Suara pintu ruang rawat terbuka yang membuat pria paru baya yang berada di dalam menoleh. Sedangkan ketiga orang yang membuka pintu tadi sedikit terkejut.
"Lho Ayah udah sadar? Kapan?" seru Jihan dengan raut yang berbinar. Terlihat senang sekali. Ia berjalan mendekat disamping ranjang Arya.
"Tadi subuh kalo nggak salah."
"Masih ada yang sakit?" Arya tersenyum mendapatkan pertanyaan bernada perhatian itu dari Jihan. Ia mengusap rambut depan Jihan dengan sayang. "Nggak ada, Han."
Jihan tersenyum senang.
"Kenapa Ayah nggak ngabari kita kalo udah sadar?" sahut Julio yang berada disisi satunya. "Kalo gitu kan, kita bisa datang daritadi."
"Emang kalo Ayah kabarin tadi, jam besuk udah buka gitu? Lagian sekarang kalian udah disini kan."
Jihan dan Julio meringis, menyadari kesalahan mereka yang terlihat sedikit bodoh. Sedangkan Julian? Cowok itu semenjak datang sudah langsung duduk anteng di sofa dengan ponsel yang berada di genggamannya.
"Bunda mana? Bunda nggak apa-apa kan?" Mendapatkan pertanyaan itu, sontak membuat ketiganya terdiam. Mereka seolah kompak akan diamnya. Bahkan Jihan diam-diam meneguk ludahnya dengan susah payah.
Jihan menoleh pada Julio yang ternyata juga sedang menatapnya dengan tatapan 'gimana cara ngomongnya?' atau 'kita harus ngomong apa?'
Jihan mengerutkan dahinya sambil menggeleng pelan. Mereka berdua ganti menatap pria yang sedang duduk di sofa itu.
Mereka menatap cowok itu dengan dengan tatapan bertanya. Mereka berdua juga seolah melemparkan Julian untuk memikirkan alasannya. Julian sedikit mendesah berat, ia memijit pelipisnya yang sedikit pusing. Ia pusing harus memberi alasan apa pada Ayahnya itu. Tak mungkin kan ia harus jujur disaat Arya baru saja siuman.
"Kenapa pada diem? Bunda nggak kenapa-napa kan?" Arya mengulangi pertanyaannya sambil menatap ketiganya.
Julian beranjak dari duduknya dan berjalan mendekat. "Bunda ada kok di ruangan lain. Ayah istirahat aja dulu biar cepet sehat."
"Kalian nggak lagi bohong kan?" tanya Arya menyelidik. Jihan langsung menunduk, tak berani untuk menatap Arya karena ia takut kalau keceplosan.
"Nggak, Ayah." Julian melirik arlojinya. 5 menit lagi Jasmine dijadwalkan untuk operasi. Ia mengambil ponsel pada saku celananya dan segera mengirim pesan pada Jihan dan Julio, memberitahu kedua orang itu untuk membantunya mencari alasan berpamitan pada Arya.
"Ayah, kita pamit ya?" ucap Jihan.
"Mau kemana? Kalian baru aja dateng."
"Itu... Kita mau...," ucap Jihan terbata-bata sambil memikirkan alasan.
"Kita mau beli perlengkapan buat selama disini," sahut Julio. "Iya gitu." Tak lupa ia memberikan senyuman paling lebar miliknya.
Diam-diam Jihan menghembuskan nafas leganya. Beruntung Julio cepat tanggap dalam mencari alasan dan semoga saja Arya percaya dengan alasan itu.
Arya mengangguk kepala saja tanpa ada rasa curiga sedikitpun. Mereka bertiga menyalami tangan Arya dan segera buru-buru keluar dari ruang, takut jika Arya berubah pikiran ataupun bertanya macam-macam yang mungkin saja membuay mereka kebingungan dalam mencari alibi.
Julian berjalan lebih dulu dengan diikuti Jihan dan Julio yang berjalan beriringan dibelakangnya. Mereka memiliki tujuan yang sama, yaitu menuju kearah ruang operasi.
Mereka telah berada dihadapan ruang operasi. Lampu ruang operasi berwarna merah, yang tandanya sedang operasi sedang berlangsung.
Jihan lebih dulu mendudukkan pantatnya pada kursi tunggu. Setelahnya Julian mengikuti, duduk tepat disebelahnya dengan kepala yang disandarkan pada dinding. Sedangkan Julio tengah bersandar pada tembok tepat disamping Julian yang duduk.
Lama mereka menunggu. Kebosanan mulai melanda ditengah mereka. Terbukti dari Julio yang sudah terduduk dilantai dengan kaki yang diselonjorkan dan Jihan yang juga asik bermain dengan ponselnya.
Lama Jihan melakukan hal itu hingga kepala Julian yang tiba-tiba bersandar pada bahunya, membuat ia langsung tersadar dan terkejut. Ia melotot dan pelan-pelan ia menoleh pada bahu kanannya. Benar itu Julian yang bersandar.
"Pinjem bahu bentar, semalem gue kurang tidur," ucap Julian lemah dengan mata terpejam.
"Iy-iyya boleh," balas Jihan terbata-bata. Jujur saja ini pertama kali ia bisa sedekat ini dengan Julian. Tentu saja hal itu membuat jantungnya berdebar, bahkan ia pun tak dapat menyembunyikan senyumnya. Duh ia benar-benar salah tingkah.
Menit berikutnya, Julio menoleh kearah kiri. Ia hampir saja tergelak ngakak melihat raut wajah Jihan yang menurutnya sungguh lucu. Muka tegang bercampur kaget dengan pipi yang merah-merah dan tak lupa gadis itu juga menahan senyumannya. Ah Julio ingin sekali meledek gadis itu dan tertawa di depannya dengan keras. Tapi ia tak boleh melakukan itu, ini merupakan momen langka untuk Jihan dan ia tak boleh mengacaukannya.
Julio memiliki ide, ia mengambil ponselnya yang ada di saku celananya dan segera memotret momen itu untuk ia kirim pada Jihan. Memberikan sedikit kenangan.
Gadis itu langsung merogoh tas selempang yang ada dipangkuannya saat mendengar dering ponselnya sekali yang tandanya ada pesan. Ia membuka pesan yang ternyata dari Julio. Sebuah foto momen kali ini. Julian yang tengah dan masih bersandar pada bahunya. Tak lama pesan dari orang yang sama kembali masuk.
Momennya gue abadiin. Baik kan gue
Jihan langsung menoleh kearah Julio. Cowok itu terlihat menahan tawanya dan menaik-turunkan alisnya. Jihan menghela nafas, tapi tak urung ia tetap mengetikkan balasan pada cowok itu.
Julio
Yayayayain aja, umur nggak ada yang tau
Sialan lo
Jihan terkikik geli dan membuat tubuhnya sedikit bergetar. Karena hal itu, membuat Julian yang tengah bersandar sambil memejamkan matanya terganggu karena bahu gadis itu yang naik turun. "Ganggu lo," ucapnya masih memejamkan mata.
Merasa diajak berbicara, Jihan menoleh kearah kiri dan sedikit menunduk. "Emang gue kenapa?"
Cowok itu menghela nafasnya, lalu bangkit dari posisinya bersandar. "Lo ketawa bikin bahu lo naik turun yang otomatis ganggu gue."
Jihan hanya ber'oh'ria saja. Ia paham maksud cowok itu. "Maaf, gue nggak maksud."
Julian mengangguk sekali. Ia sedang tak ingin mempermasalahkan hal kecil seperti ini, ditambah sekarang sedang berada di rumah sakit. Setelah keadaan hening. Mereka masih menunggu, sudah hampir satu jam mereka disana. Bahkan sekarang sudah memasuki jam makan siang.
Perut Jihan berbunyi yang membuat sang empunya langsung memegangnya. Ia menoleh ke kanan kiri, berharap kedua cowok yang berada di sampingnya itu tak mendengar. Tapi sepertinya itu cuma harapannya, terbukti dari Julian yang menatapnya dengan alis bertaut dan Julio yang menatapnya dengan meledek.
"Laper?" tanya Julian lembut yang disambut anggukan kepala oleh Jihan.
"Yaudah ke kantin. Gue temenin." Setelah mengatakan itu, Julian langsung nyelonong gitu aja meninggalkan Jihan yang masih mengerjap-ngerjapkan matanya. Julian bersikap manis lagi ke dia. Ini bukan mimpi kan?
Jihan menoleh menatap Julio untuk meminta kepastian apakah ia sedang bermimpi atau tidak. Tapi Julio pun sama bingungnya.
"Julian beneran baik lagi sama gue?" tanya Jihan dengan bodohnya.
"Kayaknya dia udah melunak deh," jawab Julio. "Udah sono lo susulin Julian. Udah mulai ilang tuh orangnya."
Tanpa banyak kata, Jihan langsung beranjak dan sedikit berlari untuk mengejar suaminya itu. Sedangkan Julio, cowok itu tersenyum senang akan kemajuan hubungan dari kembarannya itu dan kakak iparnya.
"Gue yakin lo pasti bisa menangin hati Julian, Han."
***
Fairahmadanti1211
![](https://img.wattpad.com/cover/237973157-288-k129630.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Julian Untuk Jihan [COMPLETED]
Novela JuvenilRank #8 julio [2 September 2020] Rank #6 julio [11 September 2020] Rank #5 julio [14 September 2020] Rank #10 takdianggap [19 Oktober 2020] Rank #9 takdianggap [2 November 2020] Rank #4 julio [22 November 2020] Rank #7 takdianggap [1 Januari 2021] R...