16 : ternyata

130 36 2
                                    

Piring-piring yang menjadi tempat menu sarapan kali ini berjumlah lebih banyak dari biasanya, aku mendudukkan diri diseberang Sunoo. Setengah heran aku melirik ayah dan ibuku, entah apa yang menyebabkan semua makanan ada di atas meja kayu berwarna cokelat tua ini. Senyum cerah ibu menjadi kontras.




"Ini ada apa, bu?" Tanyaku masih menggantungkan sendok di udara. Piring yang masih terisi satu centong nasi aku abaikan sejemang demi bertanya lebih lanjut pada ibu. Sunoo juga membutuhkan jawaban, ia terus melayangkan tatapan heran ke arahku, berharap aku merealisasikan ekspresi wajah bingungnya.




"Ibu selesai nyiapin semua keperluan kalian berdua, ibu udah di terima kerja di Brunei. Kaya yang kalian tau, dan kabar bagusnya pemberangkatan di undur seminggu lagi. Aren sana Sunoo rela kan ibu pergi?"



Hening. Aku dan Sunoo bergeming, sementara ayah hanya memberi lirikan pasrah. Semula ayah tidak setuju dengan keputusan ibu, beringsut sedikit demi sedikit ayah menyetujui permintaan ibu yang berencana bekerja di luar negeri demi memperbaiki ekonomi. Ah aku juga sangat menyayangkan keputusan ibu.



"Kalau yang punya perusahaan bukan papahnya Jay, mana mau ayah ngizinin ibu kerja." Ayah bersuara setelah makanan yang beliau kunyah di mulut lolos melewati kerongkongan. Ibu mengangguk, menyetujui fakta yang ayah infokan pada kami.



"Papahnya Jay?"



"Iya. Temen kamu loh pas kecil, terus ketemu lagi sekarang kan? Jay yang sering ke sini sama... Jungwon."



Jawaban ibu sukses membuat kedua manik mataku melebar hampir loncat dari tempatnya, antara percaya dan tidak percaya. Nada bicara ibu terdengar risau di akhir, resah menyebutkan nama Jungwon. Benakku tiba-tiba berkecamuk antara senang dan pedih karena baru tahu fakta ini. Entah raga dan memoriku pergi kemana selama ini sampai tak sadar Jay Nirvana Dekap Semesta adalah temanku semasa kecil, sebelum pindah ke sini.



"Ayah sama ibu kenapa baru ngasih tau aku?"


"Lho, ayah pikir kamu udah tau itu Jay yang dulu main bareng sama kamu."


Aku menggelengkan kepala, nalarku tidak sejauh itu untuk menyangka semuanya. Meski memang sudah mendiagnosa, tapi aku belum menemukan bukti terperinci tentang Jay. Jalinan pertemanan kami berdua layaknya dua orang yang baru bertemu, lalu familier seiring berjalannya waktu.



"Jangan-jangan kak Jay juga ga sadar kalau kak Pita itu Aren temen kecilnya," Ujar Sunoo mengundang tawa kecil ayah dan ibu yang dipenuhi keheranan.


"Mungkin sih, soalnya Jay kaya ngga bahas masa kecilnya ke ayah sama ibu. Aduh! Udahlah kalian tuh aneh-aneh aja masa ga sadar udah ketemu lagi." Ibu menggelengkan kepala. Rasa yang tak percaya yang menggumpal menyebabkan lidahku kelu, tak bisa merangkai kata untuk merespon kalimat ibu.


Ingin ku sudahi acara sarapan kali ini sesegera mungkin, lalu berangkat ke sekolah untuk menemui Jay dan meminta penjelasan apa ia juga bahkan tak tahu siapa aku di masa kecilnya. Namun, sayang sekali ayah kembali dari garasi mobil dan mengatakan hal buruk bahwa ban mobil ibu bocor. Sementara mobil ayah masih menginap di bengkel.


"Kemarin katanya cuma kempes, bu?" Sunoo menyudahi acara sarapan. Ia menumpuk piring bekasnya di atas piring yang selesai ku gunakan, aku hafal bagaimana Sunoo. Aku segera menaruh piring ke sink, meninggalkannya begitu saja. Ayah yang mencuci peralatan makan kami hari ini.


"Sunoo, pake seragam olahraga gak sih kamu? Kok pake jersey? Nanti kamu dimarahin sama pengurus osis lho, mereka galak. Suka bikin anak orang nangis." Sedikit menggertak aku menarik ujung jersey Sunoo, mengimbaskan kakinya batal melangkah lebih jauh dari posisiku berdiri.


Dekap ; JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang