Ayara terbangun dari tidurnya dan melihat Bayu dan Laras duduk di kursi sebelah ranjangnya. Ia telah dipindahkan ke kamar rawat, dibantu dengan Rayyan dan Rania untuk mengurus administrasinya.
"Ma, Pa," panggil Ayara pelan. Dirinya masih merasa sangat mengantuk. Sepertinya dia memang benar-benar membutuhkan waktu untuk tidur saat ini, menggantikan malam-malam ketika ia menjaga Aryana sampai tak bisa tidur. "Mama sama Papa sudah lama datangnya?"
Bayu menatap jam tangannya sekilas. "Sekitar lima belas menit yang lalu."
Ayara mendesah lega. Setidaknya ia tidak membiarkan orang tuanya terlalu lama menunggu dia bangun. Dengan tubuh yang masih lemah itu, Ayara mencoba untuk duduk. "Aya sudah nggak papa, kok."
"Kenapa kamu bisa di sini?" tanya Laras.
"Aya tadi pingsan di sekolah, Ma. Kata dokter, Aya kecapekan sama kena maag akut."
"Ck!" Laras berdecak kesal. "Seharusnya kamu bisa jaga kesehatan kamu, dong! Masa jaga diri sendiri aja nggak bisa?"
Apa? Ayara terdiam. Benar-benar terdiam dan tak sanggup berkata apapun. Lidahnya kelu, hatinya sakit. Sakit yang ia rasakan ketika akan pingsan tadi jelas tak ada apa-apanya dengan ini.
"Kamu kenapa ngerepotin orang tua terus, sih, Ay?" tanya Laras lagi.
"Bukan Aya juga yang mau sakit, Ma," jawab Ayara, berusaha untuk membela dirinya.
"Makanya kamu jangan sibuk dengan band-band bodoh itu! Lihat, kan, sekarang jadinya? Kecapekan karena melakukan hal yang nggak berguna," imbuh Bayu.
Seketika, Ayara ingin lenyap dari dunia ini. Terlalu menyakitkan perkataan kedua orang tuanya ini. Ia kelelahan karena siapa? Menjaga Aryana. Ia terserang maag akut karena apa? Karena kedua orang tuanya tak pernah memperhatikan pola makannya.
Dan lihat sekarang? Orang tuanya malah menyalahkan dirinya yang tidak bisa menjaga kesehatannya sendiri. Juga menyalahkan hobi yang begitu ia sukai.
Seharusnya yang disalahkan di sini itu siapa?
Seharusnya yang bersalah di sini itu siapa?
Dirinya yang mau saja dilahirkan?
Jika ia bisa memilih, maka ia akan memilih untuk tidak dilahirkan saja sejak awal. Tetapi pilihan itu adalah satu-satunya hal yang tidak Ayara miliki saat ini. Pilihan yang ia punya hanyalah menerima perlakuan keluarganya dan mencoba untuk menjadi kuat.
Iya, kan?
🌹🌹🌹
Laras melihat jam tangannya dengan gusar. "Aryana sudah makan belum, ya?"
"Coba aja di telepon," jawab Bayu mencoba menenangkan.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam, sudah saatnya bagi Aryana makan dan meminum obatnya.
Ayara yang sedang menyuapkan makanannya sendiri hanya menatap Laras sedih. Angannya perlahan mulai membandingkan seberapa enak menjadi Aryana yang mendapatkan begitu banyak perhatian dari orang tuanya.
Laras segera mengambil ponsel, lalu menghubungi Aryana. "Halo, Sayang," panggil Laras begitu telepon diangkat.
"Kamu sudah makan?"
"...."
"Kok belum makan? Kamu harus makan, Nak, biar bisa cepat sembuh."
"...."
"Tapi kamu harus makan, Nak."
"..."
"Ya sudah, sebentar lagi Mama pulang, ya." Laras menutup teleponnya dengan ekspresi khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
AYARA [END]
Teen Fiction"I am matter." -Ayara- Tentang Ayara yang hidup di dalam keluarga toxic, yang selalu diperlakukan tidak adil, yang tak pernah dihargai. 🌹🌹🌹 "Seharusnya kamu bisa mencontoh kakak kamu." "Seharusnya kalian paham kalau perbandingan ini nggak akan me...