17 : ancam

131 36 0
                                    

Halaman hidup tidak sepenuhnya di penuhi warna indah dan cerah, ada kalanya satu sampai kelipatan tak menentu halaman itu kosong, hampa lebih parahnya kelabu. Tidak apa-apa, semua itu normal. Sepelik apapun masalah ada jalan keluarnya, meski sulit di raih, memikirkan seribu jam juga kadang masih salah langkah. Kenapa tidak meyakinkan diri sendiri lebih dulu dari pada membuang waktu?



Aku sekarang menatap dua sticky note yang tertempel di laci meja. Apa ini permulaan konflik baru dalam hidupku? Sudah berkali-kali tulisan berisi ancaman itu hinggap di laci mejaku setiap pagi, tidak ada yang tahu karena aku yang selalu berusaha berangkat lebih pagi dari orang-orang demi mengetahui siapa pengirim pesan ini.




Keberuntungan belum bisa ku genggam, si pelaku misterius belum sanggup ku temui. CCTV di kelas ini mati, bukti jelas tak bisa aku dapatkan secara cuma-cuma. Harus ada pihak lain yang ikut membantuku, tapi aku ragu meminta tolong meski kami dekat. Semakin banyak yang membantu akan semakin cepat masalah ini selesai, kan?




Srkk




"Apa nih, serius banget bacanya. Ayo punya secret admirer ga cerita-cerita."




"Jay! Balikin!" Aku berdaya mengambil sticky note berwarna abu-abu itu dari tangan Jay, tapi pemuda di depanku menggunakan satu tangannya yang menganggur untuk memaku tubuhku di posisi. Jay leluasa membaca semua tulisan-tulisan tangan tersebut, hingga pandangannya beralih meminta penjelasan padaku. Jantungku berdetak kencang tak sanggup melihat reaksi Jay.




"Pit, ini dari siapa? Kenapa kamu gak pernah cerita sama aku?" Emosi Jay ikut terpancing melihat tulisan ancaman di sana. Bisa saja aku melaporkan ini pada guru BK, lalu beliau menyisir dengan cepat dalang dari perbuatan jahat ini.



"Sorry, aku takut kalian khawatir. Aku juga belum tahu siapa yang ngirim," Balasku cepat. Menahan gerak tangan Jay yang akan menyobek dua lembar kertas kecil, ini bisa di jadikan bukti jika aku sudah menemukan pelaku.



Semula aku pikir itu semua sticky note itu hanya berisi candaan yang tak perlu aku seriusi dan aku pikirkan. Semakin hari semakin menjadi. Beberapa ancaman yang tersurat juga menjadi nyata, salah satunya Sunoo yang benar-benar marah besar padaku. Sampai sekarang kami belum baikan, aku dan Sunoo terlihat baik-baik saja di rumah. Namun, di balik itu semua Sunoo menyimpan rapi emosinya.



"I'll help you later."



Aku mengangguk menatap Jay sekilas. Dari parasnya yang ku tangkap pagi ini, ia terlihat lelah. Ukiran di bawah matanya menggambarkan betapa kerasnya ia berpikir mendalami semua solusi yang ada di kepala. Aku sama sekali tidak mau membebankan orang lain, kecuali memang aku di tawari bertukar solusi.



"Jay, jangan bilang ke temen yang lain. Please." Aku menahan tangan Jay sebelum ia beranjak pergi ke meja seberang.



"Iya, Pit."












Di bawah daun-daun pohon yang berjatuhan aku dan Jay duduk memangku dagu. Berharap sore ini bisa melihat sesuatu yang akan menjadi petunjuk di esok hari. Kamera yang di bawa Jay berguna sebagai alat manipulasi, orang-orang pasti mengira aku dan Jay tengah menyiapkan proyek baru. Iya, kami satu ekstrakurikuler.



Entah apa yang membawa kami berdua pada ekstrakurikuler fotografi secara tak sengaja. Mungkin Tuhan memang mau kami tetap bersama menjadi tali pertemanan sampai tua. Di sela-sela melihat gerak-gerik Sunoo dan temannya, otakku berkelana merangkum praduga. Asumsi yang ku buat dalam kepala tak begitu kuat sekuat genggaman tanganku pada Sunoo saat menyeberang jalan. Jay bisa saja menolak pemikiranku.


"Jay, kamu serius lupa sama aku?" Tanyaku. Jay mengalungkan kamera pada lehernya. Impulsif ia menggelengkan kepala merespon pertanyaan ku. Selama ini aku belum bisa mengatakan aku adalah Aren teman kecilnya, dangkal sekali pikiranku karena menganggap Jay akan marah dan menjauh. Padahal Jay juga mencari teman kecilnya, itu aku kan?



"Why so sudden, Pit? Kita lagi ngawasin siapa aja yang deket sama Sunoo kan. Jangan melenceng dulu, Pit. Kita meleng dikit aja nih bisa kehilangan jejak," Ucap Jay realistis. Kedua bola matanya menatap ambang pintu kelas Sunoo, hari ini kelas Sunoo pulang terlambat karena ada salah satu teman mereka yang merayakan acara ulang tahun.



"Pit, kamu yakin dia temennya Sunoo?"



"Yakin, soalnya kaya dia tahu seluk-beluk Sunoo. Di sticky note yang dia kirim juga pernah bilang Sunoo bakalan marah besar ke aku, dan beneran sampe sekarang Sunoo masih marah. Aku minta penjelasan salah aku dimana, Sunoo malah diem aja," Ucapku memburakan napas ke udara. Masalah apapun itu, asal jangan menyangkut amarah orang-orang terdekat ku. Jujur itu hal paling menggores hati.



"Boleh ga aku tanya-tanya ini sama Jungwon juga? Kan mereka masih sering main meski beda kelas. Maybe, Jungwon punya clue buat kita."



Aku menimbang perkataan Jay yang setengah berisi izin, setengahnya lagi saran. Jujur saja intuisi ku lebih buruk dari naluri seorang induk pada anaknya, memikirkan banyak hal tanpa melakukan observasi dan bertanya pendapat orang lain aku akan sulit memilih.



"Boleh, tapi Jungwon beneran gapapa di seret ke masalahku? Aku takut dia gak mau bantuin, karena ngerasa berat sebelah. I mean, Sunoo kan temen dia takut informasi Sunoo bocor ke orang lain."



"Pit, you must clear your mind. Kamu itu kakaknya Sunoo juga, mungkin ada yang punya konflik sama salah satu temen Sunoo. Jungwon juga seneng kok bantuin orang lain, kita sadar sebagai manusia dan makhluk sosial harus saling bantu kan."


Jay tersenyum menyudahi kalimat, seakan mentransfer rasa percaya yang besar bahwa semua ini akan baik-baik saja jika Jay menarik Jungwon sebagai orang yang di seret dalam membantuku.


Fokus kami terganggu karena seremoni yang di adakan di kelas itu berakhir. Jay menganalisa setiap gerak-gerik adik kelasnya. Dua manik matanya mengunci tubuh tegap Sunoo ketika keluar dari ruang beriringan bersama seorang perempuan. Jay pura-pura mengobrol denganku selagi fokusnya kadang beralih.



"Pit, dia kali ya? Dia doang yang keliatan akrab sama Sunoo." Jay mematikan kamera, menyudahi acara pemantauan semi tak berguna ini. Serius, aku takut Jay menjadi sasaran berikutnya.



"Nanti aku tanya namanya sama Jungwon. Sekarang Sunoo pasti nyariin kamu, mending kamu telepon dulu suruh nunggu di lobi. Bilang aja abis ngurusin project makanya kamu masih di sini," Tutur Jay memasukkan kamera mahal  kembali ke tempat semula. Aku mengangguk, mengirim Sunoo pesan singkat.



"Sunoo nunggunya di lobi, abisan di parkiran panas katanya." Aku beranjak, mengikuti langkah kaki Jay yang memimpin. Ia juga akan pergi menemui Jungwon.



Sampai di lobi, aku melihat Jungwon lebih dulu. Ia duduk di sofa memasang wajah setengah cemberut, di sisi lain ada Sunoo dan temannya yang lain. Satu persatu mataku menelisik mereka, hanya perempuan berambut hitam panjang yang selalu ada di sisi Sunoo. Aku kenal dia.



"Pacaran teroos!" Jungwon mendesis, semua pasang mata mengalihkan atensi pada ku dan Jay. Refleks Jay membungkam mulut Jungwon karena gemas, Jay mengomeli Jungwon karena adik angkatnya itu berucap sesuatu yang bukan fakta. Jay dan Jungwon pamit lebih dulu meninggalkan lobi yang mulai sepi.



"Ayo, pulang."



Tanpa sepatah kata yang Sunoo keluarkan untukku, dia akhirnya pamit pada temannya—Jihan. Aku melihat nama yang menempel di baju bagian kanan seragamnya memastikan, bagus penglihatan ku masih bisa mengumpulkan semua huruf itu jadi satu. Aku tidak salah orang.


"Sunoo hati-hati lu pulangnya." Anak perempuan di sisi lain meneriaki Sunoo, terkesan keras dan tidak tahu tempat. Padahal masih ada guru dan staf yang ikut menempati ruang lobi ini. Entah siapa namanya, tapi aku merasa sedikit ganjil dengan nada bicara yang keluar. Agaknya dia tidak suka melihat Sunoo dekat dengan Jihan.











Dekap ; JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang