ANDRA 14(1)

1.1K 124 7
                                    

Kadang gue kangen sama masa – masa kuliah gue dan Nana. Rasanya dulu kami bahkan bisa terasa lebih hidup dari pada sekarang. Dulu waktu kami gak halal untuk satu sama lain, malah gue sama Nana seperti gak ada tembok penghalang. Nana bisa ketawa lepas sama gue, marah – marah, kesel ngambek, ngeselin.

Gue bisa lebih leluasa bersikap ke Nana, lebih bisa ngusilin dia karena gue tahu, Nana gak bakalan marah lama – lama.

Gak terhitung berapa kali dalam seminggu, gue makan ditempat Nana atau Nana masak ditempat gue. Gue inget, Nana pulang kuliah duluan, dan gue lapaar banget. Gue mencium aroma masakan dari exhaust fan dapur Nana, dan gue nempelin muka gue di jendela dapur Nana sambil bilang 'Na... lapaarrr....' sampai Nana loncat kaget.

Habis itu dia marah – marah panjang lebar, bilang gimana kalau pancinya tumpah, wajannya jatoh dia kepeleset gegar otak dan segala hiperbolik lainnya. Karena pas gue kagetin Nana cuma lagi berdiri tolak pinggang ngeliatin panci, gak megang apa – apa.

Tapi itu Nana versi dulu, marahnya paling banter 30 menit habis itu sudah dia lupa dan udah ngeresein gue lagi.

Tapi sekarang?

*****

"Nania lagi kenapa sama kamu?" gue sontak mendongak dan mata bertemu mata dengan papa mertua gue. Gue gelagapan bingung harus menjawab apa. Dia, pria yang mencurahkan seluruh hidupnya selama 23 tahun untuk mengasuh seorang anak sendirian, jelas bisa membaca sekecil apapun gelagat anaknya kan?

"gak apa – apa kok pa, Nana capek aja kayaknya" gue tetap memilih menutupi. Tubuh tua itu gak perlu tahu masalah anak – anaknya dan hanya menambah beban pikiran. Terlebih, Nana itu sudah jadi tanggung jawab gue. Mungkin ini memang bedanya berjalan dengan tanggung jawab dan tidak seperti jaman kuliah dulu.

Masalah akan selalu ada untuk menguji besaran niat gue untuk mengemban tanggung jawab.

"Nania... dia bahkan sempat di konsultasikan ke psikolog anak dan guru agama, waktu dia SD. Karena, sejak tahu yang sebenarnya terjadi dengan ibunya, walau dia masih dalam usia sangat kecil. Nania itu lebih memilih menyembunyikan sendiri pertanyaan – pertanyaan dalam dirinya. Dia akan pikirkan sendiri, olah sendiri dan parahnya simpulkan sendiri.,

Papa sempat merasa kehilangan dia, karena Nana beberapa hari terlihat murung. Sampai akhirnya Mei minta papa bawa untuk konsul ke psikolog anak.,

Setidaknya setelah itu, Nania bisa diberi pengertian kalau, kematian adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dan harus bisa diterima. Kalau hidup Nania akan tetap indah walau hanya dengan satu orang tua.,

Yah... papa akui, mungkin hidup Nania jadi terbiasa terasa sepi. Tapi, karakter suka menyimpan sendiri masalah itu, memang sepertinya gak pernah hilang. Bisa – bisanya papa baru tahu masalah dia dengan mantan – mantan pacarnya sekian tahun kemudian.,

Tapi waktu itu papa lega, karena dia berani cerita sama kamu. setidaknya, there's someone to talk..." well.. not anymore unfortunately, batin gue.

"Nana itu.. halus dan rapuh didalamnya. Jangan pernah percaya kalau dia itu, kuat ya Andra. Dia hanya pandai menyimpan semua kepedihannya sendirian aja.,

Dia pernah curhat ke Mei, I wish I wasn't born.. so papa should've not lost mom.. kehadiran ku cost someone's death.,

Hati papa rasanya tercubit waktu Mei cerita itu. Itu waktu dia SMP, dan Mei sarankan papa untuk konsulkan lagi dia ke psikolog.,

Tapi Nania gak mau waktu papa ajak 'ngobrol' lagi dengan psikolog anaknya. Bahkan waktu psikolog itu datang kerumah juga Nana tetap bungkam.,

Sampai akhirnya diambil jalan tengah, Nana diikutkan kegiatan positif.,

Mencintai NaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang