Satu kesalahan dalam hidup memang kadang sering menjadi titik fokus, titik berat orang-orang dalam menilai. Mereka tidak tahu rasanya memikirkan kesalahan yang bahkan tak pernah di lakukan oleh diri sendiri. Dan hal itu menimpaku kali ini. Membisu bergelut dengan kelu, biarkan aku termenung, meminta Tuhan menghapus dosa yang ayahku lakukan.
Ponsel di atas nakas menganggur dua hari yang lalu, dua hari aku mendekam di kamar. Menekan napas, menormalkan keadaan. Sudah dua hari juga om Jungkook mengantarkan Sunoo ke sekolah, sementara aku memilih bolos dan tak mau menampilkan wajah di depan mereka. Om Jungkook membujuk berkali-kali, tapi sadar diri mentalku lemah, tidak setegar Sunoo. Membayangkan reaksi orang-orang ketika menatapku saja aku takut bukan main.
Om Jungkook menelepon ibu, memberitahu konflik yang ayah dapati. Ibu tentu terkejut, gelas yang beliau pegang saat berada di kantin menabrak kencang bidang kayu. Rencananya ibu pulang akan pulang satu minggu lagi, meminta izin pergi meninggalkan tugas secara mendadak bukan kebiasaan dari perusahaan yang di kelola keluarga Jay.
Tiga kali ketukan suara dari ujung telunjuk yang bertabrak dengan pintu kayu membuyarkan lamunan, suara keras itu sudah pasti datang dari om Jungkook yang baru pulang dari kerja. Aku menyingkap selimut, merapikan rambut sekejap sebelum membuka pintu mempersilakan om Jungkook masuk.
"Ayo makan malam, om bawa Pizza kesukaan kamu."
"Gak mau," Tolakku mengalihkan pandangan. Tubuh lebar om Jungkook menutup sebagian ambang pintu, tatapannya melayang memelas setengah tajam. Adik ibu yang satu ini memang kurang pandai membujuk keponakannya menggunakan cara baik-baik sejak dulu.
"Di luar ada Jayadi."
"Hah? Temenku gak ada yang namanya Jayadi!" Semakin kesal aku mempertemukan kedua sisi alisku di tengah dahi. Om Jungkook seperti mau menyempurnakan penderitaan ku di bumi ini, aku meminta om Jungkook menyingkir dari ambang pintu sesegera mungkin. Itu cuma satu-satunya jalan supaya aku bisa menemui orang yang di sebut Jayadi, telinga ku panas mendengar om Jungkook salah menyebut nama orang.
"Jay, what are you doing here?" Sapaku pada Jay yang tengah duduk di samping Sunoo. Om Jungkook melewatiku, pergi ke dapur membersihkan kekacauan yang sempat ia buat. Mi instan yang di masak oleh om Jungkook penampilannya kalah telak dengan sekotak Pizza yang dibawakan Jay sore ini.
"Just want to make sure you're all right, khawatir banget aku sama kamu. Jake, Jiyoon juga," Tutur Jay melebarkan senyum di akhir kalimatnya. Mungkin mereka bingung kenapa aku bolos sekolah, sakit atau bahkan terkena serangan depresi. Jay menyuruhku duduk di sebelahnya. Aku pikir om Jungkook telah memberitahu Jay bahwa aku belum makan sejak pagi, Jay menyerahkan satu porsi bubur ayam.
"Lho kan itu punya kamu," Ucapku menolak tawaran Jay. Harusnya dia yang memakan bubur ayam itu.
"Aku udah dikasih mi instan sama om kamu, mau ku tolak tapi ngga enak soalnya udah di bikin."
"Kamu dari tadi di sini?" Tanyaku. Kalau om Jungkook sempat membuatkan mi instan untuk Jay, estimasi Jay sampai di rumah ini hampir lima belas menit yang lalu. Telah menjadi kebiasaan jika ada tamu, om Jungkook akan menginterogasi nya lebih dulu.
Anggukan yang diberikan Jay menjadi jawaban dari rasa penasaran ku yang berkisar 10% itu, sisanya aku penasaran apa yang di katakan om Jungkook pada Jay. Melenyapkan pikiran kalut, aku memilih menyentuh bubur ayam yang suhunya berubah setara dengan suhu udara.
Jay membiarkanku makan lebih dulu, sekarang ia mengobroli Sunoo. Berkedip, aku melihat bagaimana usaha Jay dalam menghibur Sunoo. Sampai sebuah tanya muncul dalam kepala merasuk pedih sang suasana hati, apa kamu bahagia juga Jay?
Apa ada orang yang menjadi alasan kamu tersenyum saat dilanda kesedihan?
"Jay, You already know that I am Aren?" Pertanyaan singkat, langsung pada inti ku layangkan sehabisnya bubur ayam dari mangkuk. Bubur ayam terasa hambar di mulutku sejak selera makanku menurun lumayan tajam. Sunoo pamit undur diri dari meja makan karena harus mandi, karena om Jungkook telat jemput Sunoo jadi melipir melihat anak-anak basket latihan di lapangan indoor. Yang ku dengar Jay mengajak Sunoo pulang juga, tapi ia menolak lembut, takut merepotkan.
Hening. Tatapan teduh Jay dalam memandang manik mataku, hanya ada suara gelembung kecil dari galon dispenser menghias indra dengar. Mungkin Jay masih mencerna pertanyaan, dapat ku simpulkan ia belum tahu dengan fakta ini. Apa Jay akan kecewa karena aku baru mengatakan nya? Jangan-jangan amarah menumpuk di benak Jay. Lebih parahnya Jay akan memusuhi selamanya.
"Kenapa baru bilang sekarang?" Jay menghela napas. Raut wajahnya tak bisa ku baca jelas. Jantungku berdegup, takut seorang Jay Nirvana Dekap Semesta marah padaku, lalu pergi menjauh.
"I wasn't sure, aku takut salah orang."
"Kenapa masih aja takut, Ren? Harusnya kamu sekarang jadi cewek pemberani. I'm sure you can," Tutur Jay mengulurkan tangan supaya dapat mencapai puncak kepalaku. Selanjutnya, Jay menarik bahuku ke dalam rengkuh tangannya. Baru kali ini, dekapan Jay terasa nyata seperti dulu. Bukan Jay yang sebatas kenal saat menginjak SMA.
"Tapi aku bukan Jay temen kecil kamu. Aku sekarang Jay temen masa depan kamu." Masih dalam dekapannya, aku bisa mendengar jelas nada suara Jay yang terselip senang. Bulir bening air sebesar biji jagung terjun bebas menuruni pipi tanpa permisi, membiarkan seragam putih Jay basah karena air mataku. Dalam keadaan rapuh aku di buat terharu oleh Jay, ia benar-benar Jay. Orang yang bisa memberikan semua yang ia punya.
"Hei, why are you crying? I'm already here. Don't worry." Sekali lagi Jay mendekapku hangat, menepuk bahuku pelan memberi kekuatan. Jay menyudahi adegan yang tak terencana ini, aku mengusap jejak air mata di pipi sebelum Jay melakukannya. Pada dasarnya aku bukan perempuan yang suka di perhatikan laki-laki selain keluarga ku.
"Maaf, aku terlalu lancang sampai meluk kamu tanpa izin."
"Besok kamu berangkat kan?" Lanjut Jay menanyakan, sudikah jika besok aku menjejakkan kaki di sekolah? Aku berpikir, ragu karena rasa takut masih membelenggu kuat dalam benak.
"Aku temenin kamu, you're not alone. Ada aku, Jiyoon, Soeun, Jake juga." Tanpa henti Jay terus meyakinkanku, mengusir rasa takut dalam diriku bertahap.
"Kamu tahu tanaman kecil yang tumbuh di tebing aja bahkan sanggup bertahan meski dia tahu akan berakhir. Entah kapan waktu berakhirnya, tapi dia tetap berjuang, menggantung bertahan hidup di tanah tebing yang rapuh. Mungkin ini emang gak ada korelasinya sama kamu, tapi belajar dari sesuatu menyakitkan itu hal yang paling hebat."
Aku tersenyum, rangkaian kalimat yang Jay berikan membuat semangat dalam diriku tumbuh. Refleks, aku mengangguk, mengiakan ucapan Jay yang persentasenya sangat besar mendobrak rasa takut. Aku iri kenapa Jay begitu bijaksana sekarang, darimana ia belajar?
Ya ampun aku ngetiknya mau nangis :((
Vote dong bestie, terimakasih ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Dekap ; Jay
Teen FictionKalau sahabatan sama Jay dan Jake, pacarannya sama Sunghoon, lanjut Heeseung, nanti nikahnya sama siapa ya? ⚠️ Cliche moments, there are a lot of typos #1 Jasuke 23082022 #1 Jiyoon 19062021 #1 Parkjongseong 21072021 # 2 Soeun 06062022 #22 Jay 110220...