38. Electric Shock.

30 5 0
                                        

"Jika Tuhan tidak menakdirkanku dengannya, maka aku bisa membuat takdirku sendiri."

_Stevani Arabella_

"Lo suka sama Jayden kan? Apa gue perlu kasih pelajaran buat lo juga?"

Kedua mata Elga membulat mendengar pernyataan tersebut, napasnya tercekat begitupula dengan lidahnya yang terasa kelu untuk sekedar menjawab.

Bella tersenyu miring melihat raut terkejut yang begitu ketara di wajah Elga, "lo kelihtannya kaget banget? Lo nggak nyangka ya kalau gue tahu." tanyanya.

"Se– sejak, kapan?" tanya Elga setelah kembali mendapatkan suaranya.

"Sejak pertama kali gue kenalin lo sama Jayden," ujar Bella dengan nada datar begitu pula dengan wajahnya.

Elga menggelengkan kepalanya tak percaya, jadi Bella sudah mengetahuinya selama itu? Bagaimana bisa ia tidak menyadarinya? Dan juga, kenapa Bella diam saja kalau dia mengetahui jika ia menyukai Jayden?

"Tapi, kenapa selama ini lo pura-pura nggak tahu?"

Bella mengendikkan bahunya tak acuh, sebelah tangannya ia letakkan diatas meja guna menumpu kepalanya untuk menatap Elga.

"Karena lo sahabat gue, dan gue juga nggak merasa terancam sama lo."

Tangan Bella terulur untuk menyelipkan surai Elga di belakang telinga, “lagipula lo kan tunangannya Cakra, emangnya lo bisa kabur dari psikopat gila itu?" lanjut Bella.

Tubuh Elga menegak kaku mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Bella, kedua matanya melotot horor.

"Apa, lo- lo tahu?"

Bella menegakkan duduknya, ia menutup mulutnya dengan kedua tangan dan memasang wajah terkejutnya yang sama dengan Elga lalu tertawa terbahak-bahak setelahnya, tentu saja ia hanya berpura-pura.

"Apa selama ini gue kelihatan bodoh di mata lo?" tanya Bella dengan nada dinginnya, begitupula dengan raut wajahnya yang berubah dalam hitungan detik.

Elga menggelengkan kepalanya, ia kemudian beringsut mundur hingga tubuhnya menempel pada sandaran kursi guna menjauhi Bella yang kini bergerak mendekatinya.

"Misalnya gue bilang kalau gue bagian dari tunangan lo itu, apa lo juga bakalan kaget?" bisik Bella tepat didepan wajah Elga yang memejamkan matanya erat-erat.

Elga semakin bergerak panik saat dagunya dicengkeram dan dipaksa mendongak, membuat ia mau tak mau menatap iris madu Bella yang memancarkan sorot dingin yang mengerikan.

"Gue tahu apa yang harus gue lakuin, jadi berhenti menggurui gue. Ngerti?" desis Bella yang dibalas anggukan cepat oleh gadis tersebut.

Bella melepaskan cengkeramannya pada dagu Elga, ia terkekeh kecil saat memperhatikan temannya itu meraup oksigen dengan rakus hingga tersedak napasnya sendiri.

Bella meletakkan tangannya pada bahu kanan Elga yang membuat tubuh gadis tersebut kembali menegang. Ia kemudian memasang senyum manis yang biasa ia tampilkan, seolah-olah dirinya bukanlah orang yang membuat Elga hampir terkena serangan jantung.

"Gue harap lo nggak bakalan takut sama gue setelah ini."

Bella memasukkan bukunya kedalam tas lalu bangkit dari duduknya yang membuat Elga terkejut dengan gerakan tiba-tibanya.

"Gue mau bolos hari ini, bilang sama guru kalau gue lagi sakit," ujar Bella lalu berjalan dengan cepat meninggalkan kelasnya. Ia tidak mungkin mengikuti pelajaran hari ini, kalaupun ia memaksa maka akan percuma karena ia tidak fokus pada pelajaran. Jadi membolos adalah pilihan terbaik untuk sekarang.

Elga menatap kepergian Bella dengan tatapan kosong, kedua tangannya terangkat untuk menyugar surai Brunette nya hingga acak-acakan, kepalanya terasa pening.

"Jadi, selama ini–"

Ia menghembuskan napasnya kasar, "sial, gue bisa gila!"

.

Bella membuka pintu kamarnya dengan kasar, melemparkan tas sekolahnya ke sudut ruangan dan berjalan menuju balkon kamarnya.

Hembusan angin musim kemarau langsung menyapa, menerbangkan surai arangnya. Napasnya terengah-engah karena emosinya yang tiba-tiba membludak, ia menarik salah satu kursi dan mendudukinya.

"Sial, gue kelepasan!" umpat Bella yang entah pada siapa ia tujukan.

Kepalanya benar-benar pening, ia menerutuki mulutnya yang begitu mudah membiarkan orang lain mengetahui rahasia yang ia tutup rapat-rapat selama ini.

"Bodoh banget lo Bella. Harusnya lo nggak kasih tahu itu ke Elga!"

Bella menyembunyikan wajahnya pada lipatan tangannya. Apa yang dikatakan Elga memang benar, ia tidak bisa terus berdiam diri melihat Luna yang berusaha merebut Jayden darinya. Ini tidak bagus, ia tidak suka orang lain merebut apa yang telah menjadi miliknya, tidak ada satu orangpun pun yang bisa merebut Jayden darinya bahkan takdir sekalipun.

Dengan perlahan ia mengangkat wajahnya, sebuah senyum teramat lebar terlukis di bibirnya kala sebuah ide cemerlang melintas di otaknya.

"Jika Tuhan tidak menakdirkanku dengannya, maka aku bisa membuat takdirku sendiri."

.

Luna beranjak dari meja belajarnya kala mendengar ponselnya di atas nakas berdering singkat, menyalakan layarnya dan membuka sebuah pesan yang baru saja ia terima.

082512121xxx

'Luna, sorry ngirim pesan malam-malam kayak gini. Bisa kita ketemuan jam 21.00 nanti? Gue akan kirim alamatnya, ada hal yang mau gue bicarain sama lo. Ini penting.

Jayden.

20.23

Luna menatap jam di dinding kamarnya yang telah menunjukkan pukul 20.23, seulas senyum teramat lebar terlukis apik di bibirnya, ia rasa usahanya selama ini berbuah manis.

"See Bella? Gue pemenangnya disini."

Luna meletakkan ponselnya di tempatnya semula dan berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap, ia tidak ingin membuat Jayden menunggunya terlalu lama.

Oh, bukankah ia harus berdandan dengan cantik? Tentu saja, karena ini adalah momen spesial baginya.

To Be Continue.

Sorry for typo(s).

RUWET [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang