ABRAM (1)

1K 95 17
                                    

"mas Abram nya boleh geser ke kiri sedikit? Biar gak terlalu jauh sama posisi bapak? Yaaa.. bagus kayak gitu. Tahan ya... sekarang siap – siap, senyum ya semuanya... one..two..three.." lalu blitz sukses bikin mata gue berkunang – kunang sesaat.

Kegiatan seperti ini gak aneh lagi buat gue sekeluarga. Terlahir dikeluarga Bramundito Abimanyu, harus biasa memang dengan kegiatan foto – foto kayak gini. Mungkin gue lahir – lahir sudah disambut dengan blitz kamera. Kegiatan kayak gini, kadang terjadi di acara malam amal, kadang di acara wawancara eksklusif kayak begini. Dari kesemua acara itu, intinya semua harus tampil maksimal menawan. Flawless family.

Yah, gak sulit buat keluarga gue pastinya. Kami semua, diam aja menawan. Bokap yang memang selain diwarisi duit banyak, juga wajah ganteng dari ayah dan kakeknya. Nyokap gue apalagi, gausah di ragukan lagi kecantikannya, seorang wanita berdarah Italia yang merantau ke Amerika untuk menjadi model majalah international. Yah jelas mukanya gak mungkin biasa aja.

Bahkan teman – teman gue semasa SMA aja ngiler lihat nyokap setiap jadwalnya ambil raport.

Perpaduan mereka berdua, menghasilkan gue Abram Abimanyu dan adik gue Alisha Abimanyu, yang mukanya gausah diragukan lagi keelokannya. Gue sangat pede sekali, wajah kami ini diatas standard lah ketampanan dan kecantikannya. Dilihatin sampai melotot dan leher nyaris patah? Sudah biasa.

Acara foto sudah kelar, gue sudah bisa kembali ke wajah normal gue. Bukan lagi senyuman pepsodent keluarga cemara.

Sekarang bokap lagi duduk sendirian di english sofa nya, sambil duduk dengan gaya parlente khas para kaum eksekutif. Jas mahal, jam tangan mahal, sepatu mengkilat. Seolah semua itu belum cukup untuk bikin mata buta bukan dalam artian sesungguhnya, masih ditambah lagi dengan wajah bokap yang gue akuin masih ganteng luar biasa. Pria itu duduk disana dengan gayanya yang angkuh membius, sedang menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh wartawati dari sebuah majalah yang selalu membahas kehidupan pasa kaum jetset Indonesia.

Mbak wartawati yang selama mewawancara tampak juga sedikit bermain mata ke bokap. Posisi duduknya sangat menonjolkan keindahan lekuk tubuhnya. Wajahnya tentu saja cantik dengan menggambarkan usianya yang tentu saja menang banyak dari nyokap. Dan lucunya, dari sekian banyak pria diruangan ini, dia lebih milih ngecengin bokap ketimbang gue, yang jelas umurnya lebih masuk akal buat dia pacarin.

Yah, tapi gue bisa apa, kalau yang dia cari duitnya, bukan performanya diranjang? Bukan gue ngenyek bokap. Gue sama bokap? Ya jelas menang gue lah. Jelas gue masih muda dan gagah. Tapi sayangnya, duit lebih panas dari pada aksi ranjang kan?

Gue lama – lama gerah dalam situasi ini, gue akhirnya menyingkir dan lebih milih naik ke atas sampai suara nyokap, yang kebuleannya sudah nyaris hilang termakan jam terbang tinggal di Indonesia sejak dia menikahi bokap, manggil gue "abaang... nanti dulu naiknya. Kita masih ada sesi foto satu lagi" ucapnya melengking dan memekakan telinga.

Nyokap dengan long dress Armaninya, yang harganya bisa buat nyantunin anak yatim satu panti. Berjalan anggun sambil melambaikan tangannya kearah gue. Di belakangnya, ada Joshua, asisten pribadi bokap, yang sudah setia mengabdi selama bertahun – tahun lamanya. Pengabdian yang luar biasa. Nanti kalian tahu kenapa dia bisa mengabdi begitu lama pada keluarga ini. luar biasalah pengabdian Joshua ini untuk bokap.

"abang gerah ma, nanti aja panggil abang lagi" sahut gue sambil terus naik keatas. Sementara adik gue, udah sibuk telpon – telponan sama pacarnya di ruang TV. Manyun – manyun gak tahu bahasin apaan. Gak ada pemandangan yang enak di lantai ini. Jadi mendingan gue mencari kenyamanan gue sendiri aja didalam kamar.

Gue membuka pintu kamar gue, dan memindai seisi kamar gue yang gak pernah berubah. Gue akuin nyokap benar – benar meminta para ART untuk merawat kamar gue dengan baik. Entah kenapa.

Mencintai NaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang