Saat sampai di rumah sakit yang dituju, mereka bertiga berlari dari parkiran menuju lobi, lebih tepatnya kearah resepsionis.
"Sus, korban kecelakaan bus atas nama Jasmine dan Aryandi di rawat di mana ya?" tanya Julian mewakili.
"Oh, bapak Aryandi dirawat di ruang mawar 24, kalau ibu Jasmine berada di ICU." Mendengar itu, tangisan Jihan semakin deras. Mereka langsung berlari mencari ruangan yang dimaksud suster bagian resepsionis itu.
Mereka membaca setiap papan nama yang ada di pintu. Mereka ingin menjenguk Arya terlebih dahulu, memastikan keadaan pria itu baik-baik saja. Setelah menemukan ruangannya dimaksud, mereka langsung masuk kedalam. Keadaan Arya masih belum sadar, kepalanya diperban, bahkan juga terdapat alat bantu pernapasan.
Julian dan Julio melangkah perlahan menuju ranjang tempat ayah mereka terbaring. Sedangkan Jihan, gadis itu masih bergeming ditempatnya.
Suara dorongan pintu membuat ketiga orang yang ada di dalam ruangan itu menoleh. Bahkan Jihan sedikit menggeser tempatnya berdiri yang sedikit menghalangi jalan itu agar sosok yang baru datang dapat masuk.
"Gimana keadaan Ayah saya, dok?" tanya Julio kepada sosok yang baru datang. Dokter.
"Masih belum sadarkan diri, tapi semuanya baik-baik saja. Hanya benturan ringan yang ada dikepala," jawab dokter tersebut. "Mungkin besok atau nanti malam pasien sudah sadar."
Diam-diam Jihan, Julian, ataupun Julio sedikit menghembuskan nafas leganya. Setidaknya rasa khawatir mereka sedikit berkurang setelah mengetahui keadaan Arya yang baik-baik saja.
"Terus keadaan Bunda saya yang katanya ada di ICU itu gimana ya?" tanya Julio.
"Keadaannya nggak begitu baik," jeda dokter itu sebentar. "Ada gumpalan di kepalanya akibat dari benturan keras yang membuatnya koma."
"Terus gimana selanjutnya, dok. Apa yang akan dilakukan?" tanya Jihan yang membuat orang-orang yang ada disana menoleh kearah karena letaknya yang membelakangi.
"Jika keadaan bu Jasmine stabil, kami akan melakukan operasi. Semua itu juga akan kami lakukan juga sesuai ijin dari keluarga pasien." Setelah mengatakan itu, dokter pamit keluar ruangan dengan alasan ada pasien lain yang harus diperiksa.
Julian beranjak dari tempatnya berdiri lalu mendudukan pantatnya pada sofa panjang yang berada tepat berhadapan dengan ranjang Arya. Cowok itu menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa sambil tangannya memijat dahinya lelah. Bagaimana tak lelah? Mereka hampir seharian tadi berada di dalam mobil. Mereka tadi berangkat pagi, sedangkan sekarang langit sudah menggelap. Mereka juga masih mengenakan seragam sekolah, walaupun mereka belum sempat sampai pada sekolah.
Jihan berjalan mendekat pada suaminya dan pelan-pelan duduk di sebelahnya. "Terus gimana ini selanjutnya?" tanyanya dengan mata yang menatap kearah Arya yang masih setia terbaring.
"Yo, urus administrasi." Bukannya menjawab pertanyaan dari Jihan, Julian malah menyuruh Julio untuk mengurus administrasi. Julian terkesan mengacuhkan Jihan lagi, sikapnya kembali lagi. Kembali acuh dan tak peduli pada Jihan.
Cowok yang duduk berada di dekat ranjang, di sebelah Arya itu menoleh. "Kenapa nggak lo aja? Gue capek habis nyetir seharian Jogja-Ngawi," alibi Julio.
Julian berdecih tapi tak urung ia tetap beranjak meninggalkan ruang rawat itu untuk membayar administrasi rumah sakit dan mungkin sekaligus menandatangani surat persetujuan operasi Jasmine nanti.
***
Setelah membayar biaya administrasi dan menandatangani surat persetujuan operasi, Julian tak langsung kembali ke kamar Arya. Ia malah mengarah ke ruang ICU. Tapi ternyata disana ia bertemu dengan Jihan yang tengah berdiri di hadapan jendela kaca besar berhadapan dengan Jasmine yang masih terbaring lemah.
Wajahnya penuh luka, kepalanya diperban tak jauh beda dengan Arya, hanya saja banyak alat yang digunakan untuk menunjang kesadaran Jasmine. Seperti mesin pasien monitor contohnya.
Julian berdiri di samping Jihan. Menatap ibunya sedih. "Udah dari kapan?" tanyanya tanpa mengalihkan perhatiannya.
Jihan diam-diam tersenyum. Julian sudah sedikit melunak padanya. "10 menitan kayaknya," jawabnya.
Julian hanya ber'oh' ria saja. Setelah itu keadaan hening diantara mereka, tak ada yang memulai pembicaraan terlebih dahulu. Semua fokus dengan pemikiran masing-masing.
"Yan," panggil Jihan sambil menoleh pada cowok disebelahnya itu.
"Hmm." Julian hanya berdehem tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun.
"Gue pingin ganti baju."
"Ganti tinggal gantilah, ngapain lapor dulu," ketus Julian yang kembali seperti awal.
"Kan tadi berangkatnya buru-buru, nggak sempet beli baju." Julian menghela nafasnya pelan lalu menoleh menatap Jihan. Cowok itu menaikan salah satu alisnya. "Terus?"
Jihan menunduk. Ia ragu ingin mengatakan ini. Ia ragu apakah cowok itu akan menyetujuinya atau tidak.
Julian berdecak kesal pada gadis dihadapannya ini yang malah bergeming ditempatnya seperti gadis bisu dan tak menjawab pertanyaannya. "Terus kenapa?" tanyanya ulang.
Jihan membasahi bibirnya sebentar lalu sedikit mendongak, menatap mata Julian takut-takut. "Beli baju yuk." Akhirnya kata-kata yang ingin ia lontarkan terlontar juga dari mulutnya. Sekarang ia sedikit takut dengan respon Julian, takut jika cowok itu malah memakinya dengan kata-kata kasar dan tidak masuk akal menurutnya. Tidak masuk akal dengan topik yang sedang mereka bahas.
"Oke." Setelah mengatakan itu, Julian langsung berbalik dan melangkah pergi menyisakan Jihan yang masih terbengong-bengong dengan sikap Julian yang tanpa mikir panjang dan tanpa memakinya langsung menyetujui ajakannya.
Setelah sadar dari bengongnya, Jihan langsung sedikit berlari menyusul Julian yang sudah sedikit jauh dari jaraknya sekarang.
***
Mereka berdua telah berada di toko baju yang letaknya tak jauh dari rumah sakit. Mereka masuk ke toko itu bersamaan dan setelahnya langsung berpencar untuk mencari kebutuhan sandang masing-masing. Jihan yang berada dibagian wanita sedangkan Julian berada dibagian pria.
Jihan mengambil beberapa pasang pakaian, ntah itu baju, blouse, celana panjang ataupun pendek, rok panjang ataupun pendek, serta dress selutut berbagai warna. Ia memilih tanpa mencoba, ia hanya memilih yang sekiranya ia suka dan cocok untuknya.
Setelah selesai, Jihan langsung menuju ke bagian pria untuk menghampiri Julian yang sepertinya belum selesai memilih. "Yan, udah selesai?" tanyanya tanpa melihat Julian karena pandangannya yang tertutup dengan belajaannya.
Suara yang familiar itu membuat Julian mencari sumber suara yang berbicara padanya. Julian sedikit terkejut saat menoleh kearah Jihan yang wajahnya tertutup setumpuk belanjaannya, tapi ia buru-buru mengembalikan sikapnya. "Belum," jawabnnya singkat dan kembali fokus dengan kegiatannya memilih baju.
"Kok belum? Tinggal ambil aja yang lo suka."
"Gue belum milih karena nggak tau yang gue suka, Jihan!" geram Julian sedikit kesal.
"Iya-iya maap, nggak usah ngegas-ngegas di tempat umum. Ntar aja kalo udah balik." Nah kan perubahan kecil Jihan terlihat, gadis itu sudah berani menegur dan melarang Julian.
Setelah itu, tak ada lagi interaksi diantara mereka. Julian asik dengan kegiatannya memilih baju, sedangkan Jihan yang menunggu Julian.
***
Fairahmadanti1211

KAMU SEDANG MEMBACA
Julian Untuk Jihan [COMPLETED]
Teen FictionRank #8 julio [2 September 2020] Rank #6 julio [11 September 2020] Rank #5 julio [14 September 2020] Rank #10 takdianggap [19 Oktober 2020] Rank #9 takdianggap [2 November 2020] Rank #4 julio [22 November 2020] Rank #7 takdianggap [1 Januari 2021] R...