Gue berjalan keluar dari kamar mandi baru saja selesai mandi sore. Badan gue lengket gak karuan karena berkutat didepan kompor tadi siang, jadilah jam segini gue sudah mandi lagi. Nana sedang gak gue izinkan memasak karena dia malah selalu berakhir muntah – muntah tiap memasak dan mencium bau makanan.
Gue melihat suasana kamar yang sepi tanpa suara. Kemana Nana? Gue masih suka parno kalau Nana menghilang dari pandangan gue dan suasana rumah tampak sepi. Dia juga gak bilang ke gue kalau dia hari ini ada keperluan kemana – mana.
Jelaslah suasana rumah tampak sepi, karena memang rumah ini hanya berisikan 4 orang. Gue membayangkan suasana rumah nantinya akan ramai dengan suara tawa anak – anak kami. Dan gue berharap gak akan ada lagi kejadian seperti yang kemarin – kemarin.
Gue sudah belajar, Insha Allah.
Gue gak akan membiarkan air mata menetes lagi dari mata biru yang cantik itu, selain air mata bahagia. Gak akan!
Gue akan terus belajar menjadi suami dan calon ayah yang baik untuk Nana dan anak – anak kami nanti. Kebahagiaan mereka adalah tanggung jawab gue. Gue yang sudah meminta mereka ikut gue, jadi mereka adalah tanggung jawab penuh gue.
Terlebih.. ada dua nyawa bersemayam diperut Nana saat ini. Kalau mengingat pagi itu, gue gak bisa berhenti tersenyum, pagi dimana Nana mengabarkan kehamilannya, waktu kami sedang berbulan madu kedua. Rasanya hati gue membuncah luar biasa, sayang gue berkali lipat kedia, cinta gue rasanya gak terkatakan lagi.
Entah gue harus menatap Nana bagaimana saat ini, karena dia adalah pemandangan indah yang sangat menyilaukan mata buat gue. Gue mendapatkan semua yang gue cari, dari satu orang wanita bertubuh mungil ini. Nania Deyana, hanya orang gila yang menyakitinya.
Dan hanya orang bodoh yang menjadikannya sahabat bertahun – tahun. Gue jadi ketawa sendiri kan? iya itu gue, si bodoh yang menjadi sahabat selama 5 tahun lamanya, walau dua tahun terakhir gue berusaha menanggalkan status itu.
Bersama Nana, gue lengkap.
Tapi dimana sosok itu sekarang? Kenapa gue gak nemu dia dimana – mana? Mendadak gue panik, karena Nana gak pernah pergi tanpa pamit.
"Ngil.." panggil gue dan tidak ada sahutan. Gue berjalan kearah balkon yang terbuka, tidak ada orang. Gue akhirnya keluar kamar dan turun kearah ruang makan, dibawah juga sepi banget. Gak mungkin Nana nengok bangunan sebelah, gue gak pernah kasih izin dia kesana karena bahaya. Hanya ada mbok Sum dibawah sedang menyapu ruang TV "mbok Nana mana?" tanya gue. Mbok Sum menoleh ke gue dan hanya diam seperti tidak punya jawaban.
"mbok gak tahu mas.." jawabnya. Kemana dia hamil – hamil begini? sejak hamil dia gak pernah pergi tanpa gue. Gue berusaha menelpon dan panggilan selalu tidak berhasil karena hp gak aktif. Mendadak gue dilanda serangan panik.
Nana gak berbuat gila dengan minggat lagi hamil kan? gue entah kenapa selalu paranoid setiap Nana gak bisa di hubungi. Kami baik – baik saja, kecuali tadi pagi gue sempat sedikit menegurnya karena dia manjat kursi untuk mengambil gelas di lemari kabinet.
Gue yang panik melihatnya memang sedikit berteriak kencang, dan Nana seperti ketakutan menatap gue. Gue berteriak bukan marah, tapi panik. Bagaimana seseorang yang sedang hamil empat bulan manjat – manjat kursi? Alasannya sedang gak ada siapa – siapa yang bisa dimintakan tolong.
Cuman gue tinggal jogging sebentar, dia sudah bikin gue jantungan setengah mati. Ini sudah kejadian kedua, waktu itu dia ngotot pakai heels karena katanya gak matching. Baru jalan sampai teras, dia nyaris terpeleset dan gue untun tepat dibelakang dia.
Gue memang membentak dia dan dia nangis, habis gue minta maaf sama dia dan jelasin kenapa gue marah. Tentu saja semuanya harus gue bayar sebesar 5 juta rupiah, untuk belanja sepatu flat di mall, dan gue pasrah pas dia tunjuk sana, sini, situ yang dia mau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencintai Nania
RomanceWarning! Adult content, 21+. Some scenes and languages might not be suitable for below 21. Silahkan membaca Trial&Error dulu sebelum membaca cerita ini. Dewa : Nania.. cinta aku ke kamu itu,nyata. Cinta aku ke kamu itu, ada. I love you with all my...