28

1.4K 214 2
                                    

🥀"Kayaknya gue nggak pernah baik-baik aja, ya?" 🥀

-Ayara-

🌹🌹🌹

Gue ada di depan kamar.

Ayara mengernyit pelan begitu melihat notifikasi chat dari Rayyan yang masuk. Maksudnya kamar itu kamar rumah sakit ini? Tahu dari mana Rayyan jika dirinya sedang ada di rumah sakit i sementara Ayara tidak memberitahukan apapun? Entah ada berapa puluh telepon dan chat dari Rayyan yang ia abaikan begitu saja sebelumnya.

Kamar 205. Gue di depan kamar 205.

Ayara menatap kedua orang tuanya yang masih menatap Aryana dengan penuh kasih sayang. Sesak menghimpit di dadanya. Ia juga merasa iri pada Aryana yang bisa mendapatkan tatapan penuh kasih sayang itu dari orang tuanya.

Jika begini, sepertinya berjalan keluar sebentar adalah pilihan terbaik. Ia perlu menenangkan diri lagi.

***

Rayyan duduk di bangku koridor depan kamar Aryana dirawat sambil menatap ponselnya yang membuka chat-nya dengan Ayara. Chat-nya sama sekali tak dibalas oleh Ayara. Hanya dibaca.

Seandainya saja Ayara tahu seberapa khawatir dirinya tadi begitu tahu jika Ayara pergi bersama Erlangga.

Hingga detik ini, dirinya masih belum percaya jika Erlangga hanya ingin mendekati Ayara sekadar karena perasaan suka saja. Pasti ada hal lain yang diinginkan oleh pria itu. Terlebih karena hubungan antara SMA Bina Bangsa dan Persada International tak pernah baik. Namun Rayyan masih belum mengetahui apa tujuan Erlangga.

"Ehem."

Sebuah dehaman kecil mengalihkan tatapan Rayyan dari ponselnya.

Di hadapannya kini telah berdiri Ayara yang masih berseragam sekolah.

"Gue telepon nggak diangkat, chat nggak di bales," protes Rayyan langsung begitu melihat Ayara.

"Cerewet!" sahut Ayara pelan sambil duduk di sebelah Rayyan.

Rayyan balas dengan kekehan kecil. Mendengar Ayaraa mengomel seperti ini selalu terasa menyenangkan baginya. "Gimana Aryana?"

"Udah stabil. Cuma masih perlu istirahat total aja sampai penyakit tipesnya benar-benar sembuh."

Rayyan menatap Ayara sambil mengangguk pelan.

"Lo tau gue di sini dari siapa?"

"Itu bukan pertanyaan penting, Ay," jawab Rayyan. "Lo nggak papa?"

"Kenapa, sih, lo hobi banget tanya gue nggak papa? Gue sampe bosen jawabnya."

Rayyan mengangkat kedua alisnya sambil tetap memandang Ayara. "Karena gue tau lo kenapa-kenapa, Ay."

Ayara balik menatap Rayyan sambil menghembuskan napasnya dengan bergetar. Suasana berubah seketika. "Kayaknya gue nggak pernah baik-baik aja, ya?" Setetes air mata tiba-tiba jatuh di wajah gadis itu. Ia mengalihkan pandangannya dari Rayyan dan menatap lurus ke depan. "Semakin ke sini, gue semakin nggak tahu gimana caranya supaya bisa ngerasain kasih sayang dari orang tua gue, Ray."

Rayyan menatap dalam-dalam wajah Ayara itu. Tak menyela barang sedikitpun kesah dari Ayara.

"Apa seenggak berharga itu gue? Apa seenggak layak itu gue jadi seorang anak? Kalau iya, terus untuk apa gue hidup, Ray? Untuk apa gue ada di dunia ini kalau orang terdekat gue aja nggak suka sama kehadiran gue?"

Rayyan mengusap lembut air mata Ayara yang mengalir semakin deras. Ia kemudian menggerakkan dagu Ayara dengan jari telunjuknya hingga menghadap ke wajahnya. "Ay, denger gue baik-baik," ucapnya dengan nada berat namun lembut. "Lo berharga, Ay. Lo berharga bagi gue, bagi Bunda, juga bagi Exquisite. Lo berharga atas apa adanya lo. Jadi jangan pernah merasa diri lo nggak berharga. Karena lo berharga bagi orang yang layak mendapatkan lo."

AYARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang