Mobil Pricilla memasuki kawasan perumahan tempat tinggal Jihan. Tapi hal itu membuat gadis itu mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa Pricilla tau kawasan rumahnya sedangkan dia belum mengatakannya sedari tadi?
"Lo kok bisa tau gue tinggal di daerah sini?" tanyanya ingin tau.
Mendapat pertanyaan itu membuat Pricilla sedikit tergagap, tetapi ia buru-buru menutupi kegugupannya. "Gue nebak aja sih. Kan tadi Julio bilang kalo ortu kalian saling kenal, jadi gue pikir kalian tetanggaan dan tadi juga Julio bilang kalo dia tinggal di daerah sini."
Jihan hanya ber'oh'ria mendengar penjelasan itu tanpa menaruh curiga sedikitpun pada gadis di sebelahnya yang sedang menyetir itu.
Diam-diam Pricilla menghela nafasnya lega. Lega karena rahasianya belum terbongkar, bukan sekarang saatnya untuk Jihan tau sebenarnya.
Mobil itu tepat berhenti di depan rumah bercat coklat, berlantai dua, dan dengan pagar putih menjulang. Jihan sangat tau dan hafal rumah itu. Ia memicingkan matanya menatap Pricilla.
"Gue kan nggak tau jelas rumah lo, gue cuma tau rumah Julio," jelas gadis itu lagi yang langsung mendapat anggukan paham dari Jihan.
"Makasih tumpangannya, gue keluar ya." Setelah mendapatkan anggukan yang berupa persetujuan, Jihan melepas seatbeltnya, mengambil tasnya yang ada di jog belakang, lalu membuka pintu mobil dan keluar dari sana.
Gadis itu tak langsung masuk kedalam rumah, ia menunggu mobil itu menghilang dulu agar teman barunya itu tak mengetahui jika ia tinggal bersama denga Julio dengan status sebagai istri dari kembarannya.
Setelah mobil Pricilla berjalan dan menghilang karena semakin jauh, ia melihat sekeliling, takut-takut jika Pricilla kembali atau ada salah satu teman sekolahnya yang melihatnya. Ia tak ingin hal itu terjadi.
Setelah dipastikan tak ada orang atau teman sekolahnya yang mungkin kebetulan disana, ia berbalik masuk ke dalam kawasan rumah bercat coklat dan berlantai dua itu.
Saat ia melirik di garasi, disana ada dua motor sport yang terparkir, yang tandanya Julian dan Julio sudah pulang.
Saat Jihan melewati ruang tamu, ia bertemu dengan Julio yang sedang melepas sepatunya dengan mulut penuh terisi camilan. Iya, cowok itu tengah melepas sepatu sambil mengunyah.
"Hamn, wao baik lo?" tanya Julio tak jelas yang membuat Jihan tak mengerti.
"Telen dulu tuh makanan di mulut, baru ngomong," tegur gadis itu yang diangguki Julio.
"Baru balik lo?" Julio mengulang pertanyaannya setelah makanan yang ada di mulutnya habis.
"Hooh." Setelah mengatakan itu, Jihan langsung menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Ia tak meneruskan percakapannya dengan Julio, karena ia tau cowok itu hanya berbasa-basi saja dengannya.
Saat membuka pintu kamar, hal yang pertama ia lihat adalah pemandangan Julian yang tengah rebahan dengan posisi terlentang dan tangan yang menggenggam ponselnya, bahkan cowok itu masih menggunakan seragamnya walaupun semua kancing kemejanya telah terbuka dan menyisakan kaos putih polosnya.
"Aku mau ganti baju," ujar Jihan tiba-tiba yang membuat Julian sedikit terlonjak dan hampir saja menjatuhkan ponselnya ke wajahnya. Cowok itu dengan cepat mengubah reaksinya dan hanya melirik sekilas.
"Aku mau ganti baju, kamu keluar dulu bentar," ulang gadis itu lagi yang mungkin mulai sekarang akan menggunakan kosa kata aku-kamu kepada Julian sebagai bentuk rasa hormatnya kepada suami.
"Tinggal ganti aja di kamar mandi, gitu kok ribet." Julian menatap tajam pada Jihan. "Lo ngapain jadi ganti kosa-kata gitu ke gue. Lo ganti kosa-kata kayak gimanapun, gue nggak akan pernah suka sama lo!"
"Apa salah gue sampe lo perlakuin gue kayak gini?" tanya Jihan lirih. Ia juga kembali menggunakan kosa-kata lo-gue lagi. "Gue cuma mau hormatin lo, hargain lo sebagai suami gue."
Julian bangkit dari tidurnya dan berjalan mendekati Jihan dengan tatapan tajam menghunus dan rahang yang mengeras. "Salah lo yang hadir dalam hidup gue, salah lo yang jadi istri gue, salah lo yang setuju perjodohan ini, dan salah lo juga yang buat hubungan gue sama Jingga rusak!" jawab Julian dengan keras bahkan sambil menunjuk-nunjuk wajah Jihan. "Suami? Bahkan gue nggak pernah nganggap lo ada di dunia ini, gue nggak pernah nganggap kehadiran lo apalagi nganggap lo sebagai istri!"
Jihan meremas tangannya yang berada di kedua sisinya. Ia menahan tangisannya. Jihan menunduk, dan tanpa sadar air matanya lolos begitu saja. Kata-kata Julian begitu menyakitinya, lebih menyakitkan daripada saat Jingga dengan sengaja menumpahkan mie kuah yang manis panas pada dirinya.
Jihan mendongak, memberanikan diri menatap Julian dengan air mata yang mengalir dari matanya. "Rusak? Rusak darimananya? Bahkan setelah kita nikah, lo sama Jingga dengan terang-terangan bermesraan di depan mata gue. Apa pernah gue protes soal itu?" Jihan menggeleng pelan. "Gue nggak pernah protes apapun ke lo. Gue selalu nurut semua kata-kata lo, nurut semua perintah lo."
"Terus sekarang mau lo apa? Cerai gitu? Gue dengan senang hati akan lakuin itu kalo lo minta itu sekarang," tawar Julian muak yang membuat Jihan menggeleng tegas dengan air mata yang masih terus berderai.
"Gue cuma minta lo bersikap baik ke gue, cuma itu aja. Gue nggak minta hati lo, karena hal itu gue yakin bakal lo kasih suatu saat nanti."
"Percaya diri banget lo. Gue akan pernah menaruh perasaan apapun ke lo sampai kapanpun. Untuk bersikap baik? Mungkin gue lakuin pas gue khilaf." Setelah mengatakan itu, Julian berlalu begitu saja dan menutup pintu dengan membantingnya yang membuat Jihan terlonjak kaget.
Jihan terduduk di pinggiran ranjangan sambil menutupi wajahnya. Ia menangis dengan terisak, bahkan ia tak menyadari bahwa ada orang lain yang sedang memperhatikan dari ambang pintu.
Orang itu mendekat dan mengelus bahu Jihan bermaksud menenangkan. "Yo, gue mau sendirian," lirih Jihan masih dengan menutupi wajahnya.
"Gue nggak bakalan gangguin lo kok, gue cuma nemenin lo dab gue janji nggak bakal bikin suara sedikitpun." Detik berikutnya, Julio duduk disebelahnya. Hanya diam dengan tatapan prihatin yang ia arahkan pada gadis disebelahnya yang terlihat sekali masih menangis dengan menutupi wajahnya. Bahkan usapan tangannya pada bahu gadis itu sudah terlepas.
Selama pertengkaran tadi, Julio mendengar semuanya dari kamar sebelah yang merupakan kamarnya. Kata-kata Julian memang sangat menyakitkan dan menusuk sekali. Julio yang mendengarnya saja dapat merasakan bagaimana sakit hatinya Jihan, terbukti dari tangisan Jihan yang terdengar menyayat hati. Selama tinggal disini, Jihan tak pernah memberikan ekspresi sedihnya, apalagi sampai menangis terisak seperti ini. Gadis itu selalu memberikan senyumannya. Bahkan saat tangannya ketumpahan mie panas, ia masih bisa senyum bahkan masih bisa bersikap baik dan hormat pada Julian.
Tangisan Jihan hari ini adalah pelampiasan rasa sakit hatinya selama ini pada Julian. Gadis itu sudah sangat lelah hati.
***
Fairahmadanti1211
![](https://img.wattpad.com/cover/237973157-288-k129630.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Julian Untuk Jihan [COMPLETED]
Teen FictionRank #8 julio [2 September 2020] Rank #6 julio [11 September 2020] Rank #5 julio [14 September 2020] Rank #10 takdianggap [19 Oktober 2020] Rank #9 takdianggap [2 November 2020] Rank #4 julio [22 November 2020] Rank #7 takdianggap [1 Januari 2021] R...