"Guys, guys, gue ada berita yang amat sangat menghebohkan yang harus kalian denger." Reiki yang baru saja memasuki kelas langsung menghampiri ketiga temannya dan berujar heboh. "Jadi, kalian mau dengerin enggak? Ya, pasti mau lah masa enggak!" lanjut cowok itu masih dengan nada hebohnya.
Dua orang temannya, yakni Anhar dan Jovas, menoleh dengan malas. "Enggak!" jawab mereka serempak.
"Oke, jadi gini. Tadi, pas gue ke toilet, gue samping-sampingan kan sama si Peju anak kelas sebelah. Dan kalian tahu apa yang gue lihat. Ternyata dia masih pakek semvak Upin Ipin, guys! Si Peju masih pakek semvak Upin Ipin! Astaga! Ini si Peju loh guys! Si Peju! Kalian pasti enggak nyangka, kan? Sama gue juga sampe saat ini masih enggak nyangka!" cerita Reiki dengan amat sangat dramatis. Dia juga mengusap wajahnya seolah frustrasi dengan apa yang baru saja ia ceritakan. "Pantes tuh anak juara umum terus. Pasti gara-gara tuh semvak," cetus cowok itu seenak jidat.
"Apaan sih, Rei. Enggak ada hubungannya ya juara umum sama semvak Upin Ipin," kilah Anhar yang sejak tadi sibuk membujuk Disa agar mau pulang bareng melalui chat.
"Iya, nih, enggak jelas banget!" sahut Jovas sembari melempar sebutir pilus tepat mengenai kening cowok itu.
"Sakit anying!" gerutu Reiki sembari mengusap keningnya.
"Kambuh nih lebay-nya," gumam Jovas kemudian kembali memakan camilannya. "Lagian jadi orang kepo bener sama semvak orang lain."
"Ya bisa jadi kan tuh semvak ada mantra yang bisa buat orang pinter," imbuh Reiki tidak mau kalah. "Ih, bagi-bagi dong," ujar cowok itu berusaha merebut sebungkus besar pilus dari tangan Jovas.
"Eh, eh, bagi dua," jawab Jovas yang berhasil menghindari tangan Reiki. Kemudian ia menaburkan setumpuk pilus di atas meja tepat di hadapan Reiki.
"Anjir, enggak higienis banget sih. Kan Lo bisa taruh di tangan gue," keluh Reiki.
"Manja banget. Udah dikasih juga. Tuh pilus rasanya akan tetap sama kok enggak akan berubah," tukas Jovas tak peduli.
Reiki menatap Jovas tajam menyiratkan permusuhan.
"Enggak pa-pa. Tuh meja bersih kok. Palingan cuma ada bekas iler Lo doang," sahut Anhar yang kemudian menyimpan ponselnya di saku seragam.
"Punya temen gini amat deh," gumam Reiki pelan. Namun, sedetik kemudian dia mulai memakan pilus yang ada di atas meja. Enggak, pa-pa. Seperti kata Anhar cuma bekas ilernya sendiri kok. Sabilah.
"Tumben si Malvin diem aja. Biasanya paling bacot," heran Reiki. Dia berbicara sembari mengunyah pilus.
"Enggak tau. Palingan galau karena Bu Lyn," jawab Jovas sok tahu.
Anhar yang sedikit tahu apa yang sedang terjadi pada Malvin menatap cowok itu. "Lo beneran baik-baik aja kan, Vin. Apa enggak sebaiknya Lo pulang aja? Nanti gue bantuin minta izin ke guru piket," saran Anhar.
Malvin diam saja. Dia tetap fokus pada buku di hadapannya. Padahal, mereka semua tahu kalau Malvin sebenarnya tidak membaca buku itu. Dia hanya melamun sambil memelototi buku fisika yang amat tebal itu.
"Ya kali dia pulang. Orang jam terakhir nanti jam pelajaran Bu Lyn." Lagi, Jovas menyahut.
Malvin tiba-tiba berdiri. Dia mengecek jam di pergelangan tangannya. Masih ada sepuluh menit lagi sebelum jam istirahat berakhir. "Gue ke toilet dulu ya," pamit cowok itu langsung melangkah pergi tanpa menunggu jawaban teman-temannya.
Di sepanjang koridor menuju toilet, Malvin terus saja terbayang sosok yang mengenakan hoodie hitam tempo hari. Kalau dipikirkan lagi, sosok yang mengikuti dan mengawasi Bu Lyn di malam itu mirip dengan sosok yang pernah Malvin lihat di parkiran apartemen Bu Lyn waktu itu.
"Apa mereka adalah orang yang sama?" batin Malvin. Tapi, apa alasan orang itu yang terus mengawasi dan mengikuti Bu Lyn? Apa dia menyukai Bu Lyn atau ada alasan yang lain? Apapun alasannya, Malvin merasa bahwa itu bukanlah hal yang baik.
Setelah dari toilet, Malvin ingin langsung kembali ke kelas. Namun, urung karena dia melihat kakaknya yang sedang berbincang dengan seseorang di depan ruang guru.
"Kenapa tuh curut satu ada di sini, sih?" batin Malvin kesal. Apalagi setelah melihat orang yang sedang berbicara dengan kakaknya itu adalah Bu Lyn, Malvin semakin geram. Mana kayak akrab banget lagi.
Malvin hendak menghampiri kedua orang itu. Tapi, tidak jadi karena Edwards tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Malvin. Aku boleh minta tolong ke kamu?" tanya Edwards dengan wajah ramah seperti biasanya.
Malvin menghela napas. Dia melihat lagi ke arah Bu Lyn dan Adit yang kini berjalan sambil terus berbicara. Sepertinya mereka mengarah ke ruang kepala sekolah.
Meredam emosinya, Malvin tersenyum tipis ke arah Edwards.
"Tumben. Emang Lo mau minta tolong apa?" tanya Malvin berusaha ramah.
"Gini ... oke enggak cukup lanjut part dua."
Seketika Malvin nge-bug mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Edwards.
"Gi-mana?" tanya Malvin meragukan pendengarannya sendiri.
Edwards tertawa kecil. "Maaf, aku cuma bercanda, soalnya muka kamu kayak orang yang lagi nahan emosi gitu."
Malvin menatap Edwards tidak menyangka. Ternyata, bule introver yang satu ini bisa becanda juga toh.
"Oh," gumam Malvin kemudian terkekeh kecil. "Jadi, sebenarnya Lo mau minta tolong apa?" tanya Malvin guna memecah kecanggungan.
"Berhubung sebentar lagi masuk. Kita bicara sambil jalan aja ya?"
Malvin mengangguk. Edwards mulai berbicara mengenai apa yang ia inginkan dari Malvin.
"Jadi intinya Lo minta gue ngajarin Lo main gitar?" tanya Malvin memastikan.
Edwards mengangguk antusias. "Itu juga kalau kamu mau. Soalnya kalau nyari guru les yang cocok pasti susah banget karena aku enggak terlalu bisa berinteraksi dengan orang yang baru aku kenal. Waktu itu aku sempat lihat permainan gitarmu di kantin. Dan itu bagus sekali," ucap Edwards. Dari ekspresi wajahnya, dia sangat berharap Malvin mau membantunya.
"Oh, gitu. Tapi bukannya kita juga baru kenal ya?"
"Tapi itu akan lebih baik daripada sama seseorang yang benar-benar baru aku temuin, kan?" jawab Edwards.
"Emang Lo enggak ada keluarga atau teman lain yang bisa ngajarin Lo?" tanya Malvin.
Edwards menggeleng. "Enggak ada."
Kasihan...
Malvin menggaruk kepalanya. "Gimana ya? Emang buat apa sih loh sampe segitunya mau belajar gitar?"
"Sebentar lagi, Ibuku ulang tahun. Aku ingin menyanyikan salah satu lagu kesukaannya sambil memainkan gitar. Ibuku sangat menyukai alat musik yang satu itu. Itu sebabnya aku sangat butuh bantuan kamu. Cukup ajari aku dasarnya. Sisanya aku bisa belajar sendiri dari internet."
Malvin masih berpikir. Dia masih bimbang untuk menentukan jawaban untuk Edwards.
"Oke, deh. Karena itu buat Ibu Lo, gue bakalan bantu. Tapi, Lo jangan deket-deket sama Bu Lyn apalagi sampe suka ya," ucap Malvin penuh peringatan.
"Perasaan enggak bisa dibohongi, Vin," jawab Edwards yang langsung dihujani tatapan tajam dari Malvin. "Aku cuma bercanda, Vin. Aku enggak beneran suka Bu Lyn kok."
Malvin menatap Edwards penuh selidik. "Bagus deh kalo gitu," jawab Malvin kemudian masuk lebih dulu ke dalam kelas.
Edwards tersenyum. The first step succeeds!
🍁
Mudah-mudahan bisa up lagi secepatnya....
Ayo dong semuanya kasih dukungan ke aku biar aku makin semangat buat ngelanjutin cerita ini...
Yang belum follow, bisa dong follow aku wkwkw
Btw, makasih udah nungguin dan masih mau baca.
Sampai jumpa di Bab selanjutnya. See uuuu....
KAMU SEDANG MEMBACA
Killer, Lover! [TAMAT]
Fiksi UmumSMA SANJAYA kedatangan siswa baru dari Amerika. Dia bernama Edwards Robertson. Dia baik, tampan, dan pintar. Hanya saja dia sedikit tertutup dan tidak suka bergaul. Namun, hal itu justru membuat orang-orang semakin penasaran akan sosoknya. Dia menja...