BOBBY (2)

583 93 4
                                    

Akhirnya gue sekeluarga berkunjung kerumah orang tua Ika. Entah gue harus menyebut apa kunjungan ini, lamaran kah? Karena kalau bukan terus apa? Kunjungan ini semakin mempertegas perbedaan kasta kami yang begitu mencolok. Bahkan saking luasnya Rumah megah ini, bisa untuk menampung seluruh keluarga gue, masih bisa juga gue bawa keluarga pakde gue, masih bisa gue bawa keluarga tulang – tulang gue dari nyokap, kalau perlu sekalian gue dan adik gue beranak pinak disini.

Saking besarnya rumah ini. Entah berapa banyak ART dan tukang kebun yang harus mereka pekerjakan untuk mengurus rumah sebesar ini.

Gak hanya gerbang rumah yang udah kayak mau masuk ke istana presiden. Kami masih disambut dengan deretan mobil mewah yang gak akan pernah mampu gue beli. Kilatnya langsung menyambut kedatangan gue sekeluarga. Gue bisa merasakan aura minder dari bokap, ketika dia masuk kedalam area istana ini. Bokap langsung memindai seluruh bangunan sampai halaman – halamannya, dan wajahnya tampak khawatir. Terlebih dia harus duduk di kursi roda, karena stroke yang menyerangnya akibat diabetes.

Dirumah bokap masih bisa mondar – mandir pakai tongkat, karena rumah gue ya luasnya segitu – gitu aja. Lah ini? mana mungkin bokap kuat jalan kesana kemari pakai tongkat?

Satu mobil bokapnya Ika, bisa buat ngebeli 5 avanza gue. Gila, pede banget gue mau jadi calon mantu dari keluarga kayak begini? Punya apa gue emang? Mendadak gue ngelirik ngenes ke arah avanza gue, yang mungkin gak akan gue ganti juga sampai 5 tahun kedepan. I am so downgrading her life.

Kecuali punya suami ganteng bisa bikin perempuan cukup bahagia.

Dengan segenap harga diri yang sudah tinggal gak seberapa, gue memberanikan diri melangkah masuk kedalam rumah, yang memang pintunya sudah terbuka menyambut. Yah, mau gimana? Terlambat untuk gue menarik kembali keputusan gue. Harusnya dari kemarin – kemarin gue pertimbangkan masalah kesiapan mental ini. Gak hanya mental gue tapi juga keluara gue.

Gue udah bilang sama Ika, ini belum akan jadi lamaran resmi. Tapi ini adalah penegasan kalau gue gak main – main sama Ika. Well, yah, mau dikata apa juga, judulnya gue ngelamar Ika, cuman aja belum ada tanggal pernikahannya. Gue cuma berusaha bikin Ika tenang, dan berhenti bertindak semena – mena hanya karena takut gue gak bakalan segera nikahin dia.

Jadi, pertemuan ini hanya dihadiri keluarga inti gue, dan keluarga inti nya Ika. Keluarga Ika, gue akuin orang – orangnya humble, gak suka merendahkan orang lain, pada intinya pribadi yang sangat baik.

Tapi, jauh dari kata sederhana.

Koreksi.

Sangat Jauuuuuh banget dari kata sederhana. Bokapnya koleksi moge berbagai merek yang harga paling murahnya nyaris 1M. Kalau satu motornya dijual , hasilnya bisa buat biayain biaya kuliah adek gue sampe lulus plus bayar uang masuk kalau adek gue mau S2.

Ibunya, kaum sosialita yang mukanya muncul di berbagai majalah. Golongan ibu – ibu yang sering di wawancara karena koleksi tas Hermes nya yang spektakuler, yang levelnya bisa sampai dapat undangan ke Paris nya langsung, yang undangannya ekslusif hanya untuk pelanggan yang gak sekali beli terus menghilang.

Yang diundang, sudah pasti para pelanggan yang belinya terus dan terus dan terus, bahkan nunjuk langsung dari katalognya. Kok gue tahu? Gue tahu karena Ika pernah ditanya ibunya, mending ambil yang mana, waktu kita lagi break makan siang di kantor. Harganya bahkan bisa buat nge dp in harga diri gue sekalian.

Dan untuk catatan, ibunya gak datang ke butiknya, tapi butiknya yang mendantangi ibunya Ika. Se privilege itu gaya belanjanya.

Ika sendiri? dia selalu berusaha nahan diri didepan gue. Tapi di belakang gue, gue tahu dia beli apa aja. Dia gak pernah minta anter gue kalau lagi gatel shopping. Dia akan berangkat sendiri, atau minta temenin sepupu akrabnya, si Gema. Dynamic duo yang bisa bikin dompet menjerit dan kartu kredit menderita kalau sudah urusan belanja.

Mencintai NaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang