ANDRA (16)

1.2K 131 8
                                    

Nana sampai sekarang masih menolak untuk membenahi isi kamar almarhum. Gue bukannya maksa, tapi gue merasa menghadapi duka lebih baik dari pada larut dalam duka seperti Nana.

Gue bukannya gak berperasaan, gue tahu gimana Nana selama 23 tahun hidupnya dia habiskan berdua dengan papanya saja. Tentunya gak mudah untuk dia bisa merelakan begitu saja.

Gue sendiri juga gak bisa dibilang rela almarhum pergi secepat ini. Gue juga masih membutuhkan sosoknya, untuk memberi gue topangan dan bantuan untuk menghadapi Nana. Tapi ini sudah ketetapan Allah yang gak bisa kita ganggu gugat. Kita manusia hanya bisa belajar ikhlas menerimanya.

Tapi, kami gak bisa terus berlarut dalam duka kayak begini. Kami harus move on. Gue gak minta semua barang – barang almarhum dijual atau dibuang. Gue hanya minta Nana mulai merapihkan kamar almarhum, sedikit demi sedikit. Sambil membangkitkan kesadaran pada diri Nana, bahwa pada kenyataannya memang almarhum sudah pergi.

Gue teringat ibu dari teman SMA gue yang harus ditinggal pergi sang suami disaat anak – anak masih kecil – kecil. Waktu itu teman gue itu paling tua dengan dua orang adik yang masih SMP dan SD. Waktu gue berkunjung kerumahnya untuk menengok keadaan teman gue itu bersama teman – teman yang lain, gue lihat ibunya sedang mengemasi barang – barang kedalam kardus.

Gue bingung, ini bahkan baru satu minggu setelah kepergian suaminya, dan teman gue itu bilang 'nyokap bilang, sia – sia kalau kita larut dalam duka yang berlebihan. Ayah juga pasti gak akan suka. Ayah mau lihat kita terus berjalan melanjutkan hidup. Yang penting kalian jangan putus doa untuk ayah, supaya jalan ayah menuju syurga bisa begitu lapang. Ini bunda bereskan, karena diluar sana banyak yang lebih membutuhkan, biar ini jadi amal jariyah nya ayah. Pakaian – pakaian ayah Insha Allah bisa mereka pakai dan melindungi mereka dari panas dan hujan'

Maksud gue juga gitu, perlahan kami berdua mengikhlaskan. Tante Mei sendiri gak banyak bicara, yang gue duga karena dia sendiri juga sedang pusing dengan perusahaan yang harus mengalami perombakan jajaran direksi secara mendadak.

Tapi yang ada gue dihadiahi amukannya Nana, yang bilang kalau gue gak mengerti perasaan dia "kamu enak sampai detik ini hidup dengan orang tua yang utuh. Kamu gak tahu rasanya jadi aku, 23 tahun hanya kenal papa dan sekarang ditinggal. Rasanya kemarin itu lebih baik aku ikut lompat kedalam liang lahat papa dan dikubur sama – sama"

Sontak gue beristighfar dengan kencang. Gue berusaha mengatur nafas gue agar gak termakan emosi. Memejamkan mata gue dan bibir gue terus merapalkan kalimat istigfar berkali – kali.

Mungkin memang salah gue, harusnya gue gak usah bahas ini sekarang. Gue terdorong hanya karena gue melihat Nana seperti 'mati' tiap kali menatap pintu kamar itu. Dan gue gak tega lihat dia begitu.

Gue akhirnya memeluknya dan mengucap maaf "kalau kamu mau ikut papa mati, sama aja kamu juga bunuh aku, Ngil" bisik gue sambil mencium pelipisnya "jangan ngomong gitu lagi ya? kamu harus hidup...demi aku" bisik gue lagi dan gue menyandarkan dagu gue dipuncak kepalanya.

*****

"rrggghh... gila nih, si Fira mah bisa nih" gue noleh ke samping gue si Bowo lagi cengar – cengir sambil ngelihatin kearah jejeran alat – alat treadmill. Sementara gue lagi duduk angkat barbel dengan tangan kanan gue, menatap Bowo heran, karena dia melotot seperti terpana dengan apa yang dia lihat. Gue menaikan sebelah alis gue bingung dengan maksudnya.

"gila lo" sahut Eko sambil geleng – geleng kepala. Bowo malah semakin cengengesan sambil meneruskan kalimatnya, wajahnya sudah mesum luar biasa "lihat aja lah.. mancing banget gayanya. Belahan dadanya maaan..." dia bersiul sambil membuat pola garis dengan telunjuk di dadanya sendiri "kemana – mana gitu, montok abiisss..... itu pantat juga nyeplak banget minta banget ditampar. Beegghh... gak mungkin lah dia masih virgin. Bisa lah... bisa..." ucapnya sambil menaik – naikan alisnya.

Mencintai NaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang