Bab 19 - Hadiah ulangtahun

1.1K 146 11
                                    

Karena sudah diberitahu sebelumnya, Rachel yang merupakan sekretaris Liem, langsung mempersilahkan Lyn masuk ke dalam ruangan atasannya begitu gadis itu datang.

Liem yang masih berbincang dengan seseorang melalui ponsel memberi kode kepada Lyn untuk duduk dan menunggu sebentar.

Lyn menurut. Gadis itu kemudian duduk di sofa yang tersedia di ruangan itu.

Tidak sampai lima menit, Liem sudah usai menelepon. Lyn hendak beranjak untuk menghampiri Pamannya itu namun Liem mencegahnya.

"Duduk di situ saja, Lyn. Kita bicara di situ saja," ucap Liem kemudian berjalan menuju mesin kopi.

Lyn mengangguk. Urung bangkit dan kembali duduk tenang di sofa.

"Jadi, pihak kepolisian tidak pernah menghubungi mu lagi?" tanya Liem sembari meletakkan secangkir kopi yang baru saja ia seduh itu di hadapan Lyn.

"Tidak pernah. Aku hanya sekali dipanggil ke sana untuk menjadi saksi atas insiden yang menimpa Satya," ucap Lyn sedih karena harus diingatkan lagi tentang insiden yang menimpa teman dekatnya.

Liem hanya mengangguk sebagai respon. "Bagaimana dengan mayat siswa yang ditemukan di ruang laboratorium itu? Apa pembunuhnya sudah ketemu? Mereka tidak menyebut itu sebagai kasus bunuh diri lagi, kan?" lanjut Liem sedikit terkekeh di akhir kalimatnya.

Lyn tertegun. "Paman tahu mengenai kejadian itu?"

"Tentu saja. Kejadian itu cukup menggemparkan dan diliput di mana-mana."

"Oh, begitu," gumam Lyn. Dia tidak pernah melihat berita itu karena memang jarang menonton televisi maupun membaca berita-berita online. "Aku tidak tahu. Para guru pun sudah jarang membahas dan mungkin sudah mulai melupakan kejadian itu."

"Hmm..., cukup menarik," ucap Liem kemudian mengelus-elus dagunya seolah sedang berpikir.

"Bagaimana jika aku berkata bahwa pembunuh orang-orang itu berada sangat dekat denganmu?"

Mata Lyn seketika melotot. Gadis itu menelan ludah susah payah. "Ma-maksud Paman?"

"Begini," Liem duduk di hadapan Lyn. Pria paruh bayah itu mengambil dua bolpoin dan meletaknya di atas meja. "Anggap bolpoin merah ini adalah Satya dan bolpoin hitam ini adalah bocah malang itu. Satya mati karena jatuh dari atap gedung apartemen yang kamu tempati sementara bocah itu mati di sekolah tempat kamu mengajar. Dan seperti yang kita tahu, pelakunya adalah orang yang sama karena dia mengatakannya secara langsung padamu melalui sebuah panggilan dan menyebut dirinya sebagai Gray. Orang itu tahu apartemen mu dan tahu sekolah tempat kamu mengajar. Yang lebih luar biasa lagi, orang itu bisa masuk ke gedung apartemen kamu juga sekolah kamu tanpa dicurigai orang-orang." Liem menghentikan kalimatnya.

"Ja-jadi maksud Paman?" Lyn semakin takut saja. Jantungnya tidak berhenti berdetak kencang.

"Maksud saya adalah, kemungkinan besar orang itu adalah seseorang yang juga tinggal di gedung apartemen yang kamu tempati. Bisa juga seseorang yang bersekolah di sekolah tempat kamu mengajar. Atau ..." Lagi-lagi Liem memberi jeda pada kalimatnya.

"Atau?" Lyn mulai pusing dengan segala perspektif yang muncul di kepalanya.

"Atau ... orang itu berada di kedua tempat tersebut. Jadi Lyn, tetap berhati-hati pada orang di sekitar mu. Terutama orang baru. Orang ini bisa saja Gray. Atau, seseorang yang hanya mengaku sebagai Gray saja."

🍁

Lyn tidak henti-hentinya mengetuk-ketuk kepalanya di meja belajar. Perkataan Paman Liem tadi siang cukup menohok hati juga mengikis habis keberanian dirinya. Hal seperti Gray yang sebenarnya tinggal di gedung apartemennya atau Gray yang mungkin saja bersekolah di sekolahnya memang sempat melintas di kepala Lyn. Namun, mendengar seseorang mengatakan langsung padanya mengenai hal itu, membuat penilaian Lyn tentang kebenaran perspektif yang awalnya lima puluh persen telah meningkat drastis menjadi sembilan puluh lima atau bahkan sembilan puluh sembilan persen. Mengakibatkan tingkat kewaspadaan gadis itu kepada orang lain mau tidak mau juga harus meningkat.

Killer, Lover! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang