Ayara menatap sepatu kusam miliknya yang sedang berpijak di teras rumahnya, menanti sang tuan rumah membukakan pintu.
Sebuah sentuhan lembut terasa di lengan Ayara, membuat gadis itu menoleh.
Mayang tersenyum dengan tatapan meyakinkan bahwa hari ini akan baik-baik saja. Ia akan baik-baik saja. Apapun permasalahan yang ia hadapi saat ini.
"Makasih, Bunda," bisik Ayara serak.
Suara kunci pintu rumah terdengar, membuat Ayara menahan napasnya tegang. Tangannya yang basah akibat keringat dingin itu saling bertaut.
Wajah Laras muncul dari balik pintu. Ekspresinya datar dan tak peduli. Bahkan rasa khawatir pun tak terlintas di wajah ibu Ayara.
Ayara langsung menggenggam lengan Rayyan. Takut menatap ibunya.
Rayyan menghela napasnya panjang sambil balas menggenggam tangan Ayara untuk menenangkan gadis itu.
"Mau apalagi kamu ke sini?" tanya Laras dingin. Terlalu dingin bagi seorang ibu yang seharusnya mengkhawatirkan anaknya yang tidak pulang dua hari.
"Apa Aya masih bisa pulang?"
"Masih ingat pulang kamu?"
Ayara diam. Sepertinya bukan jawaban ya ataupun tidak yang ingin didengar oleh ibunya.
Laras menghela kesal. "Kamu lupa apa yang saya bilang terakhir kali?"
Hening. Laras seolah menunggu Ayara untuk menjawab.
"Aya sudah bukan bagian dari keluarga ini lagi?" ujar Ayara pelan.
"Iya," jawab Laras dingin.
"Tapi, Ma-"
"Berhenti panggil saya 'Ma'. Saya sudah bukan orang tua kamu lagi."
"Apa Aya sudah nggak punya kesempatan lagi?" Suara Ayara perlahan bergetar.
"Nggak. Sudah berkali-kali saya memberikan kesempatan itu, tapi apa hasilnya? Apa gunanya? Kamu selalu mengabaikan kesempatan itu, kan?"
Ayara menarik napasnya yang sesak. Satu butir air mata mengalir begitu saja dari wajahnya.
"Laras...." Mayang mencoba menengahi. "Bagaimanapun, dia anak kamu."
"Bukan."
Ayara menggenggam tangan Rayyan semakin keras. Sekali lagi ia harus mendengar kata itu dari ibunya sendiri.
"Nggak sepantasnya kamu menelantarkan Aya-"
"Dia bukan lagi bagian dari keluarga ini! Apakah itu kurang jelas?"
Suara tinggi Laras membuat Aryana dan Bayu ikut berjalan ke pintu, melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Ayara menatap ayah dan kakaknya itu dengan harapan akan ada pembelaan dari mereka. Namun sayangnya, kehadiran ayah dan kakaknya itu tak membantu Ayara sedikitpun. Mereka hanya menatap Ayara dalam diam. Tak peduli. Tak ingin ikut campur.
Mayang akhirnya memilih mengalah dan menghela panjang. "Oke. Jadi kamu nggak mau menerima Ayara lagi?"
Laras mengangguk.
"Kalau begitu biarkan dia mengambil barang-barang miliknya," ujar Mayang.
Laras menatap ragu.
"Toh, sebagian besar barang itu memang Ayara beli dari hasil kerja kerasnya sendiri."
Laras akhirnya membuka pintu lebih lebar. "Cepat."
Pintu itu mungkin terbuka lebar, tetapi sayangnya itu adalah pintu yang terbuka untuk terakhir kalinya bagi Ayara. Setelah ini, entah hari esok ataupun hari-hari lainnya, tak akan ada lagi pintu yang terbuka baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AYARA [END]
Teen Fiction"I am matter." -Ayara- Tentang Ayara yang hidup di dalam keluarga toxic, yang selalu diperlakukan tidak adil, yang tak pernah dihargai. 🌹🌹🌹 "Seharusnya kamu bisa mencontoh kakak kamu." "Seharusnya kalian paham kalau perbandingan ini nggak akan me...