BOBBY (1)

1K 97 11
                                    

Gue gak menganggap hidup gue gak beruntung. Gue juga gak pernah menyesali sama apa yang gue punya dalam kehidupan gue. Gue hanya selalu menganggap hidup gue lebih dikasih tantangan sama Allah, memang gue di kasih kesempatan lebih sama Allah, untuk bisa lebih dulu dan lebih banyak belajar, yang namanya perjuangan hidup, dibanding teman – teman seumuran gue.

Disaat mereka berangkat kampus naik turun mobil pribadi, mulai dari yang kelas mobil murah sampai yang pintunya cuma dua dengan ban ceper dan body mengkilap, gue harus cukup happy naik turun bus patas.

Apa gue kesal? Nggak. Apa gue iri? Itu manusiawi. Jadiin aja doa gue bisa punya mobil kayak gitu juga suatu saat nanti.

Yah, gue masih banyak bersyukur karena gue masih naik turun patas AC, bukan metro mini yang kalau nyetir bahkan setirnya tinggal berbentuk batang begitu, gak ada ac, bangku lempeng besi bikin pantat sakit dan panas, belum aksinya yang suka naik – naik trotoar karena gak sabaran nahan macet.

Semua ini gue jalani, bukan karena orang tua gue gak sayang sama gue, tapi karena memang begitu lah keadaan keluarga gue. Sederhana. Catat ya sederhana, kami gak kekurangan, gak menderita, hanya saja, kami butuh lebih berjuang saja. Bukan karena bapak gue malas bekerja, tapi karena memang Allah kasih kami rejekinya segini.

Menghadapi situasi keluarga gue yang begini sedari dulu, membuat gue bertekad, gue lah nanti yang bakalan bikin mereka merasakan hidup yang lebih diatas kelasnya. Lebih baik suasananya, dan pastinya lebih nyaman dihari tua bapak sama ibu.

Cita – cita awal gue itu kuliah tekhnik mesin atau perminyakan. Gue pingin banget kerja di site, di bagian eksplorasi migas. Ngebayanginnya keren banget, kerja di rig pakai baju khas engineer, dan berkutat dengan peralatan – peralatan canggih. Membuat gue merasa benar – benar didunia laki – laki. Gue bahkan gak pernah membayangkan diri gue berpakaian rapih sleek ala – ala pegawai bank yang harus duduk di front line dan menebar senyuman lima jari menyambut customer datang. Walau secara fisik, mungkin gue terlalu bersih dan klimis untuk di kotorin noda – noda oli sebagai engineer.

Tapi nasib berkata lain, gue keterima di universitas negeri tapi diluar kota yang lumayan jauh, walau sesuai jurusan yang gue mau. Yang setelah di hitung – hitung, biayanya malah jadi lebih besar dari pada gue kuliah swasta tapi tetap di Jakarta. Padahal, gue udah bilang, gue gak apa – apa tinggal di kost murahan aja, dan makan seadanya. Tapi nyokap tetap gak mau, karena khawatir dengan keselamatan dan kesehatan gue. Yah, memang sih, kalau gue kuliah disitu, kemungkinan gue bisa nyambi – nyambi kerja juga kecil banget.

Kalau nyokap udah gak restu, dan biayanya malah memberatkan pikiran keluarga, gue bisa apa? kadang memang hidup harus menggeser cita – cita demi sesuatu yang realistis. Seperti halnya sepupu gue yang notabene seorang arsitek, tapi malah bekerja di bank. Nyatanya dia sukses, sekarang sudah jadi EVP.

Akhirnya, gue putuskan kuliah di jalur swasta, tapi ambil finance. Kenapa gak tekhnik sesuai cita – cita gue? Biayanya terlalu mahal. Yasudahlah, finance juga berhitung, dan gue suka matematika. Lagi pula, setelah tanya sana dan sini, tenaga finance itu dibutuhkan dimana – mana. Apalagi kalau kerja di jalur bank, karir cepat menanjak.

Gue butuh itu. Gue butuh cepat kerja dan punya uang sendiri.

Bokap gue seorang pegawai negeri sipil, tapi golongan biasa – biasa saja. Sehari – hari juga dia ngantor naik motor bebek, malah kadang ngojek atau nebeng omprengan yang searah. Seorang pekerja keras yang jujur, juga amanah yang gak mau ikut – ikutan terima suap. Bapak itu benar – benar panutan gue dalam menafkahi keluarga gue kelak.

Kata bapak, 'Bobby, nafkahi anak istri itu dengan yang halal, bukan dengan yang banyak tapi haram. Gak akan jadi berkah' waktu itu dia bilang begitu, setelah ada berita seorang anak pejabat ditemukan tewas di toilet pasar, karena over dosis sabu - sabu.

Mencintai NaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang