8. Agreement

1.2K 80 5
                                    

Malam ini adalah makan malam pertama Jihan bersama dengan keluarga Julian. Cowok itu duduk tepat berada disebelahnya dengan tangan yang tak terlepas dari ponselnya, ntah itu chattingan dengan Jingga ataupun bermain game online.

"Yan, kamu tuh main hp mulu. Itu ada sop ayam, makanan kesukaanmu," tegur Jasmine yang sontak membuat orang yang ada di meja makan itu menatap Julian.

"Makan ya makan! Nggak usah melakukan aktivitas lain." Kali ini Arya yang berbicara dengan nada tegas yang langsung membuat Julian meletakkan ponselnya, membalikkan piring yang ada dihadapannya dan mengisinya dengan makanan, setelah itu ia langsung memasukkan makanannya ke dalam mulut. "Enak," pujinya sambil terus mengunyah.

"Itu yang masak Jihan," celetuk Jasmine yang membuat Julian menghentikan aksi mengunyahnya dan menoleh ke arah bundanya seolah meminta penjelasan.

"Sop ayam itu yang masak Jihan, Julian." Jasmine mengulangi perkataannya yang membuat Julian langsung beranjak dari duduknya. "Aku udah kenyang, aku mau ke kamar dulu." Setelah mengatakan itu, Julian langsung pergi meninggalkan meja makan tanpa menyelesaikan makannya.

Julio yang ada dihadapannya hanya bisa melongo dan berkedip dua kali. Apakah segitu nggak terimanya Julian menikah dengan Jihan? Sampe untuk makanan pun, Julian benar-benar tak ingin lambungnya itu mencerna makanan yang dimasak Jihan. Batin Julio terus-terusan bertanya bahkan kadang ia juga mengumpati kakak kembarnya itu dalam hati. Sikapnya terhadap apa yang tidak ia suka dan benar-benar frontal itu sangatlah minus akhlak dan dari lahir Julio sudah tahu itu. Iyalah kan mereka kembar, jelas apapun itu baik Julian ataupun Julio sudah tau baik buruknya masing-masing.

Jihan nampak murung setelah itu dan makan secara perlahan. Julio yang mengetahui itu hanya dapat memperhatikan saja.

***

Setelah selesai membantu Jasmine membereskan meja makan, Jihan memasuki kamar Julian yang sekarang juga menjadi miliknya. Terlihat sosok pemuda tengah duduk dipinggiran kasur dengan tangan yang memainkan ponselnya. Siapa lagi pemuda itu jika bukan Julian.

Julian menoleh setelah mendengar suara pintu tertutup, yang tak lain dan tak bukan adalah istrinya yang melakukan. Ia berdiri dan menghampiri Jihan dengan tatapan dingin yang tak lepas dari matanya.

"Gue mau ngomong sama lo," ucapnya  tanpa mendapat jawaban dari Jihan karena gadis itu hanya diam menunggu kelanjutan omongan Julian. "Gue mau buat perjanjian ke lo."

"Perjanjian? Perjanjian apa?"

"Di dalam pernikahan kita, lo boleh ngelakuin apapun sesuka lo dan gue nggak akan ngelarang apapun itu ke lo. Tapi, lo nggak ada hak untuk ngelarang-ngelarang apapun yang gue lakukan," jelasnya dengan dingin. "Singkatnya, hidup lo hidup lo, hidup gue hidup gue." Setelah mengatakan itu, Julian langsung beranjak pergi dan cowok itu membuka pintu dengan keras tanpa menutupnya lagi.

Jihan hanya bisa menatap dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Seorang laki-laki yang mirip dengan Julian masuk tanpa ijin dan dengan senyum cengengesan.

Jihan mengerutkan dahinya tanda bingung, kenapa Julian balik lagi dan sikap Julian bisa secepat itu berubah. Ia mengira jika cowok itu adalah suaminya.

"Gue bukan Julian," jawab Julio seolah dapat membaca raut bingung Jihan. Gadis itu membulatkan bibirnya dan mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti.

"Maaf tadi gue nggak sengaja denger perjanjian kalian," sambungnya tak enak hati. "Tadi gue niatnya mau masuk ke kamar gue yang letaknya tepat di sebelah kamar ini. Tapi karena denger keributan, gue malah..."

Jihan malah tersenyum menanggapi. "Nggak papa kok," potongnya. "Bukan hal besar juga." Jihan selalu tersenyum walaupun ia sedang kesal pun, ia akan memendamnya dalam hati dan ia akan tetap menyunggingkan senyumnya. Jujur saja, saat ini ia merasakan sakit hati karena perjanjian sebelah pihak yang dilakukan Julian padanya. Tapi ia tak menunjukkan itu semua pada orang lain.

"Kakak ipar nggak papa?" tanya Julio hati-hati yang dibalas kekehan oleh Jihan. "Nggak papa lah."

Cowok itu menepuk bahu Jihan dua kali. "Suatu saat Julian pasti akan jadi sosok pertama yang takut akan kehilangan lo. Sabar ya kakak ipar."

Jihan malah makin tergelak saat mendengarnya. "Astaga, gue nggak papa. Gue juga nggak masalah."

"Yayayaya, gue percaya."

"Jangan percaya gue, musyrik."

"Serah lo." Jihan dan Julio malah tergelak bersama.

***

Keluarga Arya saat ini tengah menikmati sarapan bersama. Mereka begitu tenang dan hanya ada suara dentingan sendok dan garpu yang saling beradu.

"Oh iya, besok Ayah mau pergi ke luar kota selama seminggu, ada piknik yang di selenggarakan kantor Ayah. Dan Bunda juga akan ikut," ujar Arya membuka pembicaraan.

"Berdua doang?" tanya Julian penasaran.

"Iya, kursi yang disediakan maksimal cuma 2."

"Hiilikh kalo seneng-seneng aja nggak ngajak-ngajak," cibir Julio yang mendengarnya. "Bilang aja mau pacaran berduaan."

"Sewot aja kamu. Makanya cari pacar," balas Jasmine tak mau kalah yang membuat Julio mencebikkan bibirnya kesal. Ia selalu kesal saat ada orang yang membahas status jomblonya itu.

"Besok cari, besok cari," serunya frustasi. Mereka yang ada disana terkikik geli.

"Yaudah, aku sama Jihan berangkat dulu ya," pamit Julian setelah menyilangkan garpu dan sendoknya diatas piring. Ia beranjak dari duduk dan mencangklong tasnya pada bahunya. Jihan pun mengikuti apa yang dilakukan oleh Julian. Mereka berdua menyalami tangan Jasmine dan Arya.

Setelah itu, Jihan buru-buru menyusul Julian yang langkahnya lebih cepat dan lebih panjang darinya. Kaki cowok itu benar-benar sangatlah mendukung saat ini. Terbukti perbedaan tinggi mereka yang begitu kentara. Jihan hanya memiliki tinggi sebatas dagu Julian.

Julian sudah menaiki motornya dan Jihan buru-buru ikut naik di jok bagian belakang. Ia tak mau ditinggalkan untuk saat ini karena jika hal itu terjadi, ia akan telat sampai di sekolah.

Cowok itu mulai melajukan motornya meninggalkan kawasan rumah dan membelah jalanan untuk menuju ke sekolah.

***

Julian menghetikan motornya di pinggir jalan. Jihan mengerutkan dahinya bingung. Ia memiliki firasat buruk untuk saat ini. Sepertinya ia akan ditinggalkan lagi.

"Turun lo," ucap Julian dingin. Tuhkan benar firasat Jihan, ia akan ditinggalkan dipinggir jalan lagi.

"Tapi sekolah kan masih jauh." Memang benar, dari posisi mereka saat ini jarak mereka ke sekolah masih sekitar 2 km. "Terus gue naik apa ini?"

"Urusan lo bukan urusan gue. Gue mau jemput Jingga." Setelah mengatakan itu, Julian langsung melajukan motornya untuk kerumah Jingga dulu baru menuju ke sekolah.

Jihan hanya bisa menghela nafas pasrah. Ia mengambil ponsel yang ada di sakunya dan melihat jam yang ada di layar ponselnya, 30 menit lagi bel masuk berbunyi dan dapat ia pastikan nanti gerbang sekolah akan ditutup. Kedua kalinya ia akan telat ke sekolah.

Ia menoleh ke sekeliling, tak ada angkot bis kota satu pun. Memang saat jam seperti ini transportasi umum seperti itu seolah sedang jual mahal dengannya. Jika ada pun pasti sudah penuh oleh ibu-ibu yang pergi ke pasar, orang-orang yang pergi ke kantor, dan anak sekolah.

Jihan meniup poninya. Ia terpaksa harus memesan taksi online dan hal itu membuatnya harus membayar ongkos yang sedikit lebih mahal. Tapi nggak papa, daripada ia harus lari dari jaraknya saat ini lebih baik uang sakunya yang sedikit ia korbankan.

***

Fairahmadanti1211

Julian Untuk Jihan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang