5

3.6K 434 142
                                    

🥀In this cold, dark night, I'm alone.🥀

🌹🌹🌹

Ayara mendekap kedua lututnya. Air matanya telah kering entah sejak kapan. Jujur, ia lelah menangis seperti ini. Ia lelah merasakan kesedihan yang sama setiap malamnya.

Tetapi tak ada satu orang pun yang mampu mengubah keadaannya. Tak ada.

Telepon dari Rayyan barusan malah membuat dirinya merasa nelangsa. Ia butuh seseorang untuk tempatnya menangis. Sangat butuh. Namun menceritakan segala keluh kesahnya kepada orang lain juga bukanlah hal yang mudah.

Ada banyak alasan yang rasanya menahan dirinya untuk bercerita. Ia tak mau merasa hancur ketika mengingat apalagi menceritakan segala beban di hatinya. Ia ingin melupakannya saja, bukan meluapkannya.

Ucapan ibunya ketika ia membantu memasak dan makan malam tadi sangat mengusik hatinya.

"Kamu itu pelajaran sekolah nggak bisa, masak juga nggak bisa. Apa, sih, yang kamu bisa?" tegur Laras begitu Ayara tak rapi memotong wortel. "Kamu harus mulai serius sama hidup kamu. Harus maju! Nggak bisa gini-gini terus?"

Ayara mendesah panjang. Memang selama ini ia bermain-main dengan hidupnya sendiri? Memangnya memiliki suara merdu bukan hal yang patut dibanggakan? Ah, ia lupa seberapa tak berharga kemampuannya itu di mata keluarganya.

"Ck! Sini biar Mama saja yang potong sayurannya! Kamu cuci piring saja!"

Ayara pun lagi-lagi hanya bisa mendesah panjang.

Lain lagi ceritanya ketika di meja makan. Laras, Bayu, dan Aryana berkumpul. Aryana bercerita tentang pertemanan serta prestasinya di kelas tentu saja.

"Kamu bagaimana, Aya?" tanya Bayu.

"Mm, biasa aja, sih, Pa. Ayara ditunjuk sebagai tutor kelas," jawab Ayara singkat.

Bayu mengangguk. "Jangan sampai nilai kamu tidak bagus, ya."

"Makanya, Mama mau kamu fokus sama pelajaran, Ay. Mama nggak mau kamu ikut acara nyanyi-nyanyi itu lagi," timpal Laras.

Deg. Apa maksudnya ucapan itu?

"Iya, Papa juga setuju," lanjut Bayu.

"Memang Aya nyanyi dimana sih, Ma?" tanya Aryana.

"Di kafe punya Dhanny," jawab Laras.

"Kak Dhanny, anak temen Mama yang agak nakal itu?" tanya Aryana.

"Iya itu!" jawab Laras.

"Ih, kenapa lo mau aja, sih, diajak manggung di sana? Nggak oke banget buat pergaulan lo," tegur Aryana.

Astaga.

Dhanny bukanlah anak yang nakal. Hanya saja jiwa bisnisnya membuat ia beberapa kali bolos kelas semasa perkuliahan. Beberapa kali, tidak sering. Dan Dhanny masih bisa lulus tepat waktu dengan IPK yang cukup memuaskan juga. Sebagai tambahan, Dhanny juga membayar tiga semester akhir dari kuliahnya sendiri berbekal bisnis kafe yang dijalankannya hingga saat ini.

Hubungan Dhanny dengan ibunya memang tak begitu dekat. Karena sama seperti Laras, ia berharap anaknya lulus dengan nilai cumlaude dan bekerja di perusahaan multinasional. Bukan pengusaha kafe kecil seperti sekarang.

"Kamu batalin perjanjian manggung kamu sama dia. Jangan manggung lagi di sana!" pinta Bayu.

"Iya bener, Ay. Nggak bagus buat masa depan lo," tambah Aryana.

"Mama sudah bilang, kan," timpal Laras sambil menatap wajah Aya yang menunduk ke piringnya.

Ia tak akan punya kesempatan untuk berbicara, apalagi membela diri.

AYARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang