🌹Dan aku kembali memilih untuk tidak egois.🌹
🌹🌹🌹
Ayara memasuki coffee shop tempat janjiannya dengan Aryana sambil menyapukan pandangannya ke area tersebut.
Matanya menangkap sosok Aryana yang memakai seragam SMA dengan kardigan tosca di salah satu sudut kafe. Ia melihat ke luar jendela dengan tatapan kosong, masih belum menyadari kehadiran Ayara.
Ayara menelan berat salivanya. Gugup seketika menguasai dirinya.
Ini adalah kali pertamanya bertemu secara resmi dengan Aryana. Kali pertama setelah beberapa bulan yang berat bagi Ayara.
"Ar, sorry banget, gue telat," ucap Ayara sambil mengatur posisi duduknya. "Ada apa?"
"Gue udah putus dari Erlangga," ucap Aryana.
"Apa? Kenapa?" Gerakan Ayara terhenti seketika.
"Karena lo."
"Gue? Maksudnya?"
"Karena selama ini dia suka sama lo! Dan dia cuma jadiin gue sebagai alat supaya dia bisa lebih deket sama lo, Ay."
Mata Ayara melebar. "Ar, gue nggak tahu masalah itu."
"Berhenti pura-pura nggak tahu!" ucap Aryana dingin.
"Tapi gue beneran-"
"Lo seneng, kan?" potong Aryana.
"Se-senang? Kenapa bisa senang?"
"Karena akhirnya lo bisa melihat gue menderita."
"Sumpah, Ar! Gue nggak kayak gitu! Gue nggak senang ngelihat lo diginiin!"
"Nggak usah bohong, Ay. Lo memang udah dendam sama gue sejak gue ngefitnah lo nge-bully Cindy itu, kan?"
"Enggak, Ar. Gue nggak kepikiran untuk itu sama sekali. Gue nggak dendam apapun ke lo!"
Aryana mengehal napasnya sambil bergetar. Setetes air mata jatuh di wajahnya. "Karena lo, hidup gue hancur, Ay," ucapnya getir.
Ayara hanya menunduk dalam. "Sori, Ar, gue-"
"Cukup, Ay. Ternyata keputusan lo untuk pergi dari rumah, keputusan Mama dan Papa untuk nggak nganggap lo anak lagi, itu bener. Lo memang nggak selayaknya jadi adik gue."
Ayara sontak menatap Aryana lurus. Apakah hatinya sakit begitu mendengar perkataan Aryana? Iya, hatinya sakit. Sangat sakit sehingga tangannya harus mengepal erat untuk menahan tangisnya. Rahangnya mengeras untuk menguatkan dirinya sendiri.
Sudah berkali-kali ia meyakinkan dirinya bahwa ia lebih baik hidup sendiri dibandingkan harus terus hidup dalam kekangan orang tuanya. Begitupun dengan keluarganya yang merasa lebih baik dibandingkan dengan ada dirinya dulu. Mereka terlihat lebih bahagia dan 'utuh' tanpa kehadiran dirinya.
Namun mengapa? Mengapa rasa sakit itu masih terasa sama perihnya dengan ketika ia masih berada di rumah? Mengapa rasa sayang yang ia berikan kepada keluarganya malah terasa semakin menikam seperti ini?
"Gue benci lo, Ay," ucap Aryana sambil bangkit berdiri.
Ayara tetap diam. Tangannya masih terkepal kuat di bawah meja hingga kukunya memutih. Apakah sepantas itu dirinya untuk dibenci? Apakah semudah itu orang lain mengatakan hal yang menyakiti dirinya? Ia ingin, sangat ingin, untuk bisa bersikap seegois dan setidak peduli itu pada orang lain yang telah melukainya.
"Gue sayang sama lo, Ar. Juga Mama dan Papa."
Ayara ingin marah. Tetapi entah mengapa, malah kalimat itulah yang keluar dari mulut Ayara.
KAMU SEDANG MEMBACA
AYARA [END]
Teen Fiction"I am matter." -Ayara- Tentang Ayara yang hidup di dalam keluarga toxic, yang selalu diperlakukan tidak adil, yang tak pernah dihargai. 🌹🌹🌹 "Seharusnya kamu bisa mencontoh kakak kamu." "Seharusnya kalian paham kalau perbandingan ini nggak akan me...