4. Sorry

1K 101 5
                                    

"KAMU TUH KEBANGETAN BANGET SIH, BISA-BISANYA NINGGALIN JIHAN DIPINGGIR JALAN," bentak Jasmine setelah mereka sampe rumah. "DITENGAH HUJAN DERAS LAGI."

Julian hanya diam menerima bentakan itu, lebih tepatnya acuh. Terbukti ia malah duduk-duduk santai dengan kaki yang dinaikan sebelah dan tangan yang menggenggam ponsel. Terlihat santai dan tak peduli sekali.

"Jihan ditinggal ditengah jalan? Pas hujan deras?" tanya Arya yang kebetulan saat itu baru saja turun untuk melihat keributan yang ada dirumahnya, lebih tepatnya di ruang keluarga rumahnya.

"Betul begitu, Yan?" Arya menoleh kearah Julian dan memberikan tatapan mengintimidasi.

Julian menghela nafas beratnya. Ia menurunkan kakinya, menyimpan ponselnya ke dalam sakunya, dan menatap kedua orangtuanya yang saat ini ada dihadapannya dengan malas. "Iya."

Arya menggeram kesal mendengar pengakuan langsung serta jujur dari mulut putranya itu. "Kamu tau nggak sih? Jihan itu CALON ISTRI KAMU!"

"Tau." Julian membalas tatapan Arya tanpa takut. "Aku nggak pernah mengharapkan dia jadi istri aku, mimpiinya aja aku nggak mau."

Sepasang mata menyaksika pertengkaran mereka dari lantai atas. Sosok itu hanya menggeleng pelan. Ia tak menyangka jika saudara kembarnya itu memiliki keberanian untuk melawan Arya. Julio tau kalau Julian itu keras kepala yang kerasnya seperti batu kali, cowok itu juga memiliki pilihan yang kuat. Jika ia memilih A, ia akan tetap memilih A sampai kapanpun. Jika dipaksakan, akan seperti ini jadinya. Julian akan menentang dan memberontak seperti ini.

"Julian Julian Julian. Lu tuh makannya batu ya? Sampe keras kepala gitu," gumam Julio yang masih memperhatikan keadaan dibawah. Ia tak ingin kesana dan tak ingin ikut campur.

Plakkk

Jasmine menampar Julian dengan tangannya sendiri. Daritadi ia memang diam, tapi sekarang nggak bisa. Julian sudah benar-benar kelewatan. Ia tak bisa membiarkan putranya itu memiliki sifat seperti itu. Sifat membangkang dan tak menghormati perempuan.

Julian memegang pipi kanannya yang terasa panas dan perih. Ia menatap tak percaya pada Jasmine. "Bunda tampar aku?!"

"Iya!" jawab Jasmine penuh penekanan. "Itu biar kamu sadar. Buat kamu juga jadi pelajaran, belajar cara hargai perempuan."

"Dimataku dia bukan perempuan."

Plakkk

Kali ini Arya yang menamparnya. Sikap Julian kali ini benar-benar keterlaluan dan kurang ajar.

Julian memegang pipi kirinya yang terasa perih dan panas. Pipi kanannya saja masih terasa perih dan panas kini ditambah pipi kirinya yang ditampar Arya. "Ayah nampar aku?"

"IYA. KAMU BISA-BISANYA NGOMONG KAYAK GITU. PEREMPUAN ITU HARUS DIHORMATI, KAMU KAYAK GITU SAMA AJA KAMU NGGAK HORMATI BUNDAMU," bentak Arya yang membuat Julian tak berani untuk mengeluarkan sepatah kata pun, ditambah kedua pipinya sudah panas dan mungkin sudah ada bekas tangan dari kedua orangtuanya.

"Besok kamu minta maaf sama Jihan!" tegas Arya. "Nggak ada pilihan buat kamu!"

Baru saja Julian ingin membuka mulut untuk membantah dan menolak perintah Arya, tapi kembali ia katupkan setelah ayahnya itu yang terlihat benar-benar tak ingin dibantah.

Julian menghela nafas beratnya, akhirnya ia mengangguk dengan berat hati tentunya.

***

"Badan kamu ada yang nggak enak, sayang?" tanya Iren sesaat setelah memasuki kamar Jihan. Gadis itu diam, berpikir sebentar dengan pandangan yang menatap keatas seolah ia benar-benar sedang mengecek keadaan dirinya sendiri. Ia juga menempelkan tangannya sendiri ke dahinya. Tak panas. "Nggak ada kayaknya," jawabnya setelah ia menurunkan tangannya.

"Bener? Tadi kamu kehujanan, mana hujannya deres banget lagi. Beneran nggak papa?" Jihan mengganguk yakin sebagai jawaban. "Bener, Mah."

"Apa kamu marah sama Julian?" tanya Iren sembari mengelus kepala Jihan dengan sayang. Gadis menggeleng dan menyunggingkan senyumnya. "Nggak, Mah. Nggak sama sekali."

"Menurut aku wajar Julian bersikap seperti itu. Mungkin itu bentuk protesnya ke orangtuanya. Tapi nggak papa kok, mungkin suatu saat Julian bakal bisa nerima semuanya." Iren tersenyum dan mengelus kepala Jihan lagi dengan sayang. "Kamu sabar-sabar ya sayang. Kalo menurut kamu sikap Julian udah keterlaluan, kamu bilang ya."

Jihan mengangguk dan senyumnya tersungging. Ia percaya suatu saat Julian akan bisa menerimanya. Anggap saja ia naif sekarang, tapi setiap manusia boleh berharap kan? Harapan Jihan hanya itu.

***

Jihan keluar dari rumahnya dengan seragam sekolah yang lengkap. Ia mengernyitkan dahi saat melihat seorang cowok dengan motor sport hitam tengah berdiri di depan pagar, seperti tengah menunggu orang. Cowok itu Julian. Mungkin lagi nunggu Jingga, begitu pikirnya.

Jihan membuka pagar dan berjalan melewati Julian begitu saja. Ia akan berangkat ke sekolah menggunakan angkutan umum saja, ia sedang ingin menikmati suasana pagi.

"Jihan," panggil Julian yang membuat si empunya nama menoleh dan menatap Julian bingung. Untuk apa cowok itu memanggilnya?

Julian berjalan mendekati Jihan dan menarik tangan gadis itu menuju ke motornya. "Kenapa?" tanyanya yang membuat Julian langsung menoleh dan melepas cekalan tangannya.

"Berangkat bareng gue." Jihan menggeleng cepat. Ia tak mau jika harus ditinggalkan di tengah jalan lagi, lebih baik ia naik angkutan umum saja. Jihan tak marah sama sekali tentang masalah kemarin, hanya saja ia sedikit trauma.

"Gue nggak bakal ninggalin lo lagi kayak kemarin," ucap Julian. "Gue janji. Sorry juga soal kemarin, gue keterlaluan." Jihan yang mendengarnya hanya bisa melongo, tak percaya bahwa Julian bisa berkata seperti itu. Walaupun terlihat sekali dari wajahnya kalo cowok itu sangat lah terpaksa untuk itu.

Julian menaiki motornya, tak lupa menstaternya juga. "Jingga gimana?" tanya Jihan

"Udah gue kasih tau, dia ngerti." Jihan menghela nafas beratnya. Ia tau Jingga menjawab itu hanya dihadapan Julian. Tapi jika dihadapannya, gadis itu pasti akan marah padanya dan menyalahkannya. Jihan sangat tau sifat adiknya itu yang selalu ingin menang sendiri.

Julian menyuruh Jihan naik ke atas motornya dengan dagunya. Jihan yang paham akan maksud itu, ia segera naik ke jok belakang motor Julian. Cowok itu mulai menjalankan motornya meninggalkan kawasan rumah Jihan dan membelah jalanan kota untuk menuju ke sekolah.

Selama perjalanan, Jihan hanya diam tak mengeluarkan suara sedikit pun. Ia juga berpikir tanggapan-tanggapan apa yang ia terima nanti saat ia sampai di sekolah. Ia sadar ia hanya cewek cupu yang pasti akan mendapat banyak gunjingan saat ia berangkat bareng seperti ini bersama Julian yang merupakan salah satu cowok terkenal di sekolahnya.

"Nanti lo pulang bareng gue," ucap Julian sedikit keras agar Jihan dapat mendengar suaranya.

"Nggak usah, gue bisa pulang sendiri," tolaknya.

"Lo harus pulang bareng gue. Bunda nyuruh gue buat ngajak lo pulang bareng sekalian mampir dulu ke butik yang kemarin." Jihan menggeleng cepat. "Nggak usah, gue bisa kok nanti pas pulang ke butik sendiri."

"Nggak ada penolakan, gue nggak mau diomelin Bunda lagi. Jadi mending lo nurut aja." Jihan menghela nafas pasrah, percuma saja ia menolak. Setelah itu, tak ada lagi percakapan diantara mereka. Julian fokus dengan jalanan sedangkan Jihan fokus dengan pikirannya yang bercabang.

***

Fairahmadanti1211

Julian Untuk Jihan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang