ANDRA (11) PART 1

1.2K 146 6
                                    

Alhamdulillah, H-7 menjelang hari pernikahan, Andrazilla yang dialami Nana sudah gak separah awal – awal. Sepertinya Nana sudah lebih tenang menerima pernikahan kami yang bakalan segera berlangsung sebentar lagi ini. Ini semua bermula dari penyuluhan yang diadakan KUA dan wajib dihadiri setiap pasangan yang akan menikah.

Gue tahu sepanjang penyuluhan Nana mengamati gue bukan bapak kepala KUA yang memberikan penyuluhan. Entah jawaban apa yang berusaha dia cari dari mengamati gue sepanjang penyuluhan. Tapi yang jelas, sepulang dari situ, Nana mulai berubah sedikit demi sedikit.

Walau Nana masih suka ribut setiap kali gue pulang malam, dan mulai nuduh – nuduh kalau gue takut gak bisa lagi pulang malam setelah menikah. Kata – kata menusuk itu masih suka keluar, walau gak separah dulu. Kecuali tuduhan dia beberapa hari yang lalu yang bilang 'takut ya melepas masa lajang? Iya? Takut gak bisa bebas? Gak bisa nongkrong – nongkrong? Iya? Makanya sekarang puas – puasin kamu kelayapan pulang kantor?' karena gue baru pulang kantor jam 12 malam.

Jujur, emosi gue rasanya mau meledak. Gue bakalan ambil cuti 2 minggu untuk kami pergi honeymoon, makanya gue lembur – lembur supaya honeymoon gue sama Nana gue udah gak ada hutang. Dan Nana malah nuduh gue sedang menikmati masa – masa lajang gue yang bakalan segera expired. Kalau gue mau egois, gue bisa aja bawa pekerjaan gue pas kita honeymoon nanti, jaga – jaga Nana nyebelin, mending gue tinggal kerja. Tapi gue pingin quality time dan pendekatan sama Nana selama kami honeymoon. Gue harus mencairkan gunung es diantara kami.

Jangankan masa lajang expired, nanti Nana langsung hamil juga gue siap. Gak takut gue jadi suami, jadi bapak, mau anak berapa? Anak 10 juga gue siap bantu Nana asuh anak. Gue gak takut terbebani tanggung jawab sebagai suami dan ayah. Karena memang sudah begitu urutannya kan kalau kita menikah?

"udah ya Na. Aku gak suka sama pembicaraan yang asal tuduh kayak begini" jawab gue waktu itu, karena percuma gue juga menjelaskan panjang lebar, Nana bakalan tetap mengamuk. Jadi mending gue undur diri dulu sementara. Dan malam itu? Gue izin lembur dari rumah..... Nana. Apapun yang penting Nana lega. Biar Nana lihat sendiri,kalau gue memang lagi overload.

Yah, seperti biasa. Nana memang selalu bikin emosi gue jumpalitan kayak roller coaster. Begitu dia turun jam 12 malam dan ngetok kamar tamu, dan pas gue buka dia bawa piring berisikan Indomie goreng pakai telur ceplok dan segelas teh peach hangat. Walau mukanya judesnya minta ampun. Gak ada senyumannya.

Tapi itu sukses bikin gue lupaaaa kalau gue tadi rasanya pingin jewer mulut dia yang nuduh seenaknya.

*****

Jujur, kadang Nana can be very handful and overwhelming. Tapi, gue udah janji sama diri gue sendiri, I'll take all the risk kan? bukan gue namanya kalau sudah menkhitbah wanita dan sekarang baru mikir, kok calon istri gue begini amat.

Nana ada point benarnya juga, gue yang maksa dia untuk menikahi gue, jadi risiko gue untuk menerima apa yang ada dari Nana. Apapun itu bentuk Nana, gue gak boleh tarik kembali kata – kata gue. Nana sudah kasih gue banyak kesempatan untuk mundur, bahkan papa Riyan juga mengizinkan gue mundur hanya beberapa jam setelah lamaran.

Tapi, gue memilih untuk gak mundur. Dan kalau ada yang boleh disalahin sama semua masalah yang nanti bakalan muncul kedepannya? Ya gue. Kan gue yang maksa untuk terus nikahin Nana?

Walau gue akui, kadang gue sendiri juga jadi Nanazilla, tapi bukan pingin marah – marahin Nana, tapi gue jadi super waspada sama Nana.

Gue sampai gak bisa bedain apa yang bakalan bikin Nana marah apa yang nggak. Pokoknya selalu waspada dan waspada. Setiap gue mau gak mau lembur di kantor, gue terpaksa ambil foto entah pekerjaan gue, entah muka gue sendiri dan kirim ke Nana, that I'm actually at the office. Sampai segitunya, saking Nana selalu nemu apapun bisa jadi pemicu, untuk berpikiran buruk sama gue.

Mencintai NaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang