33

1.4K 215 0
                                    

Ayara terbangun dengan muka sembab dan mata bengkaknya. Setelah menangis semalaman, ia langsung jatuh tertidur. Pulas.

Rayyan menatap wajah Ayara dengan begitu lembut, tak terlepas sedikitpun meskipun tak dapat ia tutupi lelahnya terjaga semalaman. "Pagi," sapanya pelan.

Ayara tersenyum tipis. "Pagi," jawabnya. Ia menatap jam dinding yang telah menunjukkan pukul tujuh pagi. "Pulang dulu, gih."

"Nggak mau."

"Lo, kan, butuh istirahat juga, Ray."

"Gue nggak bisa ninggalin lo dengan kondisi seperti ini, Ay," jawab Rayyan bersungguh-sungguh.

"Apaan, sih, Ray? Gue bukan anak kecil," protes Ayara.

Rayyan menegakkan badannya. "Yang gue lihat, sih, lo nangis kayak anak kecil semalem."

Ayara sontak tertawa, tetapi tak memutuskan untuk membalas gurauan Rayyan.

Rayyan pun ikut tersenyum. Ini adalah tawa pertama yang Rayyan lihat dari Ayara sejak kemarin. Ada perasaan hangat yang ia rasakan ketika melihat gadis yang begitu ia sayangi tersenyum.

"Nggak usah keluarin senyum psikopat lo, ih!"

"Lo bilang gue psikopat?"

"Iya!"

"Kalau gue psikopat, udah gue suntik infus lo pake pembersih lantai semalem!"

"Anjir! Lo beneran psikopat, ya!"

"Kan, gue bilang 'kalau'!"

"Kalau lo bukan psikopat, lo pasti nggak bakalan mikir yang aneh-aneh!"

"Kalau gue psikopat, gue nggak cuma mikir aneh!"

"Tapi lo-"

"Sst!"

Pertengkaran mereka terhenti seketika begitu pasien yang juga berada satu kamar dengan Ayara protes.

"Maaf, Mas, Mbak. Ini rumah sakit. Bisa tolong diem, nggak?"

Baik Ayara maupun Rayyan sama-sama meringis. Mereka lupa jika bukan hanya ada mereka di kamar ini.

🌹🌹🌹

"Orang tua lo nggak dateng?" tanya Rania yang datang bersama dengan Bara.

"Dateng, kok," jawab Ayara tak acuh.

"Mana?" tanya Rania sambil menengok ke sana kemari.

"Udah pulang."

"Ha?" Rania melihat arlojinya. "Ini baru jam satu, Ay. Memang mereka dateng jam berapa?"

"Jam 10. Jam 11 pulang."

"Seriusan? Mereka sadar nggak, sih, anak mereka sakit karena apa?" protes Rania.

"Tau."

Rania menghela napas. Di sini Ayara yang tersiksa, tetapi mengapa malah dirinya yang merasa sesak?

Ayara menunduk sekilas lalu beralih menatap Rayyan.

Paham dengan arti tatapan Ayara, Rayyan pun berkata, "Bar, temenin gue makan, yuk! Laper." Iya, Ayara butuh waktu berdua saja dengan Rania.

"Oke," jawab Bara yang peka lalu beranjak mengikuti Rayyan.

Ayara tersenyum berterima kasih kepada Rayyan sebelum lelaki itu pergi.

"Lo bisa lepas topeng sok kuat lo itu sekarang," ujar Rania begitu Rayyan dan Bara sempurna keluar kamar.

Ayara tertawa getir. "Gue jadi orang gila aja, boleh, nggak?"

AYARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang