Lyn memungut ponselnya kembali. Menghiraukan tatapan heran orang-orang, gadis itu berlari meninggalkan ruang guru menuju taman belakang sekolah yang sepi.
Gadis itu mengotak-atik ponsel. Mencoba menghubungi nomor aneh itu. Namun, seperti sebelumnya, nomor itu tidak bisa dihubungi. Hanya nomor itu yang bisa menghubunginya, Lyn atau siapapun tidak bisa menghubungi balik. Entah teknologi macam apa yang orang itu pakai hingga bisa seperti itu.
Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Silahkan periksa kembali nomor tujuan anda~
"Sial," umpat Lyn tatkala usahanya dalam menghubungi nomor aneh itu kembali sia-sia.
Jika dihubungi, nomor itu seolah tidak pernah terdaftar. Namun, nomor itu bisa menghubungi dirinya kapanpun. Apa nomor itu sengaja diciptakan seperti itu? Tapi, bagaimana bisa?
"Bu Lyn, kenapa ada di sini?"
Lyn nyaris menjatuhkan ponsel di genggaman, dia berbalik. Dan amat terkejut mendapati salah satu murid sudah berdiri menjulang di hadapannya.
"Edwards?" ucap Lyn dengan suara bergetar. Tidak mungkin dia tidak mengenali anak baru yang sedang banyak dibicarakan orang-orang di sekolah ini.
"Bu Lyn kenapa? Wajah ibu pucat?" tanya anak itu lagi.
Lyn menghela napas. Dia berusaha menetralkan ekspresi dan gestur tubuhnya di hadapan Edwards.
"Tidak apa-apa," ucap Lyn dan berniat pergi. Namun, anak itu tiba-tiba saja melangkah ke hadapannya dan menghalangi jalan.
"Ibu mau lewat Edwards," ucap Lyn mencoba setenang mungkin. Walau sebenarnya rasa takut dan cemas sedang mendera dirinya.
"Ah, iya. Maaf, Bu," ucap anak itu. Dia mundur selangkah, memberi akses bagi Lyn untuk lewat.
Lyn menatap anak itu dingin. Saat hendak melangkah pergi, sesuatu mencuri perhatian gadis itu. Dari balik lengan seragam Edwards yang sedikit tergulung, Lyn dapat melihat dengan jelas ada sebuah bekas luka yang memanjang di lengan kanan anak itu. Itu seperti bekas sayatan. Dan bekas luka itu nampaknya adalah bekas luka lama.
"Bu Lyn," sapa Edwards mencoba menyadarkan gurunya itu. Rupanya Lyn termenung di hadapan Edwards.
"Hah?" gumam Lyn setelah tersadar. Namun, tatapannya tidak lepas dari bekas luka di lengan Edwards.
Edwards yang baru menyadari arah pandang Lyn, lantas segera menurunkan lengan seragamnya.
Lyn menatap anak itu bingung.
"I-itu, bekas luka apa?" tanya Lyn ragu. Sebenarnya dia tidak ingin peduli, tapi bekas luka itu benar-benar mengingatkan dirinya akan sesuatu.
"Akh, bekas luka ini?" tanya Edwards. Dia menunjuk ke arah lengannya yang sudah tertutup.
Lyn lantas mengangguk.
"Bukan apa-apa," jawab anak itu tenang. "Tidak penting juga."
Lyn diam. Dia berusaha untuk tidak memikirkan tentang bekas luka itu lagi. Mungkin hanya kebetulan.
Tanpa mengatakan apapun lagi, Lyn akhirnya pergi. Dia berniat kembali ke ruang guru. Menunggu informasi apakah kegiatan belajar-mengajar masih bisa dilakukan atau tidak.
🍁
Meski sekolah pulang lebih awal hari ini, tapi murid-murid di kelas Malvin tidak terlalu senang. Pasalnya, Pak Theo —guru matematika mereka— menyuruh mereka untuk membentuk sebuah kelompok belajar. Di mana, dalam satu kelompok terdiri dari empat orang. Mereka diharuskan untuk membahas dan menyelesaikan lima puluh soal algoritma. Diketik dalam Microsoft word, lengkap dengan jawaban dan penjelasannya. Dikirim melalui email, paling lambat empat hari lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Killer, Lover! [TAMAT]
General FictionSMA SANJAYA kedatangan siswa baru dari Amerika. Dia bernama Edwards Robertson. Dia baik, tampan, dan pintar. Hanya saja dia sedikit tertutup dan tidak suka bergaul. Namun, hal itu justru membuat orang-orang semakin penasaran akan sosoknya. Dia menja...