19

1.7K 255 4
                                    

Tentu saja Ayara kembali tidak makan malam ini. Perlakuan Ibunya masih jelas terasa dingin. Dia tersiksa dengan perang dingin ini. Mau sampai kapan disudahi? Atau dari mana ia tahu jika perang dingin ini sudah berakhir?

"Mungkin besok," ucap Ayara pelan sambil mengelus perutnya yang kembali terasa perih. Bahkan bait-bait puisi yang kemarin malam ia tulis pun tak mampu mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit ini.

Ia sempat makan siang tadi, sempat mengisi perutnya. Tetapi makan sehari sekali selama beberapa hari bukanlah hal yang baik untuk dilakukan, bukan? Dan itu benar-benar menyiksa fisiknya.

Sebersit ide terlintas di benaknya, yaitu meminum obat maag lalu mencari makan di luar. Yang murah-murah saja, yang penting cukup untuk mengisi perutnya.

Segera ia menyambar jaketnya dan diam-diam berjalan keluar rumah.

🌹🌹🌹

"Ayara?"

Gadis itu menoleh ke arah seseorang yang memanggilnya ketika sedang memilih obat maag di rak minimarket.

Seorang pria berbadan tinggi dengan hoodie hitam besar dan ripped jeans telah berdiri di sampingnya. "Kak Erlangga?"

"Hai," sapa Erlangga ringan. Ia memasukkan kedua tangannya ke saku hoodie. "Nggak nyangka ketemu di sini, ya?"

Ayara tersenyum kecil. Apa tidak sengaja yang dimaksud kali ini itu benar-benar tidak sengaja? Karena yang ia tahu, pertemuan pertama dan keduanya dengan Erlangga adalah sebuah kesengajaan yang dibuat seolah tidak sengaja.

"Lo adiknya Aryana, kan?" tanya Erlangga.

"Kok lo tau?"

"Gue satu sekolah sama Aryana dulu. Pas SMP."

"SMP?" Itu berarti ....

"Yang artinya kita sempat satu sekolah dulu." Erlangga membantu menyimpulkan pikiran Ayara.

"O-oh."

"Gue sering bolos, jadi mungkin itu alasan kenapa lo nggak pernah lihat gue."

"Oh." Sungguh demi apapun itu, Ayara bingung harus bereaksi apa sekarang. Bersikap senang, kah? Atau bersikap biasa saja? Bersikap biasa saja itu bersikap seperti apa?

Namun Erlangga malah tertawa kecil melihat ekspresi Ayara yang kebingungan itu. "Santai aja, Ay," ujarnya. "Memang muka gue semenyeramkan itu, ya?" Ia menunjuk wajahnya yang sedang tertawa ramah.

Ayara pun ikut tertawa. "Iya."

"Makasih, lho," balas Erlangga dengan muka yang ia buat seolah tersinggung.

Mereka larut dalam sebuah tawa singkat. Tawa yang entah bagaimana bisa dengan begitu mudah muncul.

"Btw, lo tau dari mana kalau gue adik Aryana?" tanya Ayara setelah mereka selesai tertawa.

"Gue ngerasa pernah lihat lo aja gitu. Ternyata waktu SMP dan lagi ngobrol bareng Aryana. Lagian lo, kan, cukup aktif di sekolah. Sering ikut lomba dan juara, jadi nggak asing."

"Hah, seriusan? Itu, kan, sudah tiga tahun yang lalu."

Erlangga mengangkat bahunya sekilas. "Otak gue kadang berfungsi dengan baik," guraunya.

Ayara hanya menggeleng pelan sambil tertawa.

Melihat tawa Ayara membuat Erlangga ikut tersenyum tanpa ia sadari.

"Lo jangan senyum-senyum gitu, Kak. Serem, anjir," protes Ayara ketika melihat senyum Erlangga.

Erlangga sontak tertawa. "Lo bener-bener unik, ya. Cuma lo yang bilang senyum gue serem. Cewek lain pada melting nggak jelas sama senyuman gue."

AYARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang