Cakra diam beberapa saat, kedua matanya menatap lamat-lamat Gilang. "Sampai kapan lo mau ngalah terus? Bukannya itu menyakitkan?"
Gilang menghela napasnya pelan, "gue bukannya ngalah, gue cuma menghargai pilihan Bella. Dia suka sama Jayden bukan gue, lo pikir gue bisa apa?"
"Gue pikir, adanya Luna bisa kesempatan yang bagus buat lo," tutur Cakra dengan hati-hati.
Gilang mengeraskan rahangnya mendengar penuturan Cakra, "mengambil kesempatan dalam kesempitan? Lo pikir gue sepicik itu?"
"Gue emang menghapkan mereka berpisah, tapi bukan berarti gue akan buat mereka berpisah. Sesuai dengan perjanjian gue sama Jayden, gue hanya akan ngerebut Bella dari Jayden kalau dia nyakitin atau nyampakin Bella," lanjut Gilang dengan suaranya yang mulai memberat.
Cakra mengangguk pasrah mendengarnya, "gue ngerti. Tapi ngelihat lo yang selalu ngerasain sakit saat-"
"Cukup Cak, sebenarnya apa tujuan lo bahas ini? Lo mau menghasut gue?" potong Gilang dengan cepat.
Cakra menghembuskan napasnya kasar lalu menatap serius Gilang.
"Gue, lo sama Bella tumbuh bersama sejak kecil. Gue lihat sendiri pakai mata kepala gue, gimana lo yang nyimpen perasaan ke Bella selama bertahun-tahun tanpa ada keberanian buat ngungkapinnya. Sampai pada akhirnya, saat kita dewasa Bella suka sama cowok lain, terus cowok yang dia suka itu jadi bagian dari kita. Lo pikir gimana perasaan gue?" jelas Cakra dengan suara yang ia usahakan senormal mungkin, ia tidak ingin ada orang lain yang mendengar percakapan mereka.
"Lo pikir gue nggak ngerasa sakit? Gue pengen sahabat gue bahagia, gue udah bahagia sama pilihan gue sekarang, begitupula dengan Bella. Terus gimana sama lo?" lanjut Cakra.
Gilang mengerjapkan kedua matanya perlahan, pikiran buruk yang sebelumnya bersarang diotaknya menguap begitu mendengar penjelasan dari Cakra.
"Kita udahin pembicaraan ini. Ayo balik ke kantin, pesanan kita pasti udah datang," ujar Gilang yang hendak mengalihkan perhatian temannya.
Namun nampaknya Cakra cukup peka. Maka dari itu, ia dengan cepat menarik lengan Gilang untuk menahan pria itu melarikan diri dari pembicaraan mereka.
"Bilang sama gue, sampai kapan lo mau berhenti nunggu Bella? Lo nggak mungkin nunggu dia selamanya kan?" desak Cakra, memaksa Gilang menjawab pertanyaannya.
Gilang diam membisu mendengar pertanyaan Cakra. Sampai kapan? Ia juga tidak tahu sampai kapan ia akan menunggu Bella, ia sudah tidak memiliki sisa ruang dihatinya untuk orang lain, ia sudah membiarkan Bella mengambil semuanya tanpa sisa.
Jadi jika ia ditanya sampai kapan akan menunggu Bella, maka jawabannya adalah tidak akan pernah. Melepaskan Bella sama saja seperti melepaskan nyawanya secara paksa.
Gilang tidak tahu jawaban apa yang harus ia berikan pada Cakra, ia hanya bisa mengatakan. "Gue akan berhenti nunggu saat waktunya tiba, dan gue tidak tahu kapan waktu itu datang."
Hanya itu, hanya itu jawaban yang bisa Gilang berikan.
Gilang menepuk pelan pundak Cakra yang menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Cakra, lo itu sahabat gue. Lo orang yang paling ngerti gue dengan baik, gue tahu kalau lo ngerasa khawatir sama gue. Tapi gue minta, tolong biarin gue ngikutin jalan yang udah gue pilih. Entah itu bakal buat bahagia atau sengsara nantinya, tolong hargai keputusan gue," ujar Gilang yang meminta pengertian dari Cakra.
Gilang berusaha menampilkan senyum terbaiknya lalu kemudian memukul kepala belakang Cakra cukup kuat, membuat pria itu menatap tajam dirinya.
"Ayo bersikap kayak biasanya, anggap aja kita tidak pernah bicarain ini sebelumnya," ujar Gilang dengan cepat, menghalau Cakra yang baru saja akan membuka mulutnya.
Cakra menghela napasnya kuat-kuat. Baiklah ia akan melakukan apa yang diminta oleh Gilang, semuanya, ia akan melakukan semua.
"Oke, kalau itu yang lo mau. Ayo balik ke kantin, lo yang traktir gue kan?" ujar Cakra dengan nada cerianya, ia lalu melangkahkan kakinya terlebih dahulu, meninggalkan Gilang yang masih berdiri ditempatnya.
"Makasih banyak udah khawatirin gue, setidaknya dengan begini gue merasa kalau hidup gue masih berharga."
Gilang kemudian melangkahkan kakinya menyusul Cakra yang sudah berada jauh di depannya.
.
"Gue nggak suka sama dia," ujar Elga sembari memasukkan buku pelajarannya ke dalam loker.
Bella mengeryitkan dahinya, ia tak mengerti siapa orang dibicarakan temannya itu.
"Siapa orang yang lo maksud?"
Elga menutup pintu lokernya sedikit kuat hingga menimbulkan suara bedebum.
"Luna."
"Emangnya kenapa?" tanya Bella keheranan.
"Nggak tahu, nggak suka aja pokoknya."
Bella menggelengkan kepalanya mendengar perkataan Elga, "jahat banget, lo benci orang lain tanpa alasan?"
"Tolong koreksi perkataan lo itu ya. Gue nggak benci sama dia, gue cuma nggak suka sama dia. Eh, tapi kayaknya gue punya alasan kenapa gue nggak suka sama dia deh," ralat Elga yang mengoreksi perkataannya sebelumnya.
"Oh ya? Apa?"
"Dia terlalu pendiam tahu nggak, dia bahkan hampir nggak pernah ngomong. Padahal nggak bisu juga," ujar Elga pada akhirnya.
Bella menggeleng kecil karena Elga lagi-lagi membahas masalah itu lagi, "itu kan karena dia pernah menderita fobia sosial."
"Enggak-enggak, lo harus lihat matanya saat ngomong sama dia," sanggah Elga.
Bella memiringkan kepalanya tanda tak paham dengan apa yang temannya itu bicarakan, memang apa yang salah dengan mata Luna?
"Menurut pengamatan gue selama ini, dia itu selalu menatap remeh orang lain."
"Bukannya itu cuma asumsi lo saja? Gue nggak ngerasa gitu kok," ujar Bella namun malah dibalas tatapan jengah oleh Elga.
"Itu karena lo tidak pernah perhatiin Luna. Lagipula bukan Cuma gue yang beranggapan kayak gitu, banyak siswa yang bilang kalau dia terlalu... Yah, arogan," jelas Elga panjang lebar.
"Kalau memang benar, ya biarin aja kali. Lagian nggak ada urusannya sama kita," ujar Bella yang berusaha menyadarkan pikiran buruk Elga.
Elga menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kalau dipikir-pikir apa yang dikatakan Bella memang benar. Kenapa ia harus memikirkan gadis ular itu? Lagipula tidak ada urusannya dengannya, kurang kerjaan sekali dirinya ini.
"Benar juga sih," gumam Elga.
Bella mengangguk kecil karena berhasil menyadarkan Elga. Namun hanya berlangsung beberapa saat saja, karena detik berikutnya temannya itu kembali berseru.
"Oh iya, gue baru ingat! Ada sesuatu yang mau mau gue bilang ke lo!" seru Elga.
"Apa?" tanya Bella ogah-ogahan.
"Gue rasa mulai sekarang lo harus hati-hati deh sama Luna."
To Be Continue.
Sorry for typo(s).
Suka banget sih ngundur jadwal update, dasar aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUWET [END]
Teen Fiction[HARAP FOLLOW SEBELUM MEMBACA, TERIMAKASIH] [BELUM DI REVISI] Warning! 18+ Murder scene, strong language, (no sex scene) Harap bijak dalam memilih bacaan Summary: Jayden dan Bella adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Namun hubungan mereka...