BOBBY (8)

955 117 36
                                        

Nia benar, 1.000% atau bahkan 1.000.000.000% benar. Kalau gue benar cinta sama Nia, gue akan memikirkan posisinya, gue akan menjaga harga dirinya, dan gue akan memelihara kehormatannya. Gue gak akan menempatkan dia di posisi yang gak terhormat kayak gini. Walau gue sama Ika belum berstatus suami istri, tetap aja, bertunangan itu bukan status yang main – main.

Kata bapak juga benar, melamar itu patokannya bukan dilakukan dihadapan berapa banyak orang. Tapi, dengan gue bawa orang tua gue menghadap orang tua dia, ditambah gue menyatakan berniat untuk menikahi Ika, itu saja sudah menghasilkan ikatan yang sangat kuat.

Gue sudah menjanjikan sebuah pernikahan untuk Ika. Tanpa gue sadari.

Bahkan syarat – syarat khitbah sudah terpenuhi, sesuai dengan Syariat Islam. Lengkap sudah kebodohan gue. Inilah mengapa, sebaik – baik ilmu yang perlu dipelajari, pelajarilah ilmu agama terlebih dahulu. Gue inget banget, pesan guru ngaji di masjid dekat rumah, waktu gue SMA dulu.

Dulu gue SMA rajin ngaji, sekarang kenapa jadi bajingan begini? Gue rasanya pingin jedotin kepala ke tembok sampai temboknya runtuh. Kepala gue? Kepala gue sudah ditembak sampai bolong sama kata – kata Nia beberapa waktu yang lalu itu.

Dan akhirnya, demi memenuhi keinginan Nia dan demi menjaga nama baik Nia, gue akhirnya kembali menjadi manusia timbul tenggelam. Belum lagi Ika dan rencananya menyusul yang tiba – tiba, entah gimana ceritanya dan entah sudah berapa lama dia persiapkan diam – diam, sekarang semua rencana itu sudah matang.

Dia sudah punya tanggal keberangkatan beserta tiketnya, sudah ada jadwal kuliah yang bakalan dia ambil, bahkan sudah ada apartemen yang akan dia tempati selama disini. Dan dia bilang 'kita tinggal bareng aja By, dari pada repot – repot jauh – jauhan' dengan santainya.

Jelas ide itu gue tolak mentah – mentah.

Itulah Ika, seperti bagaimana kami memulai hubungan ini, Ika memang selalu penuh dengan inisiatif. Walau yang mencium duluan adalah gue, tapi Ika gak pernah menunjukan rasa keberatan, bahkan dia selalu membuka jalan lebar – lebar, untuk gue apain aja. Semua terserah gue.

Ini juga yang bikin gue was – was sama Ika. Perempuan ini terlalu berserah diri sama gue, entah kenapa. Sekarang gue mulai mengerti, kenapa selama tujuh tahun gue gak pernah sanggup ninggalin Ika, walau dia sudah mengganggu gue dengan segala ketidak sopanannya, mengambil alih masalah finansial keluarga gue.

Kadang Ika juga 'memancing' gue untuk berbuat sedikit lebih jauh dari sekedar berciuman saja. Gue ngaku, tangan ini udah kemana – mana. Gue gak sesuci itu. Tepatnya gue sama sekali gak suci. Cowo alim gak akan nyentuh perempuan yang bukan muhrimnya kayak gitu. Bibirnya gak akan seenaknya nyaplok bibir anak orang.

Ditambah respon Ika yang sangat positif dengan sentuhan gue, yang membuat gue semakin merasa 'boleh' untuk melakukan hal – hal itu.

Mungkin ini juga, yang bikin gue gak bisa ngelepas Ika. Gue merasa, gue udah banyak 'nyolong' dari dia. Walau belum sampai tahap yang satu itu.

Sekarang? Jadilah gue kembali seperti jailangkung di hidup Nia. Datang tak dijemput, pulang tak diantar, tapi kalau di panggil – panggil tergoda juga buat nyamperin. Kusut banget otak gue.

'Nia gak mau jadi yang kedua, By. Jangan jahat sama perempuan sebaik Nia' gue selalu menguatkan hati gue seperti itu. Itu yang selalu membuat gue kalang kabut memikirkan cara agar Nia jadi yang satu – satunya di hidup gue. I love her very, truly, madly, deeply much!

MASALAHNYA.... gimana caranya gue bisa berpisah dengan Ika? Setelah khitbah yang keluar dari mulut gue sendiri? Setelah tangan gue pernah menjelajah kemana – mana? Setelah bibir gue mencaplok seenaknya selama tujuh tahun kami sama - sama?

Mencintai NaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang