"Luna nggak memiliki fobia atau apapun itu, semuanya cuma omong kosong. Dia bahkan udah sembuh sejak lama," lanjut Elga.
Kedua mata Bella perlahan melebar, jemarinya yang sempat digigitnya ia turunkan.
"A-apa? Tapi, tapi itu nggak mungkin."
"Lo nggak percaya sama gue? Gue bahkan dengar sendiri saat Luna lagi bahas penyakit palsu dia itu sama Tantenya lewaat telepon."
Elga tidak peduli dengan konsekuensi yang akan ia terima setelah ini. Ia benar-benar tidak peduli, ia perlu memberitahu Bella perihal masalah ini. Menepikan perasaannya pada Jayden, Elga juga tidak tega melihat Bella yang terus menderita ke depannya, karena ia jika terus menutup mulut maka Jayden akan benar-benar jatuh pada pelukan Luna.
"Kalau apa yang lo bilang itu emang benar, terus apa tujuan Luna bohongin kita selama ini?" tanya Bella setelah sadar dari keterkejutannya.
Elga tertawa sinis mendengarnya, "lo masih ngak paham juga? Tentu saja karena Luna mu ngerebut Jayden dari lo, Bella!" serunya.
Bella tersentak mendengar seruan Elga yang ditujukan padanya. Kedua matanya bergerak acak, pikirannya melayang kemana-mana, terlalu banyak pertanyaan yang bersarang di otaknya hingga ia tidak memilih barang satu pun. Apa yang dikatakan Elga benar, jika iya maka ia sangat bodoh karena tidak menyadari hal tersebut.
Bella menegakkan tubuhnya sembari meringis kesakitan sebab pundaknya dicengkeram oleh Elga.
"Jadi gue peringatin sama lo, Bella. Jangan pernah biarin Jayden ada di dekat Luna, atau dia nggak akan pernah balik ke peluknan lo lagi."
.
Jayden menepuk pelan punggung bergetar Luna dalam pelukannya, gadis ini menangis semakin kuat setelah jasad papanya di semayamkan.
Jayden tahu apa yang dirasakan Luna meskipun berbeda dengan kondisinya dulu. Ia sama sekali tidak memiliki rasa sayang kepada papanya, jadi ia tidak merasa sedih saat pria itu dimakamkan. Tapi Luna sangat menyayangi papanya, jadi ia pasti merasa terpukul karena kehilangan orang yang di sayanginya.
"Ini semua saah gue, gue udah buat papa meninggal, Jay. Harusnya gue nggak maksa papa buat cepat-cepat pulang, gue salah Jay, gue yang udah buat papa–"
Jayden menghentikan Luna yang mulai meracau, “hei, hei. Calm down, jangan panik kayak gini."
Jayden menangkupkan wajah Luna, mengusap perlahan air mata yang mengalir di pipinya, "dengerin gue."
"Lo ngak bunuh papa lo, papa lo meninggal karena itu memang takdir yang Tuhan berikan padanya. Tuhan sayang sama papa lo, maka dari itu ia diminta kembali di sisi-Nya. Jadi berhenti nyalahin diri lo sendiri, om Herman pasti nggak suka lihat lo kayak gini.”
Jayden menatap dalam pada kedua manik basah Luna, mencoba meyakinkan bahwa apa yang dikatakannya memanglah benar.
Luna kembali masuk ke dalam pelukan Jayden, mengeluarkan seluruh rasa sedihnya disana, "maafin gue."
" Lo ngak perlu mina maaf sama gue."
Luna sedikit menjauhkan wajahnya dari dada Jayden dan mendongakkan kepalanya menatap pria tersebut.
"Jay, tolong jangan tinggalin gue. Gue ngggak bisa jauh dari lo, gue udah nggak punya siapa-siapa selain lo dan mama. Tolong jangan tinggalin gue, Jay. Gue mohon sama lo." Mohon Luna.
Lidah Jayden terasa kelu untuk menjawab perkataan Luna, tapi raut wajah sedih itu membuatnya tak memiliki pilihan lain selain menganggukkan kepalanya.
"Iya, gue nggak akan ninggalin lo. Jadi, jangan nangis lagi, hm?"
Luna menganggukkan kepalanya sebagai balasan, ia kembali memeluk Jayden namun kali ini berbeda, pria itu membalas pelukannya yang membuat seulas senyum terukir di bibirnya.
Luna memang bersedih karena papanya meninggal, tapi ia juga merasa sangat bahagia karena akhirnya Jayden berada didekatnya.
‘Makasih banyak, papa. Kalau aku tahu dengan kepergian mu bisa membuat Jayden lebih dekat denganku, seharusnya aku melakukannya sejak dulu,’ batin Luna.
To Be Continue.
Sorry for typo(s).
KAMU SEDANG MEMBACA
RUWET [END]
Novela Juvenil[HARAP FOLLOW SEBELUM MEMBACA, TERIMAKASIH] [BELUM DI REVISI] Warning! 18+ Murder scene, strong language, (no sex scene) Harap bijak dalam memilih bacaan Summary: Jayden dan Bella adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Namun hubungan mereka...