42. Jadi dia berhasil melawan takdir?

21 4 0
                                    

Pemakaman adalah salah satu tempat yang paling Jayden benci, sebab ditempat ini ia merasakan hawa kesedihan yang begitu ketara. Terakhir kali ia datang ke tempat ini adalah minggu lalu saat mengantarkan om Herman menuju tempat peristirahatan nya yang terakhir, namun kali ia kembali datang untuk mengantarkan Luna menuju tempat peristirahatan nya yang terakhir.

Entah kenapa semuanya terjadi begitu tiba-tiba dan terasa tidak nyata, kematian Luna yang tidak wajar menjadi tanda tanya besar di otaknya. Siapa dan kenapa orang itu, kenapa dia tega menghabisi nyawa Luna? Padahal setahunya Luna bukanlah seseorang yang suka mencari masalah hingga memiliki musuh.

Semuanya terus berputar di otaknya, rasa bersalah kian lama menggerogotinya, ia merasa bersalah karena tidak bisa menjaga Luna seperti yang om Herman amanah kan padanya.

"Jayden."

Jayden menolehkan kepala pada sosok yang memanggil namanya, Tante Laras. Wanita itu pasti sangat terpukul, kehilangan dua orang yang paling berharga di hidupnya pasti sangat sulit.

Jayden merentangkan kedua tangannya dan membawa Tante Laras ke dalam pelukannya, ia sudah menganggap wanita ini layaknya mamanya sendiri, jadi melihat Tante Laras bersedih membuat ia ikut merasakan kesedihannya.

"Maafin Jayden Tante, maaf karena Jayden nggak bisa jaga Luna."

Laras menggelengkan kepalanya tak setuju, ia melepaskan pelukannya dan menangkupkan kedua tangannya pada wajah tampan Jayden.

"Nggak, sayang, kamu nggak salah. Yang ada Tante berterimakasih karena kamu udah nemenin Luna dan membuat hidupnya jadi lebih berwarna, sebelum ajal menjemputnya," tutur Laras, suaranya melemah di akhir kalimat.

Jayden menganggukkan kepalanya dengan cepat yang membuat Laras mengukir senyum, ia mengusap wajah pemuda itu dengan sayang.

"Sepertinya akan sulit buat kita ketemu lagi kayak gini," ujar Laras

"Emangnya kenapa, Tan?"

"Tante akan pindah ke Hongkong dan mengurus cabang restoran disana. Kamu tahu? Tante nggak bisa disini lebih lama lagi, semua kenangan bersama Herman dan Luna terus membayangi Tante," ujar Laras dengan suara bergetar menahan tangisnya.

Laras melukis senyum terbaiknya lalu menepuk pelan pundak pemuda dihadapannya.

"Jayden, Tante udah nganggap kamu anak Tante sendiri. Dan seorang ibu pasti ingin lihat anaknya bahagia, jadi berjanjilah sama Tante untuk selalu bahagia, hm?"

Jayden mengagguk kecil sebagai balasan, ia kembali memeluk Tante Laras degan erat.

"Aku jaji akan terus bahagia, mama."

.

Bella melangkahkan kakinya mendekati Elga yang terus menghindari tatapan sejak tadi, ia bukannya bodoh untuk tidak menyadari jika anak itu takut padanya. Ia juga yakin 100% jika Cakra sudah menceritakan semuanya pada Elga, menyadari jika sahabat kecilnya yang satu itu memiliki mulut yang licin.

Tubuh Elga menegak kaku saat Bella berdiri tepat disampingnya. Astaga, ia tidak pernah se gugup ini berada didekat seseorang terlebih lagi Bella yang merupakan temannya sendiri.

Teman? Entahlah, ia sudah tidak tahu harus menganggap Bella temannya lagi atau tidak.

"Hei," sapa Bella diiringi dengan senyum kecilnya.

Elga menolehkan kepalanya patah-patah lalu membalas senyum yang dilukis Bella.

"Oh, hai juga?"

Bella mengeryitkan dahinya tak suka mendengar suara Elga yang terdengar gugup, terlebih lagi gadis itu terus menghindari tatapannya bahkan saat ia berada didekatnya.

"Ini cuma gue, kenapa lo kelihatan gugup gini?"

"Ah, nggak kok. Gue cuma"

"Gue kasih tahu lo siapa gue yang sebenarnya bukan dengan harapan agar lo jauhin gue, melainkan karena lo adalah sahabat gue dan gue percaya sama lo. Apa lo nggak paham itu?" potong Bella, kedua matanya menatap lekat Elga yang terus menundukkan kepalanya.

Elga menutup mulutnya rapat-rapat mendengar penuturan Bella, lidahnya terasa kelu untuk sekedar mengeluarkan suara, ia menjaga pandangan untuk tetap menatap ujung healsnya.

Bella menghembuskan napasnya sedikit kasar lalu menyugar surai arangnya, "oke, gue ngerti kok."

"Lo nggak suka gue ada di dekat lo lagi? Lo udah nggak mau temenan sama gue lagi?" sambung Bella.

Elga menolehkan kepalanya mendengar penuturan Bella, kedua matanya berkedip cepat.

"Nggak, bukan gitu. Gue cuma sedikit kaget karena semua tentang lo terlalu mengejutkan. Gue nggak ada niatan buat jauhin lo, kasih gue sedikit waktu buat mencerna semuanya," papar Elga dengan sungguh-sungguh.

Lengkungan di bibir Bella perlahan muncul melihat Elga yang menampilkan raut seriusnya.

"Tentu aja, gue akan kasih lo waktu buat itu."

Elga menghembuskan napasnya lega lalu turut mengukir senyumnya, "makasih udah ngerti gue," ujarnya yang dibalas anggukan kecil oleh lawan bicaranya.

Kedua netra madu Bella berpendar mencari sosok yang beberapa hari ini sangat jarang ia temui.

Disana, sosok itu duduk di salah satu kursi panjang di dekat pintu keluar dengan kepala yang menunduk. Kedua matanya beralih menatap Elga yang masih menatapnya dengan raut wajah yang sulit dijelaskan, apa yang dipikirkan gadis ini sebenarnya?

"Apa?" tanya Bella.

Elga sedikit tersentak mendengarnya, "ah... nggak, nggak ada apa-apa kok."

Bella mengendikkan bahunya tak acuh, lagipula ia tak mau ambil pusing dengan apa yang dipikirkan Elga.

"Kalau gitu gue pergi dulu, ada orang lain yang butuhin gue didekatnya," kata Bella sembari mengerling pada Jayden.

Elga mengikuti arah pandang Bella, seulas senyum getir terlukis di bibirnya melihat sosok yang dimaksud Bella.

"Ya... Semoga kalian lekas berbaikan," ujar Elga yang dibalas anggukan kecil oleh lawan bicaranya.

Bella kemudian melangkahkan kakinya menuju tempat dimana Jayden berada. Kedua tangannya dengan perlahan menyentuh bahu tegap sang kekasih, membuat sang empu mendongakkan kepalanya.

"Bella?"

Bibir Bella tertarik membentuk senyuman, ia kemudian mendaratkan dirinya disamping sang kekasih yang menatapnya lekat. Kedua netra madunya menatap obsidian gelap Jayden yang sedikit berair namun terlihat memancarkan binar bahagia. Ia kemudian menarik tubuh tegap sang kekasih ke dalam pelukannya.

"Nggak apa-apa, semuanya pasti akan baik-baik aja setelah ini," tutur Bella dengan kedua tangan yang menepuk pelan punggung sang kekasih.

"Makasih, tolong jangan tinggalin aku lagi," lirih Jayden sembari mengeratkan pelukannya.

"Iya, aku nggak akan tinggalin kamu lagi."

Senyum Bella perlahan-lahan semakin melebar, setelah ini hubungannya dengan Jayden akan membaik dan kembali seperti semula, bukan? Tentu saja, karena ia sudah menyingkirkan sosok pengganggu di hubungannya.

Bella sudah membuktikannya sendiri, bahwa tak ada yang bisa memisahkannya dengan Jayden, bahkan takdir yang Tuhan berikan sekalipun.

To Be Continue.

Sorry for typo(s).

Gimana pendapat kalian setelah membaca bab ini?

RUWET [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang