ANDRA (22)

1.3K 140 6
                                    

Entah sudah malam keberapa dimana gue selalu kembali diatas jam 11 malam. Nana juga tidak bertanya – tanya apakah gue bakalan jemput dia atau enggak. Walau gue masih bertanya dia pulang dengan siapa, tiap dia kirim chat ke gue kalau dia pulang. Nana membisu gue juga membisu, entah siapa diantara kami yang duluan memulai kesunyian ini.

Bedanya, Nana membisu dan tampak kosong rather than marah. Semakin hari gue semakin melihat Nana kosong dan hampa. Dia sepertinya semakin tersiksa didalam pernikahan ini, dan itu semakin menyakitkan gue.

Pemandangan yang membuat gue sesak adalah selalu melihat punggung Nana yang disetiap malam gue. Ya bukan salah dia juga, gue selalu pulang ketika dia tidur. Atau dia baru akan masuk kekamar menunggu gue tidur, yang mana gue belum tidur. Gue hanya memejamkan mata berpura – pura tidur.

Beberapa kali gue memang pulang Nana masih bangun. Gue akan disambut dengan meja makan yang ada tudung saji diatasnya. Yang mana itu bukan pemandangan yang biasa dirumah ini. Nana gak suka meninggalkan makanan diatas meja, dia selalu meminta mbok Sum merapihkan makanan dalam wadah kedap udara dan menyimpan di kulkas.

Tapi sejak beberapa hari dimana gue selalu pulang malam, pemandangan tudung saji itu selalu ada. Dan setiap gue angkat, isinya selalu makanan yang sepertinya dia siapkan untuk gue. Kenapa gue yakin? Karena disamping tudung saji selalu ada piring tertelungkup diatas placemat, sendok garpu dibungkus serbet, segelas air putih dengan tutup gelas, dan sticky notes diatas piring 'buah potongnya dikulkas'.

Gue seringnya duduk termenung dimeja makan dan mengamati susunan piring dan lauk pauk itu, tanpa berselera menyentuhnya. Bukan karena gue gak mau lagi memakan masakan Nana, tapi karena rasanya sakit sekali. Sekarang rasanya sulit buat gue menerima semuanya.

Gak jarang gue menghabiskan beberapa saat dimeja itu untuk menelungkupkan wajah diatas meja dan menangis sendirian. Menangis gak hanya untuk wanita kan? walau ayah selalu marah setiap anak laki – lakinya menangis. Tapi ini semua rasanya seperti gue mengalami mimpi buruk waktu kecil, dan gue ingin bergelung dipelukan bunda dan menangis.

Bedanya. Kali ini gue ingin bergelung dipelukan Nana dan menangis, meminta penjelasan. Tapi sialnya, mulut gue selalu kaku dan beku tiap kami berhadapan.

Setiap gue masuk kedalam kamar, Nana yang kadang masih bangun akan segera beranjak turun dari tempat tidur, menunduk dan bertanya 'mas sudah makan?' gue jawab sudah dengan menggumam. Gue tahu Nana gak bodoh, lauknya jelas gak berkurang, gue hanya membasahi piring dan gue susun dirak supaya kesannya gue mencicipi. Tapi gue rasanya gak sanggup menelan makanan – makanan yang Nana siapkan. Rasanya terlalu indah untuk gue anggap nyata, kalau Nana masih memperhatikan gue.

Dia akan keluar kamar, dan gue selesai mandi akan ada secangkir teh hangat disamping tempat tidur. Dan Nana gak akan ada didalam kamar, sampai dia merasa gue akan meninggalkan dia tidur.

*****

Entah situasi ini berlangsung sudah berapa lama. Yang jelas, gak satupun dari kami berusaha berbicara sampai sekarang. Nana juga gak mau memberi penjelasan apa – apa lagi, tentang dia dan Dewa sebenarnya bagaimana. Gue juga terlalu takut untuk bertanya.

Well, lama – lama gue juga jengah, karena gue merasa, kali ini adalah giliran Nana yang berusaha memperbaiki semuanya. Gue rasanya sudah cukup memperjuangkan biduk rumah tangga ini, sekarang harusnya giliran Nana karena kali ini dia yang mengacau.

Gue memang salah, tapi, berselingkuh bukanlah jalan keluarnya. Dan Nana menempuh jalan itu. Entah sudah berapa jauh kedekatan mereka dibelakang gue. Apapun itu, seharusnya Nana yang berinisiatif mengajak gue berbicara.

Tapi, nyatanya, kami saling menghindar.

Gue yang malas mengajak Nana bicara, karena gue malas mendengar permintaan pisahnya. Dan Nana juga yang seperitnya gak akan pernah membuka mulutnya, untuk berbicara lebih dulu ke gue.

Mencintai NaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang