ABRAM (5)

659 99 8
                                    

Bego! Itu yang gue rasa. Gue ngerasa gue di bego – begoin sama semua orang berlabel keluarga. Mau ngamuk juga percuma. Ternyata Ica itu sudah hamil 4 bulan waktu nikah sama Reynold. Cuman aja badannya masih langsing. Dia memang dikaruniai postur model kayak mama.

Reynold yang santai kayak gak melakukan dosa apa – apa sementara Alisha yang udah mengkeret takut gue mengamuk. Bisa – bisanya gue gak tahu kalau adik gue menikah karena sudah hamil duluan. Dan mama? "yasudah lah Bram. Yang penting kan sudah di nikahi" dengan santainya.

Gue gak paham lagi sama keluarga ini. Beneran. Apa wujud sebuah keluarga yang harusnya tempat berlindung dan berlabuh, khusus buat gue memang cuma disediain yang kayak beginian ya? Yah, gue mau berharap apa? Ica jadi anak pesantren yang shaliha? Dia aja lihat ibunya bisa santai ajrut – ajrutan sama Jo yang masih pede banget mondar – mandir dirumah ini.

Habis sudah sisi moral keluarga ini, yang patut dicontoh dan diteladani oleh gue dan Alisha. Gue gak bisa berbuat banyak juga. Mungkin kalau gue marah sama Alisha, dia juga bakalan serang balik gue.

Yah gue emang siapa sih? sama aja kan? kebetulan aja gak ada yang jadi anak.

"abang harap pernikahan kalian lebih baik dari papa dan mama,Ca. Jangan cuma untuk mengesahkan status anak kalian. Kamu sudah tahu rasanya jadi anak dikeluarga awut – awutan kayak gimana kan?" ucap gue kesal. Alisha semakin duduk mengkeret didepan gue.

Kenapa harus pernikahan yang didasari alasan menjijikan lagi yang ada didepan mata gue? Sebanyak apapun pernikahan indah diluar sana, tetap gak bisa berhasil membuat gue merubah perspektif gue akan apa itu pernikahan.

Gue gak mungkin mencontoh pernikahan pak Habibie dan bu Ainun kan? gue bahkan gak kenal sama mereka. Gimana gue mau jadikan mereka teladan? Yang seharusnya jadi teladan gue malah bertingkah kayak binatang. Binatang aja bisa setia sama pasangannya, ini malah lompat sana sini, dari ranjang ke ranjang.

Tolong seseorang kasih gue alasan, untuk tetap berpikiran positif tentang apa itu pernikahan?

****

Sekarang duduk dihadapan gue, perempuan yang selalu membuat gue merasa dunia gak sejahat itu. Perempuan yang sebenarnya, sudah gak mau se manis dulu lagi sama gue. Tapi gue bertekad untuk mengetuk pintu hatinya lagi.

Karena hanya sama dia, gue bisa percaya kalau hidup itu masih ada manis – manisnya. Dia sumber semangat gue. Jujur aja, gue kehilangan semangat sejak dia gak bersama gue lagi.

Dari tadi tatapannya memandang ke seputaran interior restaurant yang memang biasa gue pakai menjamu client. "serius ini jamu client disini? ngejamu apa ngelamar?" tanyanya sambil tertawa yang gue yakin lebih seperti meledek. Pandangan Nania terhadap gue pasti sudah jeblok banget sejak hari terakhir kami bersama. Belum lagi dia harus lihat perempuan asing keluar dari apartemen gue. Makin 0 besar lah nilai gue dimata dia.

Gue cuma bisa ketawa aja, mau dikata apa sih? Image gue udah terlanjur kayak begitu kan? "kalau clientnya bapak – bapak botak, perut gendut, punya perusahaan jutaan dollar, masa dilamar? Emangnya aku sugar baby?" jawab gue santai. Berusaha santai tepatnya.

Menghadapi Nania memang harus santai, semakin kebawa emosi, dia bakalan semakin mundur. She's easy to catch... but also easy to runaway juga. Nania itu perempuan yang tindakannya serba impulsive tanpa pikir panjang. Serba spontan. Datang dan perginya juga bisa spontan dia lakukan.

Diluar dugaan gue, gue pikir dia bakalan nyinyirin gue lagi, ternyata dia malah terbahak – bahak. Terus dia sadar kalau kita lagi berada di fancy restaurant, dimana kanan kiri kami adalah pasangan yang lagi tatap – tatapan mesra. Dia langsung membekap mulutnya sendiri, sambil mukanya maluuu banget.

Mencintai NaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang