38. Feeling Inferior

1.2K 66 1
                                    

Seperti agenda seorang pelajar lainnya yaitu berangkat sekolah di pagi hari. Jihan pun melakukan hal yang sama. Hanya yang membedakannya sekarang ia berangkat dengan suami berbalut pacarnya, siapa lagi kalau bukan Julian.

Bahkan sepanjang koridor, cowok itu terus menggenggam tangannya dan beberapa kali juga ia mencoba melepaskannya karena malu banyak siswa yang melihat ke arah mereka. Lebih tepatnya menatap dengan tatapan tak percaya bahwa seorang Jihan bisa berhubungan bersama dengan Julian. Bahkan ada anak yang dengan terang-terang berceletuk mengatakan jika ia memakai pelet atau mungkin Julian terkena guna-guna olehnya. Jujur saja Jihan sedikit tersinggung akan kata-kata itu.

Tapi sebanyak Jihan mencoba melepaskan genggaman tangan mereka, sebanyak itu pula Julian mencegahnya. Cowok itu berbisik di telinganya berkata, "nggak usah dimasukin ke hati ya. Mereka nggak pernah tau yang terjadi diantara kita."

Walaupun sudah mendapat kalimat penenang itu dari Julian, Jihan tetap merasa rendah diri. Bertanya-tanya pada dirinya apakah ia pantes bersanding dengan Julian? Kayaknya gue memalukan deh buat Julian?

Saat sampai di depan pintu kelas Jihan, gadis itu masih diam sibuk berdebat dengan pemikirannya sendiri. Membuat Julian khawatir.

"Kamu masih mikirin kata anak-anak tadi?" tanya Julian sambil menyajarkan tingginya dengan Jihan yang hanya sebatas bahunya itu.

Jihan menggeleng ragu.

"Kalo nggak kenapa diem gitu?"

"Aku nggak pantes ya buat kamu?" cicit Jihan sambil menundukan kepalanya, tak berani menatap wajah Julian.

Julian tersenyum menenangkan. Ia mengangkat dagu Jihan, meminta gadis itu untuk menatapnya. "Han, kalo kamu nggak pantes, nggak mungkin kan kamu minta aku buat membuka hatiku buat kamu? Aku tau diri kamu mengatakan kalo diri kamu tuh pantes buat aku."

"Cuma karena ucapan mereka tadi, kamu jadi ngga percaya diri lagi. Jangan dengerin mereka, Han. Mereka nggak tau gimana perjuangan kamu buat sampe di titik ini, mereka nggak tau gimana kamu nahan sakit karena aku." Julian menangkup kedua pipi Jihan. "Kalo kamu rendah diri lagi kayak gini, aku jadi ngerasa bersalah."

Jihan terbelalak. Ia melepas kedua tangan Julian yang ada di pipinya. "Kok malah kamu yang merasa bersalah sih?"

"Karena aku dan Jingga yang suka mem-bully kamu dulu karena penampilanmu. Membuat anak-anak juga berpikir hal yang sama denganku, berpikir kalo kecantikan perempuan hanya karena wajahnya. Walaupun kamu sekarang berubah, mereka tetap memiliki pemikiran kalo kamu jelek dan nggak pantas dicintai."

"Maaf ya," sambung Julian.

"Nggak apa-apa." Jihan menghela nafas untuk mengusir kata-kata teman-temannya yang tadi dari pikiran dan hatinya. Setelahnya ia memberikan senyum menenangkan. "Aku udah nggak mikirin lagi kok."

Julian menegakkan tubuhnya. Ia mengacak gemas poni rambut Jihan. "Good girl. Pokoknya apapun omongan orang-orang, jangan pernah didenger dan jangan masukin ke hati. Kamu cuma punya dua tangan, kamu nggak bisa membungkam mulut mereka satu-satu. Tapi kamu bisa menutup kedua telingamu."

Jihan mengerjapkan matanya lucu. Baru pertama kali ini ia mendengar Julian berbicara sepanjang itu dan sebijak itu. Apa begini ya sikap Julian dulu saat bersama Jingga? Semanis dan sehangat ini? Apa semua sikap manis dan hangat Julian ini tanda kalau cowok itu sudah mencintainya? Bukan hanya sekedar mencoba lagi.

Julian melirik jam tangannya. 10 menit lagi ternyata bel masuk akan berbunyi. "Yaudah sana masuk, bentar lagi bel." Ia membalikkan tubuh Jihan dan mendorong pelan tubuh gadis itu menjauh.

Jihan menoleh dan terkekeh pelan. Julian ikut terkekeh. Detik berikutnya, Julian sudah berbalik dan berjalan menjauhi kelas gadis itu untuk menuju kelasnya sendiri.

Julian Untuk Jihan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang