26

1.4K 229 10
                                    

🥀 Pada akhirnya, mereka tak peduli jika aku peduli. Karena yang mereka pikirkan hanyalah tentang diri mereka sendiri. Mereka egois, tetapi balik berteriak aku egois. Apakah itu adil? 🥀

🌹🌹🌹

Ayara sedang menunggu angkot di seberang sekolahnya sambil asyik memainkan ponsel dan mendengarkan lagu yang berputar ke earphone.

"Lo nggak perlu ngehindar dari gue lagi." Sebuah tangan tiba-tiba menarik sebelah earphone Ayara.

"Kak Erlangga?"

Erlangga tersenyum sekilas, lalu menempelkan sebelah earphone Ayara yang tadi dilepasnya itu ke telinganya.

Lagu She Used to be Mine dari ponsel Ayara itu mengalun lembut, mengisi suasana sore bagi mereka berdua.

"Kenapa tiba-tiba menghindar?" tanya Erlangga. Mereka kini sama-sama menatap lurus ke jalan, menghindari tatapan mata.

"Gue nggak meng-"

"Ay, lo jelas-jelas menghindar dari gue."

Ayara terdiam. Ia tak tahu lagi harus beralasan apa.

"Kenapa?" tanya Erlangga pelan. "Gue berbuat salah, ya?"

Ayara mengangkat ponselnya lalu menekan tombol pause. Lagu pun berhenti mengalun dari ponsel Ayara, membuat keheningan antara mereka semakin menjadi.

Erlangga pun ikut larut dalam keheningan ini. Ia setia menunggu jawaban dari Ayara.

"Gue cuma butuh waktu," ucap Ayara akhirnya.

"Untuk?" Erlangga masih menatap lurus jalan raya di depannya. Jalanan itu ramai oleh kendaraan yang berlalu-lalang, namun entah mengapa baginya terasa sepi. Sunyi.

"Banyak hal."

Erlangga melirik sekilas ke arah Ayara, lalu kembali memandang ke depan. "Apa gue termasuk ke dalam banyak hal itu?"

"Mungkin."

"Ay, gue nggak tahu masalah apa yang sedang lo pikirkan saat ini. Gue juga nggak tahu tentang apa yang lo rasain sama masalah-masalah lo itu. Tapi gue peduli, Ay. Gue peduli sama lo. Gue nggak mau lo murung kayak gini."

Ayara sontak menoleh ke arah Erlangga. Apa maksud ucapannya ini?

"Gue suka sama lo, Ay." Erlangga menatap Ayara dalam-dalam.

Deg. Ayara tak mampu berkata apa-apa. Terlalu terkejut untuk semua ini.

"Gue nggak bisa lihat lo diem gini, Ay. Lo kelihatan murung, kelihatan sedih. Nggak kayak lo biasanya." Gue nggak bisa lihat lo menderita, Ay, batin Erlangga di akhir kalimatnya.

Ayara menatap balik Erlangga. Apakah terlihat semenyedihkan itu hidupnya bagi orang-orang di sekitarnya.

"Gue mau lihat lo tertawa, Ay. Tersenyum kayak biasanya," lanjut Erlangga. "Dan gue nggak akan biarin siapapun merenggut senyum itu."

Ayara mengerjap cepat. Nggak, semua ini terlalu cepat baginya. Terlalu banyak kejadian yang terjadi secara beruntun, membuatnya tak siap dengan apa yang ada di hadapannya saat ini.

Sebuah telepon masuk ke ponsel Ayara, membuat perhatian mereka kini teralihkan pada ponsel Ayara yang bergetar.

Mama.

Nama itu muncul di layar Ayara.

Ayara segera mencabut earphone-nya yang masih ia dan Erlangga gunakan itu, lalu mengangkat teleponnya ke dekat telinga.

AYARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang