25

1.5K 230 4
                                    

🥀 Tak akan ada yang peduli denganmu, kecuali dirimu sendiri, Jadi berhentilah berharap dan mulai peduli dengan diri sendiri. 🥀

🌹🌹🌹

"Sudah jam berapa ini?! Bisa-bisanya kamu baru bangun?" tegur Laras begitu Ayara keluar kamar.

Ayara melirik jam dinding. Pukul tujuh. Biasanya memang jika Sabtu dan Minggu, Ayara tetap bangun pagi. Pukul enam atau paling telat setengah tujuh. Namun karena ia lelah menangis semalaman, jadilah ia membiarkan dirinya bangun lebih siang. Toh, Aryana juga belum bangun.

"Dasar! Sudah bodoh, malas pula!" hina Laras. "Sana sapu, pel, habis itu setrika! Gara-gara pulang sore terus, setrikaan kamu numpuk! Baju Aryana juga belum kamu setrika.

Ayara hanya mendesah pelan sambil berlalu mengambil sapu. Ia tidak ikut makan malam semalam, dan seperti biasa, tak ada yang mencarinya. Tadi ketika bangun, perutnya sempat terasa perih karena asam lambungnya naik. Untung saja ia masih punya stok obat maag.

Dengan cepat ia menyapu dan mengepel rumah, membersihkan setiap sudutnya, juga menyiram beberapa tanaman yang ia rawat sejak kecil. Almarhumah neneknya yang selalu mengajarinya untuk mencintai dan merawat tanaman. Tanpa tanaman, maka manusia tak akan mampu bertahan hidup.

Ayara meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Ia masih duduk di kursi kecil di taman belakang. Ia telah selesai merawat tanaman-tanaman ini, tinggal meringkas beberapa sisa-sisa daun kering serta tanah yang sedikit berserakan.

Tak terasa, waktu telah menunjukkan pukul 11 siang. Itu berarti ia telah melewatkan makan pagi.

Ah, sudahlah. Keluarganya memang aneh. Mau diapakan lagi?

🌹🌹🌹

Setelah berbaring sejenak, Ayara membuka ponselnya dan terdapat chat dari Rayyan.

Ay, lo yakin nggak mau escape bentar kemana gitu? Lo pasti belum makan dari semalam juga, kan?"

Ayara mendesah pelan. Kalau bisa juga dia udah kabur. Tapi masalahnya pasti tidak diijinkan. Dan Ayara sudah malas untuk mencari keributan lagi. Mentalnya belum siap untuk menghadapi cercaan keluarganya.

No, thanks.

Jawab Ayara akhirnya.

Ah, iya, perihal hubungannya dengan Rayyan, entahlah. Rayyan juga tak ada pembicaraan yang mengarah ke pengakuannya waktu itu. Dan Ayara senang dengan hal itu. Itu berarti Ayara tak perlu lagi merasa canggung dan tetap berteman baik dengan Rayyan.

Tak lama berselang, ponselnya berbunyi. Sebuah telepon masuk.

Ayara secara otomatis melempar ponselnya ke kasur begitu melihat nama Erlangga muncul di layarnya.

"Eh, anjir! Gue nggak siap ngobrol sama dia!" ujar Ayara panik.

Otaknya berpikir keras, apakah ia harus mengangkat telepon itu atau tidak. Setelah lama menimang, ia akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon dari Erlangga.

"Halo?"

"Hai, Ay," jawab Erlangga ramah.

"Hai, Kak," jawab Ayara, mencoba untuk rileks.

"Ay?"

"Iya?"

"Gue boleh tanya sesuatu?"

Ayara langsung merutuk dalam hati. Pertanyaan macam apa lagi, nih?

"Ay?" panggil Erlangga ketika ia tak kunjung mendengar jawaban dari Ayara.

"Eh, i-iya. Boleh, kok, kak. Mau tanya apa?"

AYARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang