Setelah mengantar Airin pulang dengan selamat ke rumahnya, Malvin langsung kembali ke rumah karena merasa lelah. Dia memarkirkan motornya di garasi rumah mereka yang luas. Perhatiannya sedikit teralihkan ke sebuah mobil sport berwarna kuning yang terlihat asing. Sangat mengilap seperti baru dikeluarkan dari pabriknya. Malvin berjalan memasuki rumah melalui pintu yang langsung terhubung ke dalam rumah. Saat melewati ruang keluarga, Malvin mendapati kakeknya sedang asyik menyaksikan pertandingan sepak bola melalui televisi.
"Sudah lihat mobilnya?" tanya sang Kakek melihat sebentar ke arah Malvin kemudian kembali fokus ke layar televisi.
"G-go, G-goo, Gooo-, Akhh, sial! Padahal hampir saja," ucap sang Kakek kesal karena tim jagoannya hampir membobol gawang lawan namun mampu digagalkan oleh sang kiper.
"Akh, sudahlah!" gumam sang Kakek kemudian langsung mematikan televisi melalui remote yang ada di tangannya. Dia menoleh ke tempat Malvin berdiri tadi dan mendapati anak itu masih berdiri di sana dan hanya memandang dirinya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Bagaimana Malvin? Suka tidak?" tanya Kakeknya lagi karena Malvin tidak kunjung menjawab.
"Maksud Kakek mobil kuning yang ada di garasi?"
Sang Kakek mengangguk semangat sembari tersenyum.
"Iya, itu hadiah ulangtahun untuk mu," ucap sang Kakek.
Malvin berdecak. Dia memutar bola mata malas kemudian berkata, "Mobilnya bagus. Tapi, aku rasa akan lebih bagus jika dikembalikan ke pabriknya," jawab Malvin tanpa beban dan berniat pergi.
"Malvin, bisakah kamu terima saja," ucap sang Kakek yang kini berdiri menatap cucu bungsunya lamat-lamat.
Malvin menghela napas dalam. "Malvin bukan anak kecil lagi, Kek. Udah enggak butuh hadiah ulangtahun seperti itu. Jika Kakek memang sangat ingin memberi Malvin hadiah, seharusnya Kakek tahu apa yang benar-benar Malvin inginkan." Usai mengatakan itu Malvin langsung berjalan cepat ke lantai dua dan segera memasuki kamarnya. Dia tidak peduli jika Kakeknya marah atau tersinggung. Untuk sekadar informasi saja. Dia sudah berhenti menerima apapun dari keluarga ini sejak berumur lima belas tahun. Bahkan, motor yang sering ia pakai itu adalah hasil jerih payahnya sendiri. Sekitar setahun yang lalu, ia cukup sering menjadi model di beberapa majalah. Namun, ia berhenti karena merasa bosan. Dan jika bisa, ia sangat ingin meninggalkan rumah ini dan tinggal bersama ibunya saja. Namun, ibunya bersikeras memintanya untuk tetap tinggal di rumah ini dengan alasan yang Malvin sendiri tidak terlalu tahu.
Saat meletakkan gitarnya di sebelah meja belajar, kotak yang berisi ratusan foto Bu Lyn yang ia dapat dari siswa yang meninggal beberapa waktu lalu menarik perhatiannya. Masalahnya, Malvin selalu menutup kotak itu rapat-rapat setelah melihat-lihat isinya. Namun, kenapa tutup kotak itu setengah terbuka? Apa ada seseorang yang masuk ke kamarnya dan menyentuh kotak itu?
Dengan gerakan cepat, Malvin mengambil kotak itu dari bawah meja. Cowok itu duduk di pinggir kasur dan menaruh kotak itu di pangkuannya. Malvin mulai melihat-lihat ke dalam kotak. Dia tidak bisa memastikan apakah ada yang mengambil beberapa foto dari kotak itu atau tidak. Karena jumlahnya banyak sekali, dia tidak akan menyadari jika ada foto yang hilang.
Malvin berpikir keras. Siapa kira-kira orang yang dengan lancang memasuki kamarnya dan menyentuh kotak ini? Tersangka utamanya adalah Kakak laki-lakinya, Aditya, yang semenjak dirinya lahir sudah memiliki dendam tersendiri kepadanya. Malvin ingin sekali menemui kakaknya itu sekarang juga dan menanyakan hal tersebut. Namun, dia tidak ingin mengambil resiko. Jika tebakannya salah, itu sama saja dengan memberitahu Adit tentang keberadaan kotak ini dan sudah dipastikan akan banyak pertanyaan yang akan pria itu layangkan padanya. Dan kemungkinan terburuknya adalah, Adit bisa mengadukan hal ini kepada siapapun untuk menghancurkan reputasinya. Bukan hanya kepada Ayah dan Kakeknya saja. Pria itu bisa dengan nekad menyampaikan hal itu secara langsung kepada Bu Lyn sebagai objek dari semua foto-foto ini. Dan bisa dipastikan Bu Lyn akan marah besar dan menganggap dirinya penguntit mesum yang gila.
Oke, Malvin terlalu banyak berpikir. Bisa saja tidak ada orang lain yang memasuki kamarnya. Bisa saja alasan tutup kotak itu setengah terbuka karena kelalaian Malvin sendiri yang memang cukup buru-buru saat pagi tadi.
"Oke, Malvin, Lo harus tetap berpikir positif. Kotaknya terbuka mungkin memang karena ulah Lo sendiri," monolog Malvin.
Cowok itu berniat bangkit dan ingin mengembalikan kotak itu ke bawah meja. Namun, satu di antara ratusan foto di dalam kotak itu menarik perhatiannya.
Malvin mengambil foto itu dan memperhatikannya dengan saksama.
Mata Malvin membulat tidak percaya. Di dalam foto itu Bu Lyn terlihat sedang berdiri di depan sebuah toko bunga dan melihat bunga-bunga di sana. Dan tidak jauh dari tempat Bu Lyn berdiri, terlihat seorang pria berpakaian serba hitam yang sepertinya sedang memperhatikan Bu Lyn.
Kalau dilihat-lihat toko bunga ini nampak tidak asing. Oh, iya, Malvin ingat. Ini adalah toko bunga yang pernah Lyn kunjungi saat Malvin sedang berada di kafe yang tidak jauh dari toko bunga itu. Waktu itu, Malvin melihat Lyn dan ingin segera menemuinya. Malvin juga sempat melihat sosok pria yang mirip seperti yang ada di foto ini berdiri tidak jauh dari Lyn dan terus memperhatikan Bu Lyn. Waktu itu, Malvin nyaris menangkap orang itu jika saja dirinya tidak hampir tertabrak sebuah mobil.
Jadi, di malam itu ada tiga orang pria yang memperhatikan Bu Lyn?
Dirinya. Penguntit gila yang mengambil gambar-gambar ini yang tak lain adalah adik kelasnya di sekolah. Dan, pria misterius ini.
Ah, lama-lama Malvin bisa gila. Kenapa begitu banyak pria yang tertarik pada Bu Lyn?
Tapi, tunggu? Sepertinya pria ini tampak tidak asing.
Malvin menyipitkan mata guna melihat wajah dari pria berpakaian serba hitam itu dengan lebih jelas. Malvin mencoba mengenali namun gagal karena pria itu memakai masker hitam. Namun, gelang yang melingkar di tangan kiri pria itu tampak tidak asing. Malvin merasa cukup sering melihatnya. Tapi, dia lupa di mana.
"Tunggu, bukankah ini?"
Malvin sungguh tidak ingin memercayai ingatannya sendiri. Gelang ini sama persis seperti milik Edwards. Cowok itu selalu memakainya. Di kelas atau pun saat dirinya mengajari cowok itu bermain gitar.
Mungkin kah Edwards itu-
Malvin menggeleng. "Rasanya enggak mungkin kalau pria di foto ini adalah Edwards. Untuk apa dia mengikuti dan memperhatikan Bu Lyn seperti itu? Edwards itu kan bai-k," gumam Malvin ragu.
Dia terus menerus mendoktrin isi kepalanya agar berhenti berpikir jika orang berpakaian serba hitam di foto ini adalah Edwards. Namun, dia gagal.
"Akh-!!!" desis Malvin kesal.
Dia menjadi semakin tidak tenang setelah melihat foto ini.
"Aku harus memberi tahu Bu Lyn," gumam Malvin dan segera mengambil ponsel.
"Tapi, kalau Bu Lyn tanya dari mana aku mendapat semua foto ini bagaimana?"
"Akh, bodo amat! Jawab apa adanya aja. Aku harus hubungi Bu Lyn dan harus berdiskusi malam ini juga."
Namun, hingga panggilan ke-sepuluh, panggilannya tidak dijawab juga. Malvin semakin khawatir dan tidak tenang.
Segera pria itu mengambil kunci motor juga jaketnya saat panggilan ke sebelas juga tidak dijawab. Malvin harus ke apartemen Bu Lyn dan memastikan guru kesayangannya itu aman
🍁
Terima kasih udah baca ....
🙂🙂🙂🙂🙂
KAMU SEDANG MEMBACA
Killer, Lover! [TAMAT]
General FictionSMA SANJAYA kedatangan siswa baru dari Amerika. Dia bernama Edwards Robertson. Dia baik, tampan, dan pintar. Hanya saja dia sedikit tertutup dan tidak suka bergaul. Namun, hal itu justru membuat orang-orang semakin penasaran akan sosoknya. Dia menja...