mereka : 22

109 31 0
                                    

Kalau hidup sudah hambar, apa yang harus ku lakukan sekarang? Ada banyak gula di atas meja, ada banyak garam di lemari dapur, namun aku membiarkan rasa hambar itu mendekam dalam benak. Rasa dalam hidup tidak ditentukan seberapa banyak memakan gula, mengonsumsi garam, menelan ratusan permen, bahkan memakan buah semanis madu.


Langit pagi yang biasanya indah pun bisa menjelma menjadi kelabu jika sudah waktunya. Musim berganti, bagaimana dengan rasa ini. Kapan ia akan berganti jua?



Dua bola mata bersinar itu bersirobok dengan dua manik mata kelam milikku, terang dan sayu jika bertemu akan jadi pemandangan saru. Terang akan mendominasi, tapi akankan kelam itu menghilang? Belum tentu, karena aku menolak kehadirannya.



"Pita...." Suara lembut Sunghoon menembus suara gerimis yang menabrak atap sekolah. Dengan tatapan setengah kosong, aku melihat wajah Sunghoon yang setengah basah karena air dari langit. Entah apa yang ada dalam lika-liku otak di kepalanya, Sunghoon tersenyum senang melihat presensiku pagi ini.



"Seneng bisa lihat kamu ke sekolah lagi," Lanjut Sunghoon menuntaskan senyum. Aku terpaku di tempat, sampai memori lewat dalam kepala, mengingatkan betapa giatnya Sunghoon mengirimiku pesan sejak malam dimana ayah di kabarkan menabrak seseorang sampai tewas di tempat kejadian. Sunghoon menguatkanku, tapi sayang kekuatan itu tak sepenuhnya datang dari Sunghoon.



"Aku anter kamu sampai kelas ya."



Telapak tangan bersuhu rendah milik Sunghoon menggenggam tanganku, kontras dengan suhu tubuhku yang memanas karena terlalu memikirkan banyak hal yang belum tentu terjadi. Tanpa penolakan, kedua kakiku ikut melangkah di sebelah Sunghoon. Membuat irama gerimis dan irama dalam hati berpadu selaras membuat melodi latif.



Mana orang yang berhasil melupakan Sunghoon Temaram Bumi secepat kilat menyambar? Aku mau meminta petunjuk praktis darinya. Melupakan Sunghoon bukan hal mudah, tidak ada cara cepat seperti menaiki gedung berlantai lima puluh menggunakan lift. Aku dipaksa menuruni tangga satu persatu, tapi kemudian Sunghoon seperti meneriakkan kata kembali dengan keras dari posisinya.



Lorong yang di isi payung tertutup di sisi tembok menjadi pemandangan yang biasa bila musim hujan begini. Tak sedikit juga siswi yang membersihkan lantai lorong di depan kelas dari jejak-jejak pasir. Hujan bukan hanya merepotkan manusia, ia juga mampu merepotkan rasa. Selebihnya hujan begitu di syukuri karena berguna banyak untuk sebagian orang.




"Pit, jangan diem terus. Ayo bicara!"



"Bicara apa?" Tanyaku membalas Sunghoon. Kelas kami dipindah ke lantai dua entah apa sebabnya, aku belum mendengar info secara rinci. Sunoo bilang memang ada perubahan denah kelas di sekolah, tapi informasi yang diberikan hanya intinya saja.



Jemari Sunghoon masih terasa di setiap inci ujung jemari, getaran kecil itu sampai ke ujung nadi, ikut menimbulkan ukiran tipis tersungging manis di bibir. Ku gerakkan otot mataku yang terasa kaku, Sunghoon Temaram Bumi bahkan sempurna meski di pandang lewat ekor mata.



"Aku bisa ke kelas sendiri," Ujarku merasa sesak, ucapan Jaehee di hari yang telah berlalu kembali menancap keras dalam kepala. Memaksaku pergi dari sisi Sunghoon, ia terpaku tanpa reaksi berlebih.













"Heh ayo tambah, tambah!" Heeseung bersorak dalam kegembiraan di tengah meja kantin, ceritanya mereka menyambut kehadiranku. Tidak semua penghuni kelas ada di sini, hanya teman-teman dekatku saja. Jake dan Sunghoon menjadi perwakilan anak MIPA katanya, padahal anak-anak MIPA antipati terhadapku sejak berita itu menyebar makin luas di grup angkatan.



"Woee ah! Cabenya kena tangan gue! Kecabean nih ntar tangan kekar gue!" Jay mengomel, Heeseung tak sengaja menyenggol lengan Jay yang tergeletak di sebelahnya. Satu buah cabai yang Heeseung gigit itu menjadi bahan bagus untuk mengundang amarah Jay. Heeseung tidak sejahil itu meski tahu Jay membenci cabai beserta rasa pedas yang di sebabkan zat capcaisin.



Sedikit berbeda, Soeun sama sekali tidak terlihat di meja ini. Sejak pagi ia bungkam seolah ikut memakan kecewa akibat kejadian tak menyenangkan malam itu. Memang aku siapa? Mana bisa mengendalikan takdir yang telah digariskan oleh Tuhan. Jiyoon menyenggol lenganku pelan, aku tertangkap basah sedang melamun dalam kunyahan pelan.



"Pit, kamu masih sakit ya?" Jake bertanya, penghuni di meja mengalihkan fokus lensa matanya padaku.



"Enggak kok! Aku udah sembuh," Balasku cepat tanpa mau memancing rasa simpati mereka. Beruntung mereka langsung sibuk pada kegiatan masing-masing, lalu Jiyoon mendorong sekotak jus buah padaku. Ini lebih baik dari sekotak susu atau sekaleng soda di saat haus menimpa.


Berterimakasih aku mengobrol bersama Jiyoon membahas tugas yang sempat tertunda. Meliburkan diri tanpa mengirim surat izin agak memalukan memang, hasilnya aku di ganjar banyak tugas menumpuk dan materi yang belum ku tulis.



"Sunghoon katanya mau balikan sama Pita, udah balikan belum nih?"


Uhuk


Sunghoon batuk kecil karena makanan yang ia telan terganggu oleh udara yang masuk, mungkin Sunghoon mau menyangkal secepat kilat. Sudah berkali-kali aku mengatakan pada Sunghoon, aku sama sekali tidak mau membahas masalah itu. Masalah tidak jelas, hubungan pacaran tidak jelas kemudian merencanakan agenda balikan? Aneh.


Gelas berisi setengah air semi dingin itu tandas di genggaman tangan Sunghoon. Ia menggelengkan kepala tanda semua kalimat Heeseung kurang mengandung fakta konkret. Jay ikut-ikutan bertanya pada kami berdua.



"Sunghoon tuh licin banget mulutnya sekarang! Lu minum pake minyak goreng hah?" Begitulah respon Jay ketika ku balas pertanyaan penasaran mereka dengan gelengan. Jake mendahului kami tertawa, sampai di susul Heeseung dan Jay sendiri. Walaupun mau, aku tetap berusaha teguh, agak trauma dengan hubungan pura-pura yang di bangun seorang Sunghoon Temaram Bumi. Hubungan palsu yang terlihat sangat nyata di depan orang-orang.



"Kalo masih sayang dua-duanya mending balikan lagi ege." Heeseung belum menyerah membahas perihal ini.



"Hees udah deh ga usah dibahas, kasian lu mah bikin Pita pusing lagi." Jiyoon memotong asumsi di kepala. Aku cuma bisa mengangkat kedua bahu, menyimpulkan senyum. Ah rasanya cukup berurusan dengan Sunghoon.



"Lu tuh sana bilang ke gebetan lu, tembak atau gimana. Jangan di gantung doang." Baru selesai mengunyah makanan, Jay berbicara, seperti sengaja membombardir Heeseung dengan sekali pertanyaan maut.



"Gebetan yang mana, orang kaga ada!" Sanggah Heeseung menyangkal keras penuturan Jay. Aku hanya memperhatikan bagaimana para pemuda ini serius berdialog membicarakan hal yang terus berubah-ubah subjek, semula Sunghoon, aku berlanjut Heeseung—si pembuka dialog rasa.



"Belajar yang serius, bilang mau masuk univ favorit ngomongin cinta-cintaan mulu lu." Jake menyambar. Telinga Jake akan panas, ia alergi pembahasan semacam ini.


Hening. Kami menghabiskan air minum masing-masing, sekotak nasi yang di sediakan oleh sekolah habis tak tersisa. Kotak nasi berisi makanan empat sehat lima sempurna sengaja di laksanakan pihak sekolah demi mendukung anak-anak Indonesia yang sehat. Sejak kepala sekolah berganti, wacana agenda kegiatan terealisasi satu demi satu.


Selanjutnya, bel berbunyi. Jake dan Sunghoon pamit lebih dulu, mereka harus pergi ke laboratorium, menyelesaikan praktikum. Sementara kami berempat kembali ke kelas, Heeseung dan Jay berjalan di belakang kami. Masih mengobrol perihal anak laki-laki, bukan masalah rasa lagi, pokok pembahasan mereka berlanjut pada hobi. Aku dan Jiyoon hanya berjalan tanpa sepatah kata. Jiyoon paham aku masih tidak nyaman berada di ruang publik.











Hm gimana ya, aku pikir alurnya lambat   😭😭
Klo ku cepetin takut cepet bgt  🥺🥺




Dekap ; JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang