10. Dikira PDKT

1K 81 2
                                    

Saat bel pulang berbunyi dan guru pun telah pergi dari kelas, Jihan buru-buru menggendong tasnya dan langsung pergi ngeloyor begitu aja tanpa sepatah katapun ataupun pamit pada Julio yang saat itu masih mengobrol dengan salah satu cowok temen sekelas mereka yang duduknya tepat berada di depan bangku Julio.

Tentu saja tindakan Jihan yang grusa-grusu itu membuat Julio menatapnya sambil menaikan salah satu alisnya. Bingung. Apakah gadis itu tengah dikejar setan? Atau dia tengah kebelet?

Julio segera mengemasi barangnya dan segera pamit pada temannya, ia akan menyusul gadis itu. Ia menaiki dan menyalakan motor sport birunya, lalu menjalankannya keluar gerbang sekolah. Ia dapat melihat Jihan yang tengah berdiri tak jauh dari sana. Sepertinya tengah menunggu angkutan umum.

Julio menghentikan motornya tepat di depan gadis itu. Ia membuka helmnya dan tak lupa menyunggingkan senyum konyol yang selama ini tak pernah lepas dari wajahnya. Jihan terjingkat kaget. Sosok yang sedang ia hindari malah sekarang sedang berada dihadapannya dengan senyum konyolnya.

"Ngapain masih disini?" tanya Julio basa-basi yang sebenarnya ia sudah tahu alasan Jihan masih berdiri di pinggir jalan dekat sekolah.

"Nunggu angkutan," jawab gadis itu singkat.

"Bareng gue aja, kan searah."

"Bukan searah lagi, tapi serumah!" Jihan menatap malas cowok di depannya ini. Jika ingin menawarinya boncengan, untuk apa terlalu banyak berbasa-basi bilang rumah mereka searah. Nyatanya serumah malah.

"Ah iya, itu." Julio terkekeh sambil menggaruk pelipisnya yang tak gatal. "Yaudah, ayo bareng gue." Ia melirik jok belakang motornya sebagai kode agar gadis dihadapannya ini untuk segera naik.

Jihan memalingkan wajahnya dan disaat itu pula ia melihat angkutan umum tujuannya. Ia langsung melambaikan tangannya untuk memberhentikan angkutan itu. Tentu saja sikapnya itu tak luput dari pandangan Julio. Cowok sampe melongo. Untuk apa dirinya disini kalau gadis itu masih memilih untu naik angkutan umum? Ia seperti tak dianggap disini.

"Kok lo malah lebih milih naik angkutan umum sih? Kan gue udah nawarin lo balik bareng," protesnya.

"Berarti tandanya gue balik sendiri." Setelah menjawab pertanyaan dari adik iparnya itu, Jihan langsung beranjak dari sana dan masuk ke dalam angkutan umum yang tadi ia hentikan.

Angkutan itu mulai berjalan meninggalkan Julio yang masih terbengong-bengong. Ia bingung dengan sikap Jihan saat ini, selalu menghindar dan terkesan ketus padanya. Padahal gadis itu selalu memiliki image penyabar dan menerima, begitu menurut pandangan Julio selama Jihan tinggal dirumahnya dan menjadi kakak iparnya.

Buru-buru Julio memakai helmnya, menstater motor, dan menancapkan gas untuk mengejar angkutan umum yang membawa Jihan pergi.

Cowok itu mengikutinya dari belakang. Jihan yang saat itu duduk di paling pojok dan melihat kearah belakang, ia sedikit terkejut. Untuk apa Julio mengikuti angkutan umum ini? Kenapa tidak ia salib saja?

Julio sedikit menambah kecepatan motornya dan sedikit menyalib agar posisinya tepat berada di jendela yang dapat dilihat Jihan dengan dekat. Gadis membelalakan matanya tajam dan menggerakan dagunya, mengusir. Tapi ia malah menggeleng dan mengangguk satu kali untuk menyuruh Jihan turun dan pulang bersamanya saja.

Jihan menggeleng tegas dan sedikit menggertakan giginya. Cowok itu benar-benar keras kepala, sama seperti kembarannya. Beruntung di dalam angkutan umum ini hanya ada ia, 2 orang yang sepertinya mahasiswa, dan 1 orang anak SMP. Jika banyak orang, bisa dipastikan ia akan sangat malu saat ini karena kejadian mereka saat ini seperti sepasang kekasih yang tengah bertengkar.

Jihan memalingkan wajahnya dan bersikap acuh seperti Julil tak ada. Biarkan saja cowok itu mengikutinya, lagian mereka juga tinggal serumah jadi otomatis arahnya pun sama.

***

"Assalamualaikum," seru Jihan saat memasuki rumah.

"Waalaikumsalam." Jasmine yang saat itu tengah menonton infotaiment di tv langsung mengalihkan pandangannya. Tak lama, Julio pun ikut masuk ke dalam rumah dan hal itu membuat Jasmine mengira bahkan mereka berdua pulang bersama.

"Kalian barengan?" tanya Jasmine saat Jihan sudah duduk disebelahnya dan Julio dihadapannya.

"Iya."

"Nggak."

Jawaban mereka berbeda, Jihan mengelak sedangkan Julio malah membenarkan. Sontak jawaban itu membuat Jasmine menatap mereka bingung. "Yang bener iya apa nggak?"

"Nggak, Bun. Tadi aku pulang naik angkutan umum tapi Julio ngikutin aku. Jadi kesannya kayak pulang bareng," jelas Jihan.

"Kok naik angkutan umum? Julian mana? Kenapa nggak sama Julian malah sama Julio?" Rentetan pertanyaan Jasmine membuat Jihan sedikit tergagap. Ia tak mungkin mengatakan sebenarnya bahwa suaminya itu sedang bersama gadis lain yang notabenya adalah adik kandungnya sendiri. Gadis itu melirik pada Julio agar cowok itu membantunya mencari alasan.

"Enggg... Ah tadi Julian kayak ada urusan gitu, Bun. Tadi aku liat dia buru-buru gitu." Setelah mengatakan itu, Julio sedikit membasahi bibirnya. Ia juga menggaruk pelipisnya yang nggak gatal.

Jasmine menatap mereka dengan tatapan menyelidik dan menyipitkan matanya. "Bener gitu?" Beliau menatap tajam pada Julio. "Kamu nggak lagi PDKT-in kakak ipar kamu kan?" tuduhnya.

Jihan dan Julio melotot kaget. Mereka kompak menggeleng dengan tegas. "Nggak lah, Bun. Nggak mungkin aku PDKT-in istri Julian."

"Iya, Bun. Aku nggak mungkin sama Julio," tambah Jihan.

Jasmine terkekeh dan mengangguk-anggukkan kepala. "Iya iya, Bunda percaya kok."

Julio hanya bisa menatap datar kearah Jasmine. Terkadang ibunya itu memang suka sekali bercanda dengan hal-hal yang seharusnya tidak dibuat bercanda. Seperti sekarang, bagaimana mungkin ibunya itu menuduhnya memiliki hubungan dengan kakak iparnya sendiri. Tentu saja saat ia di tuduh seperti itu, ia merasa terkejut.

"Udah, aku mau balik ke kamar aja," sahut Julio yang terlihat sekali masih sedikit kesal karena ternyata Jasmine mengerjainya.

"Dasar bocah ambekan," komentar Jasmine sedangkan Jihan yang ada disebelahnya hanya senyum-senyum aja. Gadis itu beranjak dari duduk sambil menggendong tasnya di salah satu bahunya. "Aku juga pamit ke kamar ya, Bun. Mau ganti baju."

Jasmine mengangguk pengertian. "Yaudah, ganti baju dulu sana."

Setelah mendapat ijin dari Jasmine, Jihan langsung beranjak dari sana untuk menuju kamarnya yang berada di lantai atas.

***

Setelah  mengganti pakaiannya dengan pakaian santai. Jihan menuruni tangga bermaksud ingin menuju dapur dan membantu Jasmine yang saat itu tengah membuat kue. Tapi dipertengahan tangga, ia berpapasan dengan Julian yang terlihat sekali cowok itu baru saja pulang.

"Kapan balik lo?" tanya Julian basa-basi.

"Tadi."

"Lo nggak bilang macem-macem ke Bunda kan?"

"Macem-macem gimana?" Jihan malah balik bertanya pada suaminya itu. Gadis itu juga menatap polos pada Julian padahal cowok itu menatapnya dengan tajam. Tidak kontras sekali.

"Lo nggak ngadu kan kalo gue barusan nganterin Jingga balik?" Jihan langsung menggeleng dengan cepat. Setelah mendapat jawaban yang berupa gelengan dari gadis itu, Julian langsung berlalu begitu saja tanpa sepatah katapun lagi.

Jihan sudah mulai biasa akan sikap Julian yang seperti itu. Sikap yang acuh tak acuh padanya. Tapi gadis itu tak pernah mempermasalahkannya.

Ia mulai melanjutkan langkahnya yang tertunda untuk menuju dapur dan membantu mertuanya.

***

Fairahmadanti1211

Julian Untuk Jihan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang