"A-aku t-takut, da-, dadaku s-sesak," lirih gadis itu, mempererat pelukannya pada Edwards.
Awalnya Edwards bingung hendak bereaksi seperti apa. Tindakan Lyn yang memeluknya secara tiba-tiba tentu membuat dirinya terkejut. Namun, ini bukan saatnya untuk larut dalam rasa terkejut. Dia harus memanfaatkan situasi ini sebaik mungkin.
Di tengah Lyn yang masih memeluk pinggang Edwards, tangan pemuda itu terangkat dan berakhir di bahu gadis itu.
"Jangan takut Bu Lyn. Aku ada di sini," ucap pemuda itu. Tangannya menepuk-nepuk bahu Lyn pelan, berharap bisa memberi sedikit ketenangan pada gadis itu.
"Tolong ... tolong minta seseorang untuk segera membuka pintu ini," ucap gadis itu gemetar. Matanya semakin tertutup, sementara kedua tangannya meremas kuat sisi belakang kaus yang Edwards kenakan.
"Baiklah, sebentar." Tanpa melepaskan pelukan Lyn dari tubuhnya, Edwards merogoh ponsel yang berada di sakunya. Dia menghubungi Peju dan meminta teman satu timnya itu untuk segera melapor pada petugas tentang insiden yang sedang mereka alami.
Tidak sampai lima menit semenjak obrolannya berakhir dengan Peju, Edwards sudah mendengar suara beberapa petugas yang berjalan cepat menuju lift.
'Je*k! Why are they coming so fast?' batin Edwards.
"Yang di dalam! Tenang! Kami akan segera membuka pintu ini! Tolong sedikit menjauh dari pintu!" teriak seorang petugas dari luar.
Baik Lyn dan Edwards tidak merespon.
Tidak lama, penerangan dalam lift itu kembali menyala. Edwards dapat merasakan Lyn yang tersentak di dadanya.
Mata Lyn perlahan terbuka. Gadis itu menghela napas lega saat menyadari ruangan sudah kembali benderang. Tangannya yang semula meremas kuat kaus Edwards perlahan mengendur. Lyn mengurai pelukan dan perlahan mundur menjauhi Edwards.
"Maaf, tadi aku sangat takut," cicit gadis itu tanpa menatap wajah Edwards. Dia merasa malu setelah menyadari apa yang baru saja ia lakukan. "Eh, ma-maksud saya—"
"Bu Lyn?" panggil Edwards tiba-tiba.
"I-iya," jawab Lyn gugup. Dia sendiri bingung kenapa harus merasa segugup ini di dekat Edwards.
"Ibu baik-baik saja, kan?" tanya anak itu.
"Sekarang, sudah lebih baik."
"Tapi, badan ibu masih gemetar."
"Hah?" Lyn berusaha agar tubuhnya kembali normal. Namun, bukannya normal, tubuhnya malah semakin gemetar. Bahkan kakinya hampir lunglai. "Enggak kok. Badan ibu biasa saja." Lyn masih mengelak.
Edwards tersenyum samar. "Kalau masih belum bisa berdiri dengan baik. Ibu boleh kok memegang tanganku atau memelukku seperti tadi. Aku bersedia menjadi sandaran untuk Bu Lyn."
"A-apa?" Lyn tidak bisa berkata apa-apa. Bisa-bisanya Edwards berkata seperti itu di situasi mereka yang seperti ini. Anehnya, entah mengapa, Lyn malah sangat menyukai kalimat anak itu. Kalimat yang mengatakan bahwa dia bersedia menjadi sandaran untuk Lyn.
Beruntung, pintu lift akhirnya terbuka. Beberapa petugas langsung masuk dan memeriksa keadaan mereka. Kepala sekolah juga teman-teman Edwards dan beberapa guru yang ikut makan siang bersama mereka tadi juga sudah berdiri di depan lift.
"Bu Lyn baik-baik saja, kan?" tanya Pak Teddy begitu Lyn dan Edwards keluar dari lift. Dia memegang lengan Lyn untuk memeriksa keadaannya. Raut wajahnya begitu khawatir.
Lyn segera melepaskan tangan Pak Teddy dari bahunya dan sedikit mundur untuk menjaga jarak.
"Saya baik-baik saja Pak. Terimakasih karena sudah menghawatirkan saya," jawab Lyn ramah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Killer, Lover! [TAMAT]
General FictionSMA SANJAYA kedatangan siswa baru dari Amerika. Dia bernama Edwards Robertson. Dia baik, tampan, dan pintar. Hanya saja dia sedikit tertutup dan tidak suka bergaul. Namun, hal itu justru membuat orang-orang semakin penasaran akan sosoknya. Dia menja...