ANDRA 25(2).

1.7K 179 12
                                    

"mari pak Andra.. terima kasih ya sudah bergabung" pamit salah satu pekerja sambil berlalu meninggalkan gue yang malah masih termenung diatas tikar ini. mereka satu persatu meninggalkan gue dan bersiap untuk memulai kegiatan pagi ini. 'kerja..kerja..' teriak mereka memanggil yang lain yang masih menyeruput kopi panas dari gelas belimbing berwarna putih.

Gue masih termenung karena merasa tausiyah singkat yang digelar para pekerja disini barusan, benar – benar menyentil hati dan pikiran gue. Bahkan gue satu – satunya yang gak tertawa, disaat mereka semua heboh saling melempar candaan saat sang ustad yang juga merangkap mandor lapangan, membagikan ilmu pengetahuannya kepada kami semua.

Setiap kata yang meluncur keluar dari mulutnya, seolah menyadarkan gue akan kesalahan fatal yang sudah gue lakukan. Bahkan umur kesalahan itu belum sampai 24 jam kalau dihitung jam per jamnya.

Semalaman gue gak menghubungi Nana sama sekali. Berusaha mencari ketenangan dengan gak berurusan sama Nana sama sekali. Tapi yang ada? Kepala gue pening banget karena gue gak bisa tidur. Bahkan diantara heningnya kami kemarin – kemarin ini, gue masih akan memeluk dan mengecup kepalanya untuk tidur.

Dan sekarang gue berusaha men'detox' diri gue dari Nana? Mustahil. Disini jelas bukan gue yang menang, tapi gue yang lagi – lagi kalah.

Mana mungkin gue bisa mendetox diri gue dari bayangan Nana? Gue justru yang selalu paling kebakaran jenggot setiap kali Nana mulai menutup diri dan menjauh. Jangan lupakan gimana emosinya gue waktu Nana menjauhi gue di Gold Coast, sampai akhirnya gue bikin dia nangis.

Mungkin malah Nana dirumah tenang – tenang aja gak ada gue. Gak ada bedanya ada gue gak ada gue. Malah gue yang semalam melek sampai jam 3 pagi, padahal jam tujuh gue sudah harus ada di lokasi. Karena hari ini gue harus mengawasi proses dari awal sampai akhir.

"pak Andra? ada yang mau ditanya? Dari tadi kayaknya banyak yang mau ditanya, tapi keduluan anak – anak?" sang mandor yang merangkap ustad yang memberikan tausiyah pagi ini, tiba – tiba duduk bersila disamping gue dengan auranya yang hangat.

Dia menepuk sekilas pundak gue dan tatapan matanya begitu teduh dan membuat gue entah kenapa merasa nyaman untuk bicara dari hati ke hati dengannya. Jujur, gue gak pernah curhat dari hati ke hati dengan siapapun, secara gamblang dan sejujur – jujurnya.

Karena itu hanya membuat gue merasa lemah. Even dengan Tari sekalipun, gue banyak menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Walau pada akhirnya Tari selalu berhasil menebak kekalutan gue dan selalu mentertawakan gue dan mengatai gue bucin.

Dan kali ini gue butuh sentuhan yang lebih dalam lagi. Sepertinya, gue benar – benar perlu membuka otak gue lebar – lebar dan menelaah ulang lagi semuanya. Sepertinya ada sebuah kesalahan fatal yang sudah gue lakukan sepanjang hidup gue.

Ada yang perlu gue luruskan.

Gue tampak kikuk, sebenarnya banyak yang ingin gue tanyakan. Tapi, apa etis bertanya tentang masalah rumah tangga kita pada orang yang bahkan baru kita kenal? Dia menepuk pundakku dan tersenyum "yasudah, kapan saja pak Andra butuh saya, bilang saja. saya kan disini aja gak kemana – mana" jawabnya.

Gue menunduk ragu, sebelum dia pergi gue memanggilnya "pak.. sore ini di hotel tempat saya menginap bisa? Sambil kita duduk santai di cafenya? Sambil ngopi sore?"

Dia mengangguk, lalu berjalan sambil melepas pecinya.

Diam dulu, dengarkan, istigfar dulu, jangan ditinggal, sambil terus kita ingat – ingat, betapa istri kita itu makhluk yang sangat baik untuk kita.

Kalimat itu terus terngiang – ngiang ditelinga gue.

****

"sore pak, mari pak, mau pesan apa?" gue menyambut kedatangan ustad tadi, dan menawarkan untuk memesan minuman dan makanan sambil menyerahkan buku menu. Dia mengangguk sopan sambil memesan kopi dan kentang goreng saja kepada pelayan. Gue sendiri memesan teh hangat dan sandwich yang bisa di share.

Mencintai NaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang