Seolah mendapatkan suntikan dopping dari papa Riyan, gue mendadak semangat lagi meneruskan perjuangan gue ke Nana. Beliau yang menyatakan tegas tentang restunya untuk gue, tentu jadi penyemangat gue. Pria mana yang gak enteng banget rasanya beban dibahunya, kalau sudah denger kata restu dari ayah perempuan yang ingin dia nikahi?
"papa memang butuh seseorang yang bisa papa titipkan untuk menjaga Nania" jawab papa Riyan tadi siang waktu kita berjalan keliling rumah, memeriksa sudut mana saja yang membutuhkan sentuhan renovasi. Awalnya kami membahas masalah renovasi, tapi malah merembet membahas masalah keinginan gue untuk melamar Nana.
"papa dari kemarin nunggu-nunggu kamu ngomong begini ke papa. Sebenarnya papa geli sendiri, lihat kamu tiap ketemu papa kayak gelisah mau bahas apa gitu, tapi ragu – ragu. Alhamdulillah, doa papa terkabul, ternyata harapan papa terwujud. Laki –laki yang berani ngomong langsung ke papa itu, kamu" ucapnya sambil menepuk lengan gue semangat.
Gue sampai tertegun.
Sebenarnya kata – kata pengakuan itu gak gue rencanakan. Karena gue sendiri kalut dengan semua kata – kata Nana. Seolah Nana hanya perlu dipanggil sayang dan cinta, tanpa perduli apa dia diperlakukan dengan baik atau nggak sama laki – laki yang bersama dia.
Apa Nana memang menilai dirinya serendah itu? Jujur gue kecewa banget lihat Nana merelakan dirinya diinjak – injak, selama dia dipanggil sayang dan dihujani I love you.
Gue rasanya pingin teriak, gue bisa lebih dari mereka. Katakanlah niatan gue abu – abu dimata Nana. Gue cuma pingin memastikan Nana gak senyum tapi menangis, tertawa tapi berdarah lagi.
That's it. Udah cukup Na.
Sepanjang jalan pulang dari makam tadi, waktu Nana bilang "ya gue butuh lah dicintai. Enak aja nikahi doang" walau dengan nada bercanda, sambil tangannya meraih handle pintu mobil.
Tapi rasanya seperti menyindir niatan gue. Kepercayaan diri gue yang baru bangkit beberapa menit, seketika rontok.
Gue sempat berpikir 'terserah lo aja deh Na, memangnya cewe cuma lo'
Semenjak Nana ngomong gitu, gue menjawab setiap obrolan papa Riyan dengan basa – basi, karena hati gue rasanya panas. Kalau belum memulai nya aja gue udah berdarah – darah begini, apa gue masih punya kesabaran buat menghadapi Nana sebagai istri nanti? Apa jaminannya Nana bakalan berhenti bertingkah nanti kalau sudah jadi istri?
Terbersit keinginan, selepas dari Bandung ini, gue mundur.
Tapi, pertanyaan papa Riyan tadi, seolah menyiram habis bara yang ada di kepala dan hati kotor gue. Apa yang tadi gue niatkan, dan apa yang keluar dari mulut gue, bertolak belakang.
Sepertinya, memang gue belum diizinkan mundur.
Gue malah mengangguk mantap ketika papa Riyan bertanya "Andra akan berusaha buat Nania?".
****
Entah kesalahan fatal apa yang gue perbuat, ketika gue lagi – lagi berusaha mengangkat topik 'menikah' didepan Nana. Kejadiannya sudah beberapa hari yang lalu, ketika kami makan malam berdua di Braga Permai.
Awalnya Nana cerita kalau dia memang akhirnya berakhir dengan Abram. Alasannya? Abram yang mendadak membeku ketika Nana menantangnya untuk menikah.
Disitulah gue merasa, Nana perlu lihat, kalau disini, didepan dia, ada laki – laki yang gak takut menikah. Gak takut mengemban tanggung jawab atas dirinya. Gak takut untuk menjaga dia seumur hidupnya. Gak takut untuk melindungi dia dari apapun juga. Dan gak takut untuk berusaha membahagiakan dia, for whatever it takes.
Dan apa yang terjadi?
Nana malah memohon gue untuk berhenti bahas itu. Gue dicuekin sepanjang perjalanan pulang dari Braga Permai. Well, bukan dicuekin dalam arti dia marah, tapi benar – benar menutup rapat pintu buat gue untuk bisa masuk lagi ke dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencintai Nania
Любовные романыWarning! Adult content, 21+. Some scenes and languages might not be suitable for below 21. Silahkan membaca Trial&Error dulu sebelum membaca cerita ini. Dewa : Nania.. cinta aku ke kamu itu,nyata. Cinta aku ke kamu itu, ada. I love you with all my...