetap ragu.




Jay tidak menceritakan bagaimana masa kecilnya secara rinci, itu berperan penting kenapa aku bahkan masih diam tidak bertanya. Takut Jay telah melupakan masa kecilnya, takut Jay telah merelakan masa kecilnya yang ku kira dipenuhi luka. Ya, aku masih asing, kurang tahu menahu pasal Jay Nirvana Dekap Semesta.




"Jay...," Panggilku ragu. Sunghoon pergi dari meja persegi panjang kantin untuk mengurus panggilan alam, tersisa Jiyoon dan Jake di sini. Soeun tidak hadir ke sekolah karena sedang ada acara keluarga.




"Kenapa, Pit?" Respon Jay seperti biasa. Ia mengangkat alis hitam di kening, menghentikan acara makannya saat diajak berbicara. Jay terlalu protagonis untukku yang tritagonis.



"Itu aku mau nanya soal temen kamu pas kecil, gimana kabar dia? Kamu udah ketemu dia belum sekarang?"



Jiyoon dan Jake terlihat menyimak kecil, sadar bukan urusan mereka, kedua temanku itu melanjutkan acara menguyah makanannya. Aku berharap Jay menemukan teman kecilnya, bagaimanapun dia pernah menjadi bagian dari hari-hari Jay. Bisa jadi ia lebih spesial bagi Jay, sampai pemuda jangkung itu dulu sangat bergantung padanya?



"Belum, Pit. Aku bingung carinya gimana, lagian aku lupa siapa nama lengkap dia. Rumahnya sekarang dimana juga aku gatau. Waktu dia pindah kan ga bilang pergi ke mana, orang tuanya gak bisa ngajak aku." Jay sendu membalas tanyaku.

Dekap ; JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang