Gue mengusap lembut pundak polos Nana, dengan kami masih saling berhadapan dan mata kami masih saling memandangi satu sama lain. Sesekali Nana tertunduk malu menggemaskan, bikin gue gak bisa menahan diri untuk bolak – balik mendaratkan kecupan di wajahnya. Entah itu kening, pipi, atau hidungnya. Gue rasanya masih gak percaya, kami akhirnya sampai ke tahap ini. Tahap yang rasanya terlalu indah untuk gue harapkan jadi nyata.
Nana juga menatap gue seperti mengamati setiap jengkal wajah gue, seperti berusaha membedah isi kepala gue. Entah apa yang dia pikirkan tentang gue sekarang ini.
Kalau ditanya gimana rasanya malam ini? gue juga bingung, gue pingin ngetawain diri gue sendiri. adrenaline yang gue rasain rasanya luar biasa banget. Saking luar biasanya, gue mendadak bingung, gue harus memulai dari mana.
Nana yang juga ternyata sama 'bego' nya sama gue, hanya menggigit bibirnya menatap gue. Seperti menunggu dia mau gue apain.
Dulu, waktu gue masih berhadapan dengan khayal – khayal semu doang akan malam ini, gue bahkan bisa membuat urut – urutannya. Kayak semacam bucket list kalau malam ini terjadi, gue akan mengurut kejadian dari sini ke situ.
Dan tadi, begitu gue dihadapkan pada kejadiannya langsung? Hahahaha.. gue sempat diam beberapa saat kayak berusaha mengumpulkan kesadaran gue, karena otak gue mendadak traffic. Belum pemandangan Nana yang seperti itu, yang membuat gue makin hang.
"mas.." panggilan Nana yang lirih sekaligus bingung karena gue malah terpesona, akhirnya mengembalikan kesadaran gue, dan gue akhirnya go with the flow aja lah. Walau gak sempurna, penuh dengan aksi – aksi amatiran gue, Alhamdulillah, malam ini gue dan Nana sempurna bersama.
*****
Satu yang gue sesali dari malam ini, ternyata gue selama ini berburuk sangka sama Nana. Gue selalu mencurigai Nana yang gak mungkin masih polos dan lugu soal sex, mengingat dia berpacaran dengan seseorang seperti Abram. Nana yang seringkali gue sangka munafik dengan menolak menyerahkan diri ke gue.
Nyatanya? Malam ini gue membuktikan sendiri semuanya, kalau pada kenyataanya gue yang pertama untuk dia, dan dia yang pertama untuk gue.
Bahkan gue menggumamkan maaf berkali – kali waktu Nana tampak berjuang menahan rasa sakit demi gue. Disitu rasa bersalah gue semakin besar, bisa – bisanya gue nuduh perempuan sepolos Nana sudah gak perawan hanya karena dia pernah bersama pria brengsek seperti Abram.
Tadi itu rasanya memang sedikit aneh, karena dulu kami adalah sepasang sahabat, dan sekarang kami saling menyatukan tubuh kami. Awal bertemu Nana boro – boro membayangkan kami akan saling berhadapan dengan tubuh polos seperti ini. Membayangkan kami akan menjadi halal untuk satu sama lain dalam ikatan suami istri aja, rasanya jauh banget realitanya. Tapi nyatanya semua ini nyata, dan semuanya rasanya indah.
Gue mengusap lembut pipinya, dan Nana tersenyum manis ke gue. Gue mengecup kening Nana lalu kembali memandangi wajahnya. Masih ada yang mengganjal di pikiran gue. Kalau memang nyatanya Nana pada akhirnya menyerahkan semuanya untuk gue, jadi selama ini apa yang dia tunggu?
Apa yang menahan dia?
Nyatanya, Nana yang menyerahkannya ke gue, dengan sukarela. Bukan gue yang memaksa dia melakukannya. Dia bahkan sudah sangat mempersiapkan dirinya tadi, ketika gue melamun di balkon dan merenugi hidup gue. Waktu gue berhadapan dengan dia, wangi tubuh Nana bahkan berbeda, bukan parfumnya yang biasanya. Terasa lebih sensual dan menggoda. Dia menata rambutnya, dan memakai gaun tidur yang lebih spesial.
Jadi, selama ini ada apa? dia menunggu apa? atau siapa? apa dia akhirnya putus asa? Jadi akhirnya dia pasrah menyerahkannya ke gue? Kalau iya, siapa yang dia tunggu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencintai Nania
RomanceWarning! Adult content, 21+. Some scenes and languages might not be suitable for below 21. Silahkan membaca Trial&Error dulu sebelum membaca cerita ini. Dewa : Nania.. cinta aku ke kamu itu,nyata. Cinta aku ke kamu itu, ada. I love you with all my...