07 : jengkel

180 43 0
                                    


vote juseyo 😔😔







Aku tergagap duduk disebelah Sunghoon, iya di sinilah aku. Di rumah guruku yang ternyata orang tua Sunghoon. Nilaiku sama sekali tak dicatat menggunakan tinta merah, tidak juga memiliki masalah dengan beliau. Namun, Sunghoon mengajakku ke rumahnya secara paksa untuk dikenalkan sebagai pacar jadi-jadian. Serius, aku tidak tertarik dengan tawarannya lusa kemarin.





Jantungku terpacu, keringat dingin menetes tipis di dahiku sejak Sunghoon dan ibunya mengobrol di dalam rumah. Tak jarang ibu Sunghoon marah-marah dengan volume kecil, aku masih bisa mendengarnya meski samar. Sudah ku tolak, tapi pemuda jangkung dengan alis hitam tebal itu kukuh memaksaku. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi.




"Ya berarti gak usah kenalin Sunghoon ke anak kepala sekolah dong, ma." Final Sunghoon mengakhiri percakapan, bayangan tubuhnya menuju ke arahku lebih dulu sebelum tubuh aslinya. Lampu dari ruang tengah seperti sengaja membuat siluet Sunghoon lebih berkarisma, mencolok layaknya artis di lingkaran spotlight.




Aku menunduk dalam, memainkan dua jemariku di atas lutut yang terbalut rok abu-abu. Skenario apa yang selanjutnya akan terjadi dalam hidupku selanjutnya?




"Ayo aku anter pulang ya," Tutur Sunghoon kembali dengan kaus putih polos dibalut jaket hitam dan celana abu-abu yang belum di ganti. Wajah Sunghoon lebih segar dari sebelumnya, sudah dipastikan Sunghoon mencuci wajahnya sekalian mengganti baju seragam. Aku mengangguk, berusaha tidak canggung agar penilaian ibu Sunghoon natural pada hubungan kami.




"Bu, Saya pamit pulang ya." Aku bangkit, menenteng tas ransel. Tak lama Sunghoon menyambar lembut tasku, membawakannya untukku. Ibu Sunghoon mengangguk, aku mencium punggung tangannya, seperti saat pelajaran beliau di akhir hari.




"Kalian hati-hati ya, Hoon jangan ngebut. Kamu bawa calon menantu mama."



Tangan ibu Sunghoon membelai rambutku beberapa puluh detik. Aku membeku sempurna, terlalu terkejut dengan perlakuan beliau yang terlampau baiknya. Sayang sekali Sunghoon dan aku menipu, memanipulasi hubungan kami yang palsu. Sunghoon segera menarik pergelangan tanganku, kelewat lembut jadi terlihat layaknya Sunghoon yang merengek minta pulang.



"Besok aku ajarin kamu main bola, skate atau apalah itu supaya anak kepala sekolah itu lebih minder sama kamu." Sepuluh meter meninggalkan pekarangan rumah, Sunghoon berbicara lumayan keras dari balik helmnya.




"Sampe harus gitu juga? Kenapa kamu enggak cari cewek lain aja kalau gitu, aku mah enggak jago sama permainan anak cowok," Jawabku menatap Sunghoon dari kaca spion motor matic hitamnya. Entah bagaimana paras anak pertama kepala sekolah, pastinya ia lebih cantik dariku. Kenapa Sunghoon menolaknya?



Hening. Sunghoon tak menjawab ucapanku. Ia semakin memacu motornya ke arah rumahku. Membiarkan suara angin menghilangkan suara rumpang dalam kedua indra dengar. Apa bagusnya pacaran dengan Sunghoon Temaram Bumi, rasanya belum ada atau bahkan benar-benar tidak ada. Jelas pahit di telan, semua ini hanya status jadi-jadian.













Sampai di depan rumah, motor Sunghoon berhenti memaksaku turun dan melepas helm. Masih menekuk wajah, Sunghoon menatapku galak.



"Jangan canggung-canggung di depan mama, kita harus bikin mama percaya."



"Kita? Bukannya cuma kamu aja? Aku manusia yang gak salah tapi tiba-tiba di seret sama kamu, cuma kamu yang aman. Sementara aku besok-besok mungkin tertekan gara-gara kelakuan kamu."



"Kamu suka kan sama aku? Bukannya kamu seneng, beruntung dong jadi pacarku." Sunghoon menatap mataku intens, mengintimidasi secara perlahan dan diam-diam. Salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas, melayangkan senyuman sinis yang tak pernah muncul pada diri Sunghoon saat di sekolah. Bagaimana dia tahu?



Aku sama sekali tidak senang. Sunghoon seperti memanfaatkan kelemahanku, kelemahan ku yang belum bisa melupakannya. Kelemahanku yang belum melenyapkan rasa suka dan kagum padanya. Mungkin ini salahku karena terlalu serius menatap Sunghoon kala semua orang tengah sibuk dengan urusannya masing-masing.



Namun Sunghoon tidak. Ia sadar jika ku perhatikan. Ia sadar tatapanku selama bersirobok dengannya selama beberapa bulan kebelakang itu definisi dari tatapan suka.



"Yaudah sana pulang," Usirku galak, ku ulurkan tangan mengambil paksa tasku dari tangan Sunghoon. Impresi pertamaku soal Sunghoon yang baik, lembut tergerus waktu dan pembuktian dari sosok alis tebal itu sendiri.



"Gak usah sok galak deh, galakin balik ntar malah mlempem," Cibir Sunghoon.



Sekali-kali aku juga bisa berbuat di luar dugaan, maksudku, aku bisa berlaku galak dan tidak peduli pada siapapun. Termasuk Sunghoon. Aku mengabaikan presensinya, segera masuk ke dalam rumah, mendorong keras pagar besi berlapis cat hitam. Sayang sekali Sunghoon tidak gentar, ia bergeming menatapku dari kaca spion.



Biarkan. Biarkan saja Sunghoon di depan area rumahku, tak akan aku bagi rasa peduliku lagi. Masuk ke dalam rumah dalam keadaan menekuk wajah itu hal aneh bagi ibu, tapi sepertinya beliau sudah menangkap apa penyebab dari kusutnya wajahku sore ini.




"Siapa, Ren? Kenapa gak suruh masuk?"



"Gak usah, bu. Dia cuma tukang ojek pengkolan kok." Aku membanting pintu kamar tak sengaja. Itu sebab rasa kesal, jengkel setengah marah menumpuk tinggi dalam diri.




Pov off






Sunghoon masih bertengger dimotornya, menatap rumah perempuan yang baru saja ia antar. Bagaimana cara mengajak Gempita supaya dia mau berangkat bersama Sunghoon selama mereka menjalani kepura-puraan ini? Ragu, Sunghoon menarik kunci motor dari tempatnya. Ia masuk ke dalam rumah, mengetuk pintu ebonit itu tiga kali sembari mengucap salam.




"Lho kamu yang nganter Aren, kan? Kok belum pulang nak? Ayo masuk dulu, kamu masih ada perlu sama Aren?"



Sunghoon menunduk hormat selama beberapa detik, mendengar suara ibu Gempita yang lembut sepertinya ia akan mendapat apa yang ia mau dengan cepat.




"Saya sama Pi— Aren abis bertengkar tante, soalnya dia nolak di jemput sama Saya besok," Tutur Sunghoon mengembangkan senyum bersalah di akhir kalimat. Akting yang cukup bagus bukan?




"Kamu siapa ya? Tante cuma kenal Jake sama Jay." Ibu Gempita di rundungi banyak tanya dan bingung di saat yang bersamaan.




"Oh.... Saya Sunghoon tante pacarnya Aren." Sunghoon secara lantang mengenalkan dirinya sendiri.




Ekspresi wajah ibu Gempita berubah, anak perempuan satu-satunya yang ia miliki tidak pernah bercerita jika ia sudah mempunyai pacar.



"Oke, nanti tante bilang ke Aren. Kamu besok pagi ke sini aja, masalah Aren biar tante yang urus."




Sunghoon mengembangkan senyumnya lebar, balasan yang ibu Gempita berikan tepat seperti apa yang Sunghoon duga dalam kepala.

Dekap ; JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang