6. Married Day

1.2K 95 4
                                    

Jingga membuka pintu kamar kakaknya dengan kasar yang membuat si empunya kamar yang sedang asik belajar itu terlonjak kaget. Gadis itu berjalan masuk dengan langkah mantap dan dengan tatapan tajam, terlihat sekali jika sedang menahan marah.

"KAK!" Jingga memanggil Jihan dengan nada bentakan. Sedangkan yang dipanggil hanya menoleh dan menghela nafas beratnya. "Apa?"

"LO SENENG KAN DI GOSIPIN SATU SEKOLAH SAMA JULIAN. SENENG KAN LO?!"

"Nggak, gue malah nggak pernah mau jadi gosip trending sekolah."

"LO JUGA SENENG KAN HARI INI JULIAN BAIK SAMA LO?"

"Gue juga nggak minta buat Julian baik ke gue." Jihan terus saja menjawab setiap pernyataan ataupun pertanyaan yang Jingga lontarkan dengan penuh amarah itu.

"BERANI YA LO JAWAB GUE TERUS!"

"Kenapa gue harus nggak berani?" Jihan menghela nafas pelan. Ia beranjak dari duduknya dan berdiri tepat di depan Jingga. "Denger ya, walaupun selama ini gue diem, selama ini gue selalu ngalah bukan berarti gue takut sama lo. Gue ngalah karena gue kakak lo, ngerti!" Setelah itu Jihan melangkah keluar dari kamarnya begitu saja tanpa menghiraukan Jingga yang sedang melongo terkejut. Gadis itu tak menyangka jika kakaknya bisa setegas itu padanya.

Setelah sadar akan keterkejutannya, Jingga menggeram kesal dan menghentak-hentakkan kakinya kesal. Bisa-bisanya Jihan memperlakukannya seperti itu, ia tak terima kakaknya bisa melawannya.

***

Hari ini adalah hari pernikahan Jihan dan Julian. Hanya keluarga inti yang datang diacara tersebut, karena memang pernikahan ini diselenggarakan dengan tertutup agar pihak sekolah tak mengetahui. Jihan dan Julian sudah memberikan surat ijin dengan keterangan urusan keluarga sedangkan untuk Jingga dan Julio, kemungkinan mereka membolos.

Mungkin sebagian orang akan senang pada saat hari pernikahannya, tapi tidak bagi Jihan. Ia sama sekali tak menginginkan hari ini ada, bagaimana nasibnya nanti saat menjadi istri Julian jika belum jadi istrinya saja ia sudah sering disakiti baik verbal maupun non verbal?

Memikirkannya saja ia sudah harus meneguk ludahnya. Serem. Takut-takut jika ia akan mati muda karena tak kuat menghadapi banyaknya siksaan menjadi istri dari Julian Aryandi Anugrah.

Jihan menggelengkan kepalanya pelan. Ia beralih menatap pantulan dirinya pada cermin dihadapannya. Ia sudah selesai di rias dengan make up yang sederhana tapi tetap anggun. Rambut panjangnya yang biasa ia kepang dua, kini tersanggul dengan poni yang menutupi keningnya. Kali ini matanya tak terbingkai oleh kacamata. Kali ini Jihan menggunakan softlens untuk menggantikan kacamatanya.

Iren membuka pintu kamar putrinya dan menghampirinya. Beliau menatap Jihan dari pantulan cermin dan tersenyum yang dibalas senyuman juga oleh Jihan. "Kamu cantik, sayang," puji Iren.

"Makasih, Mah." Iren merangkul bahu Jihan dan mengelusnya sayang. "Kamu udah siap?" Pertanyaan itu sontak membuat air muka Jihan berubah menegang. Jujur saja, gadis itu sama sekali belum siap menikah diumur segini apalagi menikah bersama Julian. Ia tak akan pernah siap.

Jihan mengangguk kaku. Ia terpaksa bohong. Ia tak mau acara hari ini batal dan jika hal itu sampai terjadi, keluarganya pasti akan menanggung malu.

"Yaudah turun yuk, keluarga Julian udah dateng," ajak Iren yang disambut senyuman Jihan. Tentu saja itu senyuman palsu. Jihan beranjak dari duduknya dan berjalan beriringan dengan Iren yang merangkul bahunya.

Mereka menuruni tangga dengan beriringan. Pasang mata keluarga menatap kagum dengan penampilan Jihan saat ini yang terlihat anggun memakai kebaya dengan ekor panjang yang menjuntai hingga ke lantai. Gadis itu hanya memamerkan senyum canggungnya saja.

Julian hanya melirik sekilas. Sikapnya acuh tak acuh dan ia malah memainkan ponselnya, padahal ijab kabul sebentar lagi akan dimulai.

Jihan mendaratkan pantatnya disebelah Julian. Gadis itu duduk bersimpuh karena bajunya yang tak mendukungnya untuk duduk bersila.

"Bagaimana? Sudah bisa dimulai acaranya?" tanya penghulu. Iren dan Jasmine mengangguk antusias. "Sudah bisa, Pak."

Julian mematikan layar ponselnya dan menaruhnya kembali dalam kantong celananya karena acara ijab kabul sebentar lagi akan dimulai.

"Kalau gitu, mempelai laki-laki jabat tangan wali mempelai wanita." Dika langsung mengulurkan tangannya yang dibalas dengan ragu-ragu oleh Julian. Terlihat sekali cowok itu terpaksa, ogah-ogahan, dan ragu melakukan pernikahan ini. Tapi tak urung Julian tetap melakukannya.

"Saya nikahkan dan kawinkan engkau Julian Aryandi Anugrah, dengan putri saya Jihan Alina Putri, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan logam mulia sebesar 15 gram dibayar tunai," ucap Dika dengan sedikit menyentak tangan Julian yang berada di genggaman tangannya sebagai tanda agar cowok itu untuk menjawabnya. Julian yang sedikit tersentak pun menjawab, "saya terima nikah dan kawinnya, Jihan Alina Putri dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

"Gimana saksi? Sah?" tanta penghulu sambil menatap sekitar untuk meminta jawaban. "SAH!" seru mereka yang datang ke acara pernikahan Jihan dan Julian.

Setelah itu, acara dilanjutkan dengan doa. Di sela-sela doa, Jihan menghela nafas berat. Sekarang ia telah sah menjadi istri Julian, padahal tadi ia sempat berharap jika Julian akan salah dalam mengucap ijab kabul. Tapi, ternyata Julian malah mengucapkannya dengan benar. Harapannya tak terkabul.

***

Malam ini, Julian menginap di rumah mertuanya. Ia juga tidur dikamar Jihan yang sekarang menjadi kamar mereka berdua saat berkunjung kesini. Besok Jihan akan pindah tinggal dirumah Julian. Ikut suami.

Jihan sedang merapikan tempat tidurnya sedangkan Julian tengah berada di kamar mandi untuk mandi. Tak lama, Julian keluar dari kamar mandi dengan keadaan sudah berpakaian. Cowok itu memakai kaos lengan pendek abu-abu dengan celana panjang training warna hitam, terlihat nyaman sekali untuk tidur.

Julian berjalan kearah Jihan dengan tangan yang menggosok-gosokkan rambut basahnya menggunakan handuk kecil. "Lo tidur di sofa," ucap Julian santai sambil dagunya ia arahkan pada sofa yang letaknya tak jauh dari sana.

"Kok gitu? Ini kan kamar gue."

"Ya emang gitu."

"Nggak bisa gitu dong. Gue nggak mau tidur di sofa, lo aja sana yang tidur di sofa. Lo kan yang tamu disini."

"Tamu adalah raja, lagian gue juga suami lo. Jadi, lo harus nurut sama gue."

"Tap..." Belum selesai Jihan ngomong, Julian sudah memotongnya dengan cowok itu sengaja melempar selimut tepat mengenai wajah Jihan. Cowok itu juga melempar bantal yang malang juga mengenai kepala Jihan, dan setelah itu berakhir tergeletak di lantai. "Tuh selimut dan bantal buat lo."

Jihan mendengus pasrah. Ia menarik selimut yang dari tadi menyangkut pada wajahnya dan memungut bantal yang jatuh tepat di bawah kakinya, selanjutnya ia berjalan menuju sofa yang letaknya berhadapan langsung dengan kasur miliknya.

Jihan terlebih dahulu menata bantal pada lengan sofa dan setelah itu barulah ia merebahkan dirinya. Ia juga melepaskan kacamatanya dan meletakkannya pada nakas yang letaknya diatas berada diatas kepalanya. Setelah itu, barulah Jihan membungkus dirinya dengan selimut dan langsung memejamkan matanya untuk masuk ke dalam alam mimpinya.

Sedangkan Julian, cowok itu terlihat cuek sekali dan sangat nyaman tertidur sendirian di ranjang ukuran besar milik istrinya. Nyaman sekali tanpa terusik oleh rasa bersalah sedikitpun.

***

Fairahmadanti1211

Julian Untuk Jihan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang