Bab 20 - Kafe

950 137 4
                                    

"Masih lama enggak, Pak? Kalau masih lama Airin naik taksi aja deh," ucap Airin greget. Pasalnya, dalam perjalanan menuju kafe yang Malvin sebut semalam, mobil yang Airin pakai tiba-tiba berhenti di tengah perjalanan.

Pak Seto, sopir yang mengantar dirinya sore ini sedang sibuk mengecek mesin mobil. Setelah melihat-lihat beberapa bagian, Pak Seto akhirnya mengangkat pandangan dari mesin dan memandang ke arah Airin.

"Gimana, Pak?" tanya Airin lagi.

"Maaf sebelumnya, Non. Saya tidak bisa menemukan di mana masalahnya. Sepertinya kita harus menghubungi montir untuk memperbaikinya."

Airin menghela panjang. "Ya, kalau gini caranya My Bebeb Edwards keburu pergi," gerutu Airin kesal. "Ya udah deh, Bapak aja yang hubungin montir saya naik taksi aja." lanjut Airin kemudian sedikit menjauh dari mobilnya untuk mencari taksi. Namun, sudah lima menit berlalu tidak ada satu taksi pun yang lewat.

"Kalau pesan taksi online sekarang masih keburu enggak ya?" gumam Airin mulai panas dingin. Dia tidak tahu seberapa lama taksi itu akan datang nantinya, dia juga tidak tahu seberapa lama Edwards dan Malvin belajar gitar di kafe itu. Gimana kalau taksinya lama dan Edwards udah keburu pergi?

Airin merasa putus asa. Dia berjongkok di pinggir jalan sembari berharap ada sesuatu yang bisa membawanya pergi ke tempat Edwards berada secepat mungkin.

Hingga suara klakson mobil itu terdengar. Airin mengangkat pandangan. Dan seraut wajah cantik terlihat dari jendela kaca yang terbuka.

"Airin? Kenapa jongkok di pinggir jalan seperti itu?" tanya seseorang yang suaranya terasa merdu di telinga Airin.

Akhirnya ... Akhirnya penyelamat itu datang dalam hidup Airin.

"Bu Lyn!?" seru Airin seketika melompat ke arah mobil Lyn. "Tolong saya, Bu Lyn. Tolong saya," mohon Airin dengan wajah yang sangat memelas.

Tentu saja Lyn kaget dibuatnya. "Tolong apa?"

"Tolong antar saya ke suatu tempat Bu Lyn. Enggak jauh kok tempatnya. Cuma sekitar tiga kilometer lagi. Please, Bu Lyn. Ini darurat. Sangat darurat."

Lyn terdiam beberapa saat. Dari raut wajah yang Airin tunjukkan sepertinya hal itu memang darurat.

"Iya, Ibu bantu ka-"

"Makasih Bu Lyn."

Lyn belum selesai bicara tapi Airin sudah berlari cepat ke arah kursi penumpang.

"Bu Lyn, bukain pintunya. Kita udah enggak punya banyak waktu lagi," ucap Airin saat dia tidak bisa membuka pintu kursi penumpang.

"Sudah," ucap Lyn dan di detik itu juga Airin langsung membuka pintu dan masuk. Gadis itu buru-buru memakai seatbelt dan langsung memberitahu Lyn arah tujuan mereka.

🍁

"Di sini?" Lyn menatap heran sekeliling.

Airin mengangguk. "Iya benar di sini, Bu Lyn. Makasih banyak udah nganter Airin ke sini. Bu Lyn adalah penyelamat ku," ucap Airin kemudian meraih tangan Lyn dan mencium punggung tangannya. "Sekali lagi makasih Bu Lyn. Sampai ketemu lagi Bu Lyn."

Setelah mengatakan itu, Airin keluar dari mobil dengan terburu-buru. Sementara Lyn masih bingung di tempatnya. Kira-kira hal darurat seperti apa yang terjadi di kafe ini sehingga Airin begitu terburu-buru untuk sampai ke tempat ini?

Tidak ingin terlalu memikirkan urusan orang lain, Lyn memutuskan untuk meninggalkan tempat itu saja dan segera kembali ke apartemennya. Namun, begitu tangannya hendak menyalakan mesin, benda berwarna biru berbetuk persegi panjang yang tergeletak di kursi penumpang tepat di sebelahnya mencuri perhatian Lyn. Sebuah dompet. Ini pasti milik Airin.

Lyn memungut dompet itu. Keluar dari mobil untuk mengembalikan benda itu kepada pemiliknya. Memasuki kafe yang tidak terlalu ramai, Lyn mencari-cari keberadaan Airin. Akhirnya dia menemukan gadis itu berjalan cepat ke sebuah meja yang berada di sudut ruangan. Langkah kaki Lyn sedikit melambat saat mulai mengenali seorang anak laki-laki yang tengah duduk di tempat itu. Di tangan anak laki-laki itu terdapat sebuah gitar yang siap dipetik.

"Malvin! Mana Edwarsnya? Lo bilang Lo di sini sama Edwards? Di mana dia sekarang?" tanya Airin cepat begitu ia sampai di dekat anak laki-laki itu.

Malvin yang awalnya ingin memetik gitar urung karena kedatangan Airin.

"Berisik banget sih! Nyesel gue ngasih tahu Lo soal ini. Noh, cowok Lo lagi di toilet!" sarkas Malvin sembari menunjuk ke arah toilet dengan dagunya.

"Oh, gitu, oke deh. Gue tunggu di sini aja. Mas-mas saya mau pesan," Airin memanggil seorang pegawai kafe yang kebetulan lewat sembari duduk di salah satu kursi di meja itu tanpa izin dari Malvin.

"Kok Lo duduk di sini sih? Kalau Edwards nanya gue harus jawab apa?" ujar Malvin yang mulai depresi dengan tingkah Airin.

"Bilang aja kalau gue kebetulan ke kafe ini dan ketemu Lo," ucap gadis itu dengan entengnya. "Astaga! Dompet gue mana?" Airin yang hendak mengambil ponsel dari tas kecilnya baru menyadari bahwa tidak ada dompetnya di sana. "Astaga! Pasti ketinggalan di mobil Bu Lyn!"

"Bu Lyn!?" sahut Malvin seketika tertarik. Kenapa dompet Airin bisa ada di mobil Bu Lyn?

"Ini dompet kamu," ucap Lyn yang baru tiba di meja mereka. Gadis itu menyodorkan dompet itu kepada Airin sembari mengulas senyum tipis.

Baik Airin dan Malvin terpaku.

"Ah, Bu Lyn. Makasih banyak Bu. Hari ini ibu udah menyelamatkan saya dua kali. Makasih Bu," ungkap Airin kemudian mengambil dompetnya dari tangan Lyn.

"Sama-sama. Lain kali lebih hati-hati ya," ucap Lyn.

Airin mengangguk. "Siap, Bu!"

"Kalau begitu, ibu permisi dulu."

"Tunggu dulu Bu Lyn," ucap Airin mencegah kepergian gurunya itu.

"Iya Airin? Ada apa?"

Airin melirik Malvin yang masih terpaku di tempatnya.

"Gimana kalau ibu di sini dulu. Kita makan-makan atau minum apa gitu. Saya yang traktir Bu Lyn. Anggap saja sebagai ucapan terimakasih saya kepada Bu Lyn." Airin sangat berharap Lyn mau menerima permintaannya ini agar hutangnya pada Malvin bisa dibilang impas.

Lyn menatap dua orang di hadapannya bergantian. Gadis itu tersenyum manis. "Maaf, Airin. Mungkin lain kali," tolak Lyn halus.

"Ayolah Bu Lyn. Kali ini aja. Ya? Ya?" Airin terus membujuk. Tapi Lyn tetap menolak.

"Lain kali saja," tolak Lyn. Dia berbalik, hendak pergi. Tapi melihat sosok yang sedang berjalan menuju ke tempat mereka sekarang entah mengapa membuat Lyn enggan melanjutkan langkah.

"Kalau begitu Ibu mau pesan Avocado coffee ice, boleh?" ucap Lyn tiba-tiba kembali berbalik ke arah Airin.

"Boleh, Bu. Boleh. Sangat boleh malah," jawab Airin semangat. Lyn kemudian duduk di kursi di sebelah Airin. Di hadapannya ada Malvin yang sejak kedatangannya tidak mengeluarkan suara sama sekali.

Airin berdiri. "Mas, sini mas. Saya mau pesan lagi," ucap Airin kembali memanggil pegawai kafe yang tadi.

"Edwards?!" seru Airin semangat saat cowok itu tiba di meja mereka. "Lo di sini juga?" tanya cewek itu pura-pura bodoh. "Kebetulan banget. Ih, Malvin kok Lo enggak bilang kalau ada Edwards juga." Airin pura-pura marah pada Malvin.

Malvin diam tidak menjawab ocehan Airin sama sekali. Cowok itu sibuk meneliti ekspresi Edwards. Sepertinya cowok itu sangat terkejut melihat keberadaan Airin dan Bu Lyn. Wajar Edwards terkejut, jika itu Malvin, dia pasti terkejut juga melihat guru dan salah satu teman sekelas yang tidak diundang tiba-tiba ada di meja mereka.

Yang membuat Malvin sangat bingung adalah, kenapa Bu Lyn yang awalnya menolak tiba-tiba menerima tawaran Airin untuk duduk bersama mereka. Apa saat melihat keberadaan Edwards tadi yang membuat gurunya itu berubah pikiran? Tapi, kenapa?

🍁

Killer, Lover! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang