Sama sekali tak ada yang tahu tentang apa yang hendak Ayara lakukan semalam. Tak ada yang tahu tentang badai emosi yang dirasakan oleh gadis kuat itu. Semua Ayara simpan rapi di dalam benak dan batinnya. Biarlah, biarlah dirinya sendiri yang mengetahui semua ini. Toh, juga tak ada keluarganya yang peduli.
Ayara hanya duduk diam di mobil yang dikemudikan oleh Bayu. Ini adalah kali pertama dirinya diantar oleh ayahnya setelah ia masuk SMA. Ia masih merasakan pening akibat menangis di kamar mandi itu serta tak bisa tidur semalaman. Siapa pula yang masih bisa tidur nyenyak di rumah sakit?
Ia telah mencoba berbagai posisi agar bisa tidur dengan nyaman, tetapi hasilnya nihil. Mau posisi apapun, dirinya tetap tak bisa tidur. Tidur dengan posisi membungkuk ke kasur Aryana membuat punggungnya langsung terasa sakit, tidur dengan posisi duduk membuatnya berkali-kali nyaris jatuh, tidur dengan posisi badan merosot ke sandaran kursi malah membuat dirinya kelewat merosot, tidur di lantai sudah jelas tidak mungkin.
Jadi biarlah, biarlah dirinya terjaga semalaman.
"Jika kamu lebih berusaha waktu SMP, maka kamu bisa satu sekolah dengan Aryana dan Papa antar tiap hari ke sekolah," ucap Bayu.
Keping demi keping dirinya sedang ia susun saat ini. Ucapan ayahnya tak lagi terasa menyakitkan. Ia sudah tak lagi ingin mempedulikan asumsi keluarganya. Hanya dia yang mengerti apa yang terbaik untuk dirinya sendiri.
"Papa kecewa sama kamu," lanjut Bayu.
Ayara tetap diam. Toh, memang bukan jawaban yang diinginkan oleh ayahnya.
Setelah perjalanan singkat yang terasa panjang, Ayara akhirnya tiba di sekolah. "Makasih, Pa," ucap Ayara sambil mencium tangan ayahnya, seperti yang biasa ia lakukan juga.
"Janggan malu-maluin keluarga kita. Belajar yang rajin dan berhenti dari ekskul band nggak jelas itu," pesan Bayu.
Ayara hanya tersenyum sekilas, lalu turun dari mobil.
Satu masalah di pagi harinya akhirnya berlalu.
🌹🌹🌹
"Ay, kantin, yuk!" ajak Rania. "Ada Rayyan, Bara, sama anak Geng Kapuk lain."
"Oke," jawab Ayara singkat sambil menyelesaikan menyalin catatan dari papan tulis.
"Oke? Tumben lo langsung mau?"
"Hah?" Ayara menghentikan kegiatan mencatatnya dan mengalihkan pandangannya ke Rania.
"Iya, biasanya lo, kan, jarang mau diajak ke kantin," jawab Rania. Matanya berubah menyelidik seketika. "Apa jangan-jangan karena Rayyan, ya? Lo udah baikan sama dia, kan? Apa bahkan lo udah terima dia jadi pacar lo?"
Ayara reflek memukul dahi Rania keras. "Kalau bikin gosip jangan kebangetan! Gue memang laper, nih!"
Rania hanya meringis menahan sakit sambil mengusap dahinya yang sedikit memerah. Pukulan Ayara sama sekali nggak pakai hati, penuh dengan tenaga!
"Jangan macem-macem makanya!"
Memang jarang sekali Ayara mengiyakan ajakan Rania untuk makan di kantin. Tidak lapar, alasannya. Padahal sebenarnya dia hanya ingin menghemat uangnya dengan mengurangi sebanyak mungkin pengeluaran. Setelah tidak bernyanyi lagi di kafe milik Dhanny, maka ia tak lagi memiliki pemasukkan. Ia harus bertahan dengan uang tabungannya selama mungkin.
Namun kali ini perut Ayara benar-benar lapar. Terakhir ia makan adalah tadi malam setelah dibelikan oleh Rayyan. Tadi pagi juga ia tak sempat makan, juga tak ada jaminan sore nanti akan bisa makan. Makanan di rumah sakit harganya terhitung mahal untuk kantongnya, jadi satu-satunya kesempatan baginya untuk makan adalah saat ini. Bersama dengan Rania dan Geng Kapuk lain, termasuk Rayyan.
KAMU SEDANG MEMBACA
AYARA [END]
Teen Fiction"I am matter." -Ayara- Tentang Ayara yang hidup di dalam keluarga toxic, yang selalu diperlakukan tidak adil, yang tak pernah dihargai. 🌹🌹🌹 "Seharusnya kamu bisa mencontoh kakak kamu." "Seharusnya kalian paham kalau perbandingan ini nggak akan me...