36. Break.

26 5 0
                                    

"Aku juga minta maaf karena nggak bisa kasih kabar sama kamu. Ponselku lowbat dan aku nggak sempat ngisi juga, aku nggak bisa ninggalin Luna dari kemarin," jelas Jayden.

Senyum yang sebelumnya terlukis di bibir Luna melenyap dan digantikan dengan raut wajah tak terbaca.

"Luna? Jadi dari kemarin kamu ada di rumah dia?"

Jayden mengangguk singkat sebagai balasan, "iya habis ini aku juga harus balik kesana, kondisi Luna benar-benar me–"

"Kalau gitu kamu bisa pergi sekarang," potong Bella dengan cepat.

Jayden mengerjapkan matanya beberapa kali, sedikit terkejut karena mendengar kalimat sarkas dari sang kekasih.

"Apa?"

"Kamu dengar itu dengan baik, aku bilang pergi sekarang. Luna pasti sangat butuh kamu kan?" ujar Bella dengan nada sinis.

"Kamu serius, sayang?" tanya Jayden dengan kedua mata menyipit, pasalnya tak pernah sekalipun kekasihnya itu berbicara dengan nada seperti itu padanya.

"Iya, silahkan pergi dan bawa kuenya. Aku nggak butuh kue itu." Bella mengembalikan secara paksa kue yang diberikan Jayden padanya.

"Sayang, kamu kenapa? Apa aku buat kesalahan lagi?" tanya Jayden yang tidak mengerti dengan situasi yang terjadi diantara ia dan sang kekasih.

Bella menatap tak percaya pada kekasihnya itu, "nggak, kamu nggak buat kesalahan apapun. Aku cuma pengen tidur, dan kamu pasti pengen cepat ketemu sama Luna kan? Kalau gitu pergi, kamu bisa pergi sekarang," ketusnya.

Jayden meletakkan kuenya di lantai dan menahan lengan Bella yang hendak memasuki rumah.

"Sayang, apa aku buat kesalahan? Kalau gitu bilang, aku– aku bisa memperbaikinya."

"Kamu nggak perlu memperbaikinya karena semua sudah rusak."

Bella menepis kuat tangan Jayden dari lengannya,” kepercayaan ku, kamu merusaknya lagi Jay. Kamu bahkan menghancurkannya," lanjutnya.

Jayden masih berdiri kaku ditempatnya, ia tidak paham maksud dari perkataan Bella.

"Kamu masih nggak paham juga?!" seru Bella yang dibalas gelengan lemah oleh Jayden. Sungguh, ia benar-benar tidak paham maksud dari perkataan sang kekasih.

"Udahlah, aku capek, lebih baik kamu pergi dari sini. Temui aja Luna, kamu lebih mentingin dia daripada aku kan?"

Kedua mata Jayden berkedip cepat begitu paham apa yang sedang dibicarakan sang kekasih.

"Tunggu, Luna? Jadi kamu cemburu sama dia?" tanya Jayden namun tak mendapat balasan apapun dari kekasihnya.

"Kamu serius sayang? Kamu cemburu sama Luna?" ulang Jayden terselip nada mengejek.

Bella menyipitkan matanya tajam mendengar kalimat tersebut, "apa kamu pikir aku lagi ngelawak? Kamu nganggap perasaanku lelucon?"

"Kamu kenapa sih Bell? Kenapa kamu tiba-tiba marah kayak gini? Kamu berubah tahu nggak," kata Jayden yang tak mengerti kenapa kekasihnya bertingkah aneh hari ini.

"Aku? Aku berubah? Yang ada sekarang kamu yang berubah Jay, kamu selalu lebih mentingin Luna dibandingin sama aku, kamu itu sadar nggak sih?!"

"Sayang, berapa kali aku bilang, aku nggak pernah memprioritaskan Luna diatas kamu. Aku cuma jalanin amanah yang om Herman kasih ke aku buat jaga anaknya. Luna itu lagi sakit Bel, harusnya kamu ngerti itu," tutur Jayden berusaha memberikan penjelasan pada kekasihnya tersebut.

"Selama ini aku selalu berusaha ngerti, aku selalu berusaha maklum sama kamu yang berniat bantu Luna dengan tulus. Tapi nggak buat Luna, aku ngerasa kalau dia sengaja jadiin penyakitnya sebagai alasan buat curi perhatian kamu dari aku."

Jayden menatap tak percaya pada kekasihnya yang mengucapkan hal tersebut.

"What the hell? Kamu serius ngomong kayak gitu Bell? Kenapa kamu jadi berburuk sangka kayak gini?"

Bella mengacak surainya dan menghela napas kasar, "aku nggak berburuk sangka, tapi itu emang faktanya! Jay, tolong buka mata kamu!"

"Harusnya kamu yang buka mata Bella, kamu udah terbutakan api cemburu sampai-sampai mata hati kamu tertutup!" Jayden tanpa sadar menaikkan nada suaranya untuk pertama kalinya pada sang kekasih.

Bella membuka mulutnya tak percaya, pandangannya mulai buram karena air mata, "kamu nggak percaya sama aku?" tanyanya dengan suara serak.

"Ya, karena apa yang kamu bicarain itu konyol! Bella, kamu harusnya kayak dulu, pacar aku yang dulu–"

"Jangan pernah sebut aku pacar kamu. Kamu bahkan nggak lihat aku sebagai manusia lagi sekarang." potong Bella sebelum kekasihnya itu menyelesaikan kalimatnya.

Jayden tak dapat berkata-kata mendengarnya, "sayang–"

"Aku mau kita break." potong Bella untuk kesekian kalinya.

Tubuh Jayden menegang mendengar keputusan sepihak dari kekasihnya tersebut.

"A-apa? Sayang, kamu sadar sama apa yang kamu bilang barusan? Kamu becanda, kan?"

Bella menggelengkan kepalanya kuat-kuat, ia mengapus air mata yang turun dipipinya dengan kasar.

"Aku sangat-sangat sadar mengatakannya, aku mau kita break dan saling mengintropeksi diri."

Jayden menggelengkan kepalanya kuat-kuat, ia berusaha menggenggam tangan Bella, namun kekasihnya itu lebih dahulu menjauhkannya.

"Aku, aku nggak mau. Bella sayang, kita bisa bicarain ini baik-baik, kita nggak perlu–"

"Tapi aku perlu!" jerit Bella, kedua air matanya mulai turun deras membasahi kedua pipinya yang memerah.

"Aku perlu waktu sendiri, jadi mari saling nggak bertemu selama beberapa waktu ke depan," lanjutnya.

Bella segera masuk kedalam rumah, dengan cepat menutup pintu rumahnya dan menguncinya dari dalam, tidak memberikan akses sekecil apapun pada Jayden untuk masuk kedalam rumahnya.

"Sayang, dengarin aku dulu! Aku nggak mau kita break! Sayang! Aku mohon dengarin aku dulu!" seru Jayden sembari berusaha membuka pintu jati didepannya, namun percuma saja karena pintu tersebut sudah dikunci oleh kekasihnya itu.

"AGGHH!!!" teriak Jayden yang merasa putus asa.

Tubuh Bella merosot ke lantai karena tidak kuat menahan bobotnya. Kedua tangannya menutup kedua telinganya erat-erat, berusaha menulikan pendengarannya dari teriakan Jayden di luar sana.

Air mata terus berlomba-lomba turun dari kedua pelupuknya kala rasa sakit di hatinya semakin menjadi, rasanya sangat menyakitkan.

Bella sangat mencintai Jayden tapi ia tidak bisa merasakan sakit ini lebih lama lagi, setidaknya dengan melepaskan Jayden mungkin bisa membuat hatinya lebih baik setelah ini, begitu pikirnya.

"Aku minta maaf."

Dibalik pintu itu, dua insan dengan perasaan yang sama tengah menangis sebab luka yang mereka torehkan satu sama lain.

To Be Continue.

Sorry for typo(s).

RUWET [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang